tirto.id - Tanggal 17 Maret 1757, tepat hari ini 261 tahun silam, Salatiga menjadi saksi bahwa untuk ke sekian kalinya siasat adu domba Belanda berhasil diterapkan. Sejak itu kuasa di Jawa terbelah tiga dan VOC-lah yang justru paling menikmati keuntungannya. Cita-cita menyatukan Jawa seperti pada masa jaya Kesultanan Mataram Islam hampir pasti gagal terwujud.
Perjanjian Salatiga merupakan bagian dari babak akhir keruntuhan Mataram Islam yang sebenarnya sudah menuai kehancuran sejak Sultan Agung Hanyokrokusumo mangkat pada 1645. Tanah Jawa pun menjadi medan pertikaian kerabat dekat yang sejatinya masih dalam naungan satu garis keluarga besar: Wangsa Mataram.
Bermula dari Giyanti
Sebelum Perjanjian Salatiga, terlebih dulu ada Perjanjian Giyanti yang secara de facto sekaligus de jure menegaskan berakhirnya riwayat Kesultanan Mataram. Ditandatangani 13 Februari 1755, ini adalah perjanjian yang pada pokoknya “membelah nagari” atau membelah Mataram menjadi dua bagian (Atmakusumah, Takhta untuk Rakyat, 2011:126).
Setengah bekas wilayah Kesultanan Mataram Islam menjadi milik Kasunanan Surakarta di bawah pimpinan Pakubuwono III, sedangkan separuhnya lagi menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang segera mencanangkan diri sebagai raja Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I.
Namun, ada satu nama yang terlupakan, yaitu Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Pakubuwono III, Hamengkubuwono I, dan Raden Mas Said sebenarnya masih terikat darah persaudaraan, sama-sama keturunan Amangkurat IV (1719-1726), raja ke-4 Kasunanan Kartasura yang merupakan kelanjutan dari Mataram Islam.
Bagi Pakubuwono III serta Hamengkubuwono I, Raden Mas Said ibarat duri dalam daging. Sepak-terjangnya juga sangat merepotkan VOC. Raden Mas Said memerangi Belanda dan Mataram (Kartasura) sejak 1741. Ia sempat bergabung dengan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) selama 9 tahun dengan tujuan yang sama.
Namun, Pangeran Mangkubumi kemudian berbalik arah untuk menjalin kesepakatan dengan Pakubuwono III dan VOC lewat Perjanjian Giyanti. Raden Mas Said yang tidak dilibatkan pun menentang perjanjian tersebut yang disebutnya akan memecah-belah rakyat Mataram.