Menuju konten utama
29 November 1866

Strategi Dua Muka Pakubuwana X Menghadapi Belanda

Dua rupa sang
raja. Siasat jeli
langgeng kuasa.

Strategi Dua Muka Pakubuwana X Menghadapi Belanda
Ilustrasi Pakubuwana X. tirto.id/Gery

tirto.id - Tanggal 29 November 1866 menjadi hari yang mengejutkan sekaligus membahagiakan bagi Sri Susuhunan Pakubuwana (PB) IX. Hari itu anaknya lahir. Ramalan pujangga keraton Ranggawarsita terbukti meleset. Sang raja sudah sempat kecewa karena jabang bayinya semula diprediksi perempuan, ternyata yang lahir laki-laki.

PB IX memang mengharapkan anak laki-laki yang kelak akan dijadikannya sebagai putra mahkota. Ketika sang permaisuri, KRAy. Kustiyah, mengandung, ia bertanya kepada Ranggawarsita mengenai jenis kelamin anaknya nanti. Si pujangga menjawab, janin dalam kandungan ratu akan lahir hayu.

Setelah jabang bayi lahir, Ranggawarsita berkilah bahwa hayu yang ia maksud bukan berasal dari kata “ayu” alias “cantik”, melainkan “rahayu” atau “selamat”. Pakubuwana IX bertambah kesal karena merasa dipermainkan.

Hubungan keduanya menjadi renggang. Seperti dituturkan Anjar Any dalam Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? (1980), Belanda ikut campur dan memperkeruh suasana. Ranggawarsita lantas didakwa telah menghasut rakyat, berniat melawan Belanda, serta ingin menumbangkan PB IX dari takhtanya (hlm. 80).

Namun, di luar perselisihan yang nantinya berakhir tragis bagi Ranggawarsita itu, PB IX terlanjur bahagia. Telah lahir pewaris singgasana bernama Raden Mas Sayiddin Malikul Kusna yang kelak menggantikannya sebagai Susuhunan Surakarta dengan gelar Pakubuwana X.

Dua Wajah Raja Surakarta

Raden Mas Sayiddin Malikul Kusna diresmikan sebagai putra mahkota pada 1869, atau ketika usianya baru menginjak 3 tahun. Berselang 24 warsa kemudian, ia naik takhta sebagai Pakubuwana X setelah sang ayah wafat dua minggu sebelumnya.

Pakubuwana X adalah raja dalam arti yang sebenar-benarnya. Ia bergelimang harta dan gemar bermewah-mewahan. Pendamping hidupnya pun amat banyak. Tercatat, PB X punya 2 permaisuri dan 39 selir. Dari ke-41 istrinya itu, sang Susuhunan dikaruniai 63 orang anak.

Zaman Pakubuwana X berkuasa adalah masa-masa tenang. Pergolakan fisik terhadap Belanda mulai berkurang, berganti perlawanan dengan cara lain, yakni melalui berorganisasi, daya pikir, atau bertarung pena lewat surat kabar. Saat itu abad sudah berganti dan periode pergerakan nasional telah dimulai.

Baca juga: Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka

Pakubuwana X rupanya cukup jeli melihat perkembangan situasi terkini. Ia pun memasang dua wajah untuk menjalani kehidupannya sebagai raja di negeri yang masih dikuasai bangsa asing.

Di satu sisi, Pakubuwana X mendekatkan diri dengan pemerintah kolonial. Ia menerima seabrek penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda maupun negeri Belanda. Seperti diungkap Pakubuwana XII dan A. Mutholi'in dalam Karaton Surakarta (2004), penghargaan paling prestisius yang pernah diterimanya adalah gelar Sri Maharaja dari Ratu Wilhelmina berupa Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw.

Posisi Pakubuwana X yang dekat dengan Belanda, bahkan punya relasi langsung dengan Ratu Wilhelmina, jelas menguntungkan karena ia bisa lebih fokus mengembangkan keraton. Di puncak masa kekuasaan, ia menggalakkan pembangunan Surakarta, sekaligus menikmati hidup tanpa harus sering-sering berurusan dengan ambtenaar kolonial.

Selama PB X bertakhta, Kasunanan Surakarta Hadiningrat mengalami kemajuan yang signifikan, baik dalam pelestarian budaya dan tradisi maupun pembangunan dalam bentuk fisik. Beberapa di antaranya bahkan mendapat bantuan dari pemerintah Hindia Belanda.

Baca juga: Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Jawa

Menurut Joko Darmawan dalam Mengenal Budaya Nasional Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017), Pasar Gede Harjonagoro, Stasiun Jebres, Stasiun Balapan, Kebun Binatang dan Jembatan Jurug, rumah pemotongan hewan, rumah singgah bagi tunawisma, hingga rumah pembakaran jenazah bagi warga Tionghoa, dibangun pada era PB X (hlm. 43).

Selain itu, ia merintis pula pendirian stadion dan Taman Sriwedari serta Museum Radyapustaka. Fasilitas publik lain yang ia bangun di antaranya Gereja St. Antonius dan Rumah Sakit Kadipolo.

Sementara dalam Negeriku Menuai Bencana Ekologi (2007) yang disusun Sudarsono, dinyatakan bahwa Pakubuwana X juga memerintahkan dibangunnya tanggul yang mengelilingi Kota Surakarta dan pintu air raksasa sebagai antisipasi dari ancaman banjir Bengawan Solo maupun Kali Anyar (hlm. 87).

Masa-masa ini menjadi salah satu puncak kemegahan tradisi di Surakarta yang berlangsung dalam suasana politik kerajaan yang stabil. PB X mengawal Kasunanan Surakarta menjalani masa transisi dari kerajaan tradisional menuju zaman modern. Sebuah transisi yang sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda.

Namun, di sisi lain, Pakubuwana X juga punya rupa kedua. Wajah lain yang didedikasikan untuk mendukung perjuangan para aktivis pergerakan nasional.

Mendukung Pergerakan Nasional

Pakubuwana X sadar bahwa peradaban di Jawa dan Indonesia mulai memasuki level yang berbeda. Bukan hanya sektor pembangunan saja, melainkan juga corak perjuangan menghadapi Belanda telah beralih dari peperangan fisik menjadi pergerakan intelektual. PB X tampaknya terinspirasi oleh kakeknya, Pakubuwana VI, yang juga berperan ganda dalam menghadapi Belanda, sekaligus membantu perjuangan Pangeran Dipanegara dalam Perang Jawa (1825-1830).

Baca juga:

Seperti dipaparkan Mooryati Soedibyo dalam seminar bertajuk “Menggali Nilai-nilai Keteladanan, Kepahlawanan dan Kebangsaan Sri Susuhunan Pakubuwono X” di Jakarta pada 2015, PB X memberi ruang yang sebesar-besarnya bagi tumbuh dan berkembangnya benih-benih pergerakan nasional.

“… wilayah Surakarta menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang mengibarkan bendera gula kelapa atau merah putih, sedangkan tempat lain bendera Belanda,” sebut Mooryati Sudibyo yang masih keturunan Pakubuwana X. Selain itu, lanjutnya, PB X juga memberikan dukungan kepada perkumpulan-perkumpulan politik pada awal abad ke-20.

Saat Boedi Oetomo (BO) didirikan di Batavia pada 20 Mei 1908, PB X memberikan apresiasinya. Hal itu terungkap dalam Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa (2008) yang disusun Gamal Komandoko. Apalagi BO dimotori oleh kaum muda ningrat Jawa, termasuk keluarga besar Kasunanan Surakarta. Salah satunya adalah R.M.A. Woerjaningrat, anak tiri Pakubuwana X (hlm. 120). PB X juga menganjurkan agar kerabat keraton menjadi pengurus organisasi Boedi Oetomo.

Pakubuwana X, menurut Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995), memerintahkan pula dibangunnya tugu lilin di Solo untuk memperingati berdirinya Boedi Oetomo sekaligus sebagai simbol pergerakan nasional (hlm. 215). Pembangunan tugu lilin ini sempat dilarang pemerintah kolonial dan baru diresmikan pada 20 Mei 1933.

infografik mozaik pakubuwana x

Sikap serupa juga dilakukan PB X ketika Sarekat Islam (SI) muncul di Surakarta beberapa tahun setelah BO lahir. George D. Larson dalam Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942 (1990) menyebutkan, salah satu contoh dukungan PB X terhadap SI adalah bersama-sama membendung aktivitas misionaris Kristen di Surakarta (hlm. 5).

Sejak SI (sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam atau SDI) membentuk cabangnya di Solo, 4 orang dari 11 pimpinannya adalah pegawai Kasunanan Surakarta. Mereka menjadi pengurus atas perintah PB X. Susuhunan juga memfasilitasi Kongres SI pada 23 Maret 1913 di Taman Sriwedari dan acara ini berjalan lancar tanpa halangan dari aparat kolonial (hlm. 66).

Baca juga: Ormas Keamanan Menjelma Sarekat Islam

Pihak kolonial sebenarnya resah dengan manuver Pakubuwana X yang terus dilakukannya dengan taktik jeli hingga belasan tahun kemudian. Bahkan, pemerintah Hindia Belanda beberapa kali menyiapkan cara untuk melengserkan PB X. Tapi selalu urung dilakukan karena sulitnya memperoleh kesempatan yang tepat.

Pakubuwana X memang sosok unik. Dalam Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal (2005), M.T. Arifin dkk menyatakan, raja ini mampu mengambil dua sikap politik berbeda dengan sama baiknya: dekonstruksi sikap dalam menghadapi Belanda dan rekonstruksi sikap politik untuk mendukung pergerakan nasional di Surakarta (hlm. 97).

Faktanya, Pakubuwana X mampu bertahan selama 46 tahun sebagai Raja Surakarta, dengan berbagai dinamika di tengah kehidupan kolonial. Melalui strategi ganda, ia sanggup melewati era pemerintahan 10 Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan 13 Residen Surakarta.

PB X wafat pada 22 Februari 1939 dalam usia 72 tahun. Rakyat Surakarta, seperti dicatat Gunawan Sumodiningrat & Ari Wulandari dalam Paku Buwono X (2014), menyematkan julukan baginya Ingkang Sinuwun Minulya saha Ingkang Wicaksana, yang berarti Paduka yang Mulia dan Bijaksana (hlm. 84). Pada 2011, pemerintah RI memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Susuhunan Pakubuwana X.

Sebuah legenda lama di Jawa menyebut, kekuasaan trah Mataram di tanah Jawa akan berakhir pada raja kesepuluh. Benar atau tidaknya, hanya bisa dimengerti oleh alam pikir masyarakat Jawa tradisional. Tapi perkembangan keraton Surakarta selepas PB X meninggal seolah-olah membenarkan mitos tersebut.

Sampai saat ini, keraton Surakarta terus menerus dirundung konflik. Perpecahan dan perebutan takhta di antara para keturunan PB X lebih mengemuka ketimbang prestasi rajanya. Ketika PB X meninggal, rakyat Surakarta menambahkan gelar post-mortem kepadanya sebagai "Sunan Panutup" (raja terakhir). Gelar ini sesungguhnya bentuk penghormatan yang menyiratkan kebesaran PB X sebagai seorang penguasa, bukan raja terakhir dalam arti sebenarnya.

Jika sengketa takhta di Surakarta tak kunjung reda, bukan tidak mungkin PB X benar-benar jadi Sunan Panutup.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan