Menuju konten utama
Horizon

Malam Selikuran di Surakarta, Cara Keraton Membumikan Islam

Malam Selikuran merupakan tradisi Jawa-Islam untuk menyambut Lailatulqadar yang dipercaya datang pada 10 terakhir bulan Ramadhan.

Malam Selikuran di Surakarta, Cara Keraton Membumikan Islam
Abdi dalem dan kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat mengikuti Kirab Malam Selikuran dari Keraton Surakarta Hadiningrat setempat menuju Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, Selasa (5/6/2018). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan, Keraton Surakarta menggelar tradisi Malam Selikuran. Tahun ini, Malam Selikuran jatuh pada tanggal 20 Maret 2025.

Mulai pukul 18.00, Kori Kamandungan Keraton Surakarta telah ramai dengan para panitia dan peserta kirab yang sedang bersiap-siap. Menjelang pukul 20.00, Kori Kamandungan semakin ramai oleh masyarakat yang ingin menyaksikan keberangkatan rombongan kirab.

Tepat pukul 20.00, rombongan kirab keluar dari Keraton Kesunanan Surakarta dan mulai berjalan menuju Taman Sriwedari, melewati Alun-alun Utara, kemudian menyusuri Jalan Slamet Riyadi. Sembari menunggu rombongan, di Taman Sriwedari telah berkumandang lantunan musik hadrah.

Kirab ini melibatkan kurang lebih 500 partisipan yang terdiri dari abdi dalem, sentana (kaum kerabat raja), dan sejumlah komunitas hadrah. Mereka membawa obor, lampion, tumpeng, serta makanan lain untuk dibagikan kepada masyarakat.

Sekitar pukul 21.30, rombongan kirab telah sampai di Taman Sriwedari. Setelah itu, prosesi dilanjutkan dengan doa dan tausiah yang dibawakan oleh KH Ahmad Muwafiq.

"Pukul 17.00 persiapan, diawali dengan buka bersama dulu, kemudian persiapan [kirab]. Ada prosesi dari keraton, juga beberapa ting (lentera), Hajad Dalem, prosesi naik kereta, ada yang jalan, ada gamelan, [dan] ada prajurit [keraton]," terang KGPH Dipokusumo, Pengageng Parentah Keraton Surakarta saat ditemui Tirto, Rabu (19/3/25).

"Setelah makanan didoakan, kemudian dibagikan. Ada tausiah. Biasanya ada dua [topik], yaitu sejarah Malam Selikuran, yang satu lagi ustaznya menyampaikan tentang pengertian malam Lailatulqadar," imbuhnya.

Kirab Malam Selikuran Tumpeng

Rombongan kirab membawa tumpeng dan makanan yang akan dibagikan kepada masyarakat. tirto.id/Adisti

Sejarah Malam Selikuran

Pengaruh Islam yang mulai masuk ke berbagai wilayah di Indonesia memaksa kerajaan-kerajaan yang saat itu didominasi oleh corak Hindu-Buddha harus kembali beradaptasi atau menyesuaikan diri.

Di Keraton Surakarta, sebagai upaya adaptasi, Pakubuwono II menetapkan patokan berupa kalender Jawa yang merupakan gabungan antara kalender Saka dan kalender Hijriah.

"Malam Selikuran berkaitan dengan tradisi adat budaya Jawa yang memiliki pengaruh Islam, itu sesuai dengan ajaran para wali, salah satunya Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga itu kiai Islam tapi njawani, artinya ajaran agama Islam disesuaikan dengan budaya Jawa melalui simbol. Misalnya, makanan diwadahi takwir, artinya takwa dan zikir," kata Gusti Dipo, sapaan akrabnya.

Ia menambahkan, manifestasi budaya Jawa dan Islam tampak pada berbagai tradisi atau upacara yang mewarnai hari-hari besar keagamaan Islam, seperti Grebeg Maulud Nabi, Sadranan, dan Malam Selikuran.

Grebeg Maulud merupakan tradisi yang diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Acara ini biasanya ditandai dengan acara Sekaten yang di dalamnya terdapat kirab gunungan yang berisi hasil bumi.

Sedangkan Sadranan atau Nyadran merupakan tradisi masyarakat Jawa untuk berziarah, membersihkan makam leluhur dan berdoa untuk mereka. Kemudian tradisi Megengan ditandai dengan mengirimkan apem sebagai bentuk permohonan maaf.

Dan Malam Selikuran, sekali lagi, merupakan tradisi Jawa-Islam sebagai tanda datangnya malam Lailatulqadar. Biasanya, acara ini diselenggarakan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sekitar tanggal 20-an di tanggal ganjil.

Dalam ajaran Islam, malam Lailatulqadar diyakini sebagai malam penuh kemuliaan. Dan dalam tradisi Jawa, Malam Selikuran dilakukan dengan berbagai rangkaian kegiatan seperti doa, prosesi kirab, hingga pembagian makanan kepada masyarakat.

Kirab Malam Selikuran

Rombongan kirab berjalan dari Alun-Alun Utara. tirto.id/Adisti

Dalam sejarahnya, di Kota Solo, tradisi Malam Selikuran mencapai puncaknya di era Pakubuwono X. Saat itu suasana meriah karena keberadaan ting (lentera), pasar malam, dan prosesi karnaval menuju Taman Sriwedari--sesuatu yang hingga kini masih dilakukan.

Menurut Gusti Dipo, kala itu Pakubuwono X menyuruh semua warga Solo untuk memasang ting karena dulu belum ada listrik. Dan karena di alun-alun sudah ada pasar malam saat Sekaten, maka Pakubuwono X meminta Malam Selikuran diadakan di Taman Sriwedari.

"Saat itu juga ada prosesi arak-arakan karnaval yaitu berupa utusan ndalem, di situ juga ada Hajad Dalem namanya Tumpeng Sewu yang berkaitan dengan Lailatulqadar yang bermakna 1000 bulan. Itu dibawa ke Sriwedari, di sana didoakan dan dibagikan ke masyarakat," imbuhnya.

"Harapannya supaya di Malam Selikuran agak dikurangi tidurnya, dan diganti dengan melakukan salat tahajud," lanjutnya.

Gusti Dipo lantas menyebutkan berbagai rangkaian tradisi yang biasanya dilakukan menuju puncak bulan Ramadhan, mulai dari membagikan zakat fitrah hingga sungkeman.

"Setelah itu, menjelang malam Idulfitri, keraton memberikan uang [dan] beras [yang] diserahkan ke masjid agung untuk dibagikan ke masyarakat. Acara berikutnya berkaitan dengan acara sungkeman ke orang yang lebih tua atau kita kenal dengan halalbihalal. Ada suguhan kupat yang mengandung berbagai makna, misalnya ada istilah kupat bumbu santen, [artinya] menawi lepat nyuwun pangapunten (jika ada salah, mohon dimaafkan)," terangnya.

Ia menambahkan, perbedaan penyelenggaraan Malam Selikuran tiap tahunnya terdapat pada dai yang menyampaikan tausiah, bentuk pasar malam, serta tanggal pelaksanaan.

"Tiap tahun beda, misalnya dai yang menyampaikan, bentuk pasar malamnya. Yang ketiga tentu saja perhitungan waktu. Meskipun kami menggunakan kalender Jawa dan kalender Islam, tapi kami harus menyesuaikan puasa pertama, biasanya kami menyesuaikan keputusan [dengan] pemerintah," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2025 atau tulisan lainnya dari Adisti Daniella Maheswari

tirto.id - News
Kontributor: Adisti Daniella Maheswari
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Irfan Teguh Pribadi