Menuju konten utama

Kejayaan dan Kejatuhan Si Pengadu Domba Cornelis Speelman

Cornelis Speelman menjadi sosok yang memuluskan penguasaan VOC di berbagai wilayah Nusantara. Kinerja hebat itu sebanding dengan korupsi yang dilakukan Speelman.

Kejayaan dan Kejatuhan Si Pengadu Domba Cornelis Speelman
Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1681-1684, Cornelis Speelman. FOTO/Istimewa

tirto.id - Pada 11 Januari 1684, ada acara megah di Kastil Batavia. Bukan merayakan suka-cita, melainkan upacara kematian seorang panglima perang sekaligus pemimpin pemerintahan. Ya, pada 11 Januari 1684 itu, tepat 333 tahun silam pada hari ini, Cornelis Speelman mati saat berusia 55 tahun. Ia saat masih menjabat Gubernur Jenderal VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie).

Kastil Batavia adalah benteng VOC yang berdiri di kawasan Jakarta Kota sekarang. Bangunan seluas 600 x 800 meter2 ini pernah menjadi kediaman sang Gubernur Jenderal. Selama menjabat, Speelman kerap menghabiskan waktunya di rumah peristirahatan yang berada di kompleks kastil, Speelhuisje istilah Belanda-nya. Di tempat ini pula hidup Speelman berakhir karena komplikasi penyakit ginjal dan hati.

Kematian Speelman dikhidmati dengan upacara megah sekaligus menjadi acara belasungkawa termewah dan termahal dalam sepanjang sejarah kolonial Belanda hingga saat itu. Biaya upacara kematian Speelman menembus angka 131.400 rijksdaalder, koin Belanda yang berlaku pada abad ke-17.

Siapa dan Sepenting Apa Speelman?

Cornelis Speelman adalah Gubernur Jenderal VOC ke-14 yang sukses menjalankan siasat devide et impera untuk memecah-belah Nusantara. Speelman merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas penaklukkan sejumlah wilayah di Nusantara, termasuk Banten dan Ternate. Ia juga menjadi pembisik penguasa Mataram Islam, Amangkurat II (memerintah 1677-1703), saat berseteru dengan pemimpin Madura, Raden Trunojoyo.

Speelman pula yang memanaskan hubungan Arung Palakka dari Bone dengan Raja Kesultanan Gowa, Sultan Hasanuddin. Hingga akhirnya Hasanuddin terpaksa meneken Perjanjian Bongaya yang sekaligus memungkasi perjuangan sang Ayam Jantan dari Timur itu. Pencetusnya? Siapa lagi kalau bukan Cornelis Speelman.

Speelman berasal dari kalangan keluarga biasa. Lahir di Rotterdam pada 2 Maret 1628, ayahnya adalah pedagang. Speelman tumbuh menjadi remaja ambisius nan pemberani. Di usia 16 tahun, ia sudah bernyali merantau sangat jauh dari kampung halamannya.

Pada 1644 itu, saat masih remaja, Speelman muda menumpang kapal Hillegersberg yang menuju ke Asia. Ia diterima sebagai pegawai VOC dan langsung ditempatkan di India. Belum setahun, Speelman sudah dikirim lebih jauh lagi, kali ini ke Batavia sebagai boekhouder (kepala tata administrasi) di kongsi perdagangan Belanda tersebut.

Kinerjanya yang memukau membuat karier Speelman meningkat pesat. Pada 1649 ia ditunjuk sebagai sekretaris Raad van Indie, Dewan Penasihat Gubernur Jenderal yang juga salah satu lembaga tertinggi dalam struktur VOC. Speelman juga dipercaya menemani duta penting VOC bernama Joan Cunaeus pergi ke Persia (kini Iran) dalam rangka sebuah misi diplomatik.

Pamor Speelman kian menjulang ketika menikahi Petronella Maria Wonderaer, putri seorang jenderal Belanda, pada 1657. Pernikahan ini semakin memuluskan karier Speelman di kancah politik. Pada 1661, Speelman menjadi senator Schepen van Batavia, semacam anggota DPRD.

Masa depan yang cerah pun semakin terbuka. Dari sanalah dia akhirnya bertugas di Koromandel.

Tersangkut Kasus, Karier Jalan Terus!

Bagi VOC dan Kerajaan Belanda, kemungkinan menempatkan Speelman sebagai orang tertinggi di Nusantara sebenarnya dilematis. Di satu sisi, kemampuan dan kecakapannya memimpin, baik dalam urusan politik maupun militer, sangat bisa diandalkan. Namun, Speelman sebenarnya bukan sosok pemimpin panutan, ia pernah terlibat perkara serius.

Pada 1664, Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Koromandel, wilayah koloni VOC yang terletak di tenggara Semenanjung India. Belum lama menjabat, Dewan Direksi VOC atau De Heeren XVII memutuskan menon-aktifkan jabatan Speelman lantaran dugaan korupsi. Ia memiliki bongkahan berlian dalam ukuran yang cukup besar.

Perihal berlian itu terbongkar setelah Speelman hendak menjualnya. Semula, Speelman memberikan barang mahal tersebut kepada istrinya sebagai hadiah. Namun, sang istri ternyata kurang suka sehingga Speelman terpaksa melegonya kembali. Sebelum berlian itu laku, De Heeren XVII keburu tahu dan segera menggelar penyelidikan.

Speelman berdalih bahwa berlian tersebut didapatkan saat ia melakukan ekspedisi pribadi. Namun, pihak yang berwenang tidak percaya begitu saja. De Heeren XVII mencurigai Speelman telah menyalahgunakan wewenang karena gaji seorang gubernur tidak akan mungkin cukup membeli berlian sebesar itu.

Pengadilan pun digelar. Speelman didudukkan di ruang sidang sebagai terdakwa dan akhirnya divonis skorsing selama 15 bulan dan denda sebesar 3.000 gulden. Tak hanya itu, Speelman dicopot dari jabatan Gubernur Koromandel dan dimutasi ke Batavia sebagai kapten kapal.

Namun, kasus tersebut ternyata tidak menghalangi karier Speelman. Ditempatkan di Batavia, ia justru berhasil unjuk gigi. Ia memperlihatkan betapa kemampuannya memang sangat dibutuhkan VOC. Dan itu terbukti.

Karier Speelman bahkan melenggang mulus usai perkara berlian itu. Speelman terjun ke dunia politik dan mencapai puncaknya pada 1681 ketika merengkuh posisi sebagai orang Belanda paling berkuasa di Nusantara, yakni gubernur jenderal, status prestisius yang dijabatnya sampai mati.

Pakar Pecah-Belah Nusantara

Tak hanya cakap sebagai politisi, Speelman juga tangkas dalam urusan ketentaraan. Mertuanya yang jenderal berperan besar mendongkrak karier militer Speelman yang dilibatkan dalam berbagai operasi penaklukkan sejumlah wilayah atau kerajaan di Nusantara. Peran Speelman cukup besar dalam misi-misi tersebut.

Speelman rupanya piawai menjalankan taktik pecah-belah atau devide et impera yang memang diterapkan VOC dalam upayanya menguasai Nusantara. Usai menaklukkan Ternate, Speelman mendekati pangeran Bone, Arung Palakka, yang terlibat sengketa dengan Sultan Hasanuddin dari Gowa (Makassar).

Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) bahkan menunjuk langsung Speelman memimpin ekspedisi militer VOC ke Sulawesi Selatan untuk membantu Arung Palakka melawan Hasanuddin pada 1666. Speelman dibekali armada yang berkekuatan 21 kapal dengan 600 tentara terlatih dari Eropa.

Bersama pasukan Arung Palakka, armada perang VOC pimpinan Speelman mengepung Gowa. Hasanuddin pun menyerah. Tanggal 18 November 1667, Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang menandai dominasi VOC di Selebes. Speelman pun diangkat sebagai komisioner untuk wilayah Ambon, Banda, dan Ternate.

Satu dasawarsa berselang, “prestasi” gemilang kembali dicatatkan Speelman. Kali ini pusat peradaban Jawa menjadi ajang VOC menancapkan pengaruhnya dengan turut campur urusan internal wangsa Mataram. Adalah Amangkurat II, cucu Sultan Agung sekaligus pendiri Kesultanan Kartasura, yang menjadi korban adu-domba berikutnya.

Saat itu Amangkurat II mendapat perlawanan Trunojoyo yang menginginkan Madura lepas dari Mataram. Trunojoyo dan Amangkurat II sebenarnya sempat bersekutu untuk menggulingkan Amangkurat I pada awal dekade 1670-an. Tapi, karena takut kehilangan tahta, Amangkurat II yang saat itu masih memakai nama Raden Mas Rahmat kembali berpihak kepada sang ayah.

Amangkurat I wafat pada 13 Juli 1677 lantaran diracun. Menurut Babad Tanah Jawi, pelakunya adalah sang putra mahkota sendiri yakni Raden Mas Rahmat. Setelah menguasai singgasana Mataram dan mendirikan Kesultanan Kartasura, Raden Mas Rahmat yang kini bergelar Amangkurat II harus menghadapi perlawanan Trunojoyo.

Di saat-saat genting itu, Speelman yang sejak mula memang telah menebar pengaruh menawarkan bantuan kepada Amangkurat II. Hanya dalam waktu 2 tahun, perlawanan Trunojoyo benar-benar padam pada 26 Desember 1679 berkat VOC di bawah komando Speelman.

Amangkurat II harus membayar mahal bantuan yang diberikan Speelman. Wilayah kekuasaan Mataram di sepanjang pesisir utara Jawa dari Karawang hingga ujung timur diserahkan kepada VOC. Dalam hal ini, andil Speelman memang besar, sebelumnya ia juga menaklukkan Banten dan sebagian besar wilayah timur Nusantara.

Selanjutnya, karier Speelman nyaris tak terbendung lagi. Tak lama setelah kejayaan di Jawa, tepatnya pada 29 Oktober 1680, ia ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal VOC yang berkedudukan di Batavia. Speelman resmi dilantik pada 25 November 1681 untuk menggantikan Rijkloff van Goens.

Pada tahun berikutnya setelah pelantikan, Speelman kembali mempraktikkan praktik devide et impera dengan memberikan bantuan kepada Sultan Haji yang ingin melengserkan ayahnya sendiri, Sultan Ageng, dari puncak kekuasaan di Kesultanan Banten. Seperti biasa, tidak ada makan siang gratis, apalagi bantuan untuk urusan perang. VOC meminta agar perdagangan di area Banten dimonopoli oleh mereka.

Pada 1685, setahun setelah kematian Speelman, didirikanlah benteng Speelwijk di Banten Lama. Nama benteng sendiri diambil dari nama Speelman, semacam penghormatan untuk kinerja Speelman untuk memuluskan dominasi VOC di Banten (A History of the World's Most Influential Spice hal. 106).

Infografik Cornelis Speelman

Menjadi Gubernur Jenderal Korup

Kinerjanya membuat Speelman tak terbendung untuk menggantikan Rijkloff. Sejarawan Bernardus Vlekke dalam Nusantara: sejarah Indonesia (hal. 188-189) menyebutnya sebagai orang yang ideal untuk menjadi komandan kekuatan Kompeni: cerdas, memiliki pengetahuan luas tentang bahasa dan adat istiadat Asia, cepat bertindak, berani mempertaruhkan nyawanya, tapi juga tidak segan mengorbankan nyawa orang lain kalau dia anggap perlu.

Namun sayang Petronella, sang istri, tidak sempat menyaksikan puncak karier Speelman. Ia mati beberapa bulan sebelum Speelman didapuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, meninggal pada 2 April 1681 (lihat Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC hal. 419).

Namun, jabatan sebagai orang paling berkuasa di Nusantara yang kelak menjelma menjadi Indonesia dinikmati Speelman kurang dari 3 tahun saja. Gaya hidup yang bergelimang harta menghasilkan masalah pada organ dalamnya, dan itulah yang mengakhiri nyawa sang Gubernur Jenderal pada 11 Januari 1684.

Namun kontroversi tak berhenti setelah ia mati. Seperti diuraikan M.C. Ricklefs (A History of Modern Indonesia Since c.1200, hal. 100), korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang ia lakukan mulai terkuak. Ia dengan semena-mena memenjarakan lebih dari seribu orang, belakangan hanya seorang saja yang terbukti bersalah. Juga terlibat dalam penjualan perbudakan, menyetujui penggajian serdadu yang sebenarnya tidak ada atau tidak benar-benar bekerja, serta membayar lada dengan harga di bawah pasaran.

Pada saat yang bersamaan, pemasukan ekonomi VOC justru menurun selama kekuasaan Speelman. Selama 1681-1684 penjualan tekstil turun sampai 90 persen, monopoli opium berjalan tidak efektif, dan mengizinkan para pedagang swasta mengganggu monopoli VOC.

Ia juga didakwa melakukan penggelapan dalam jumlah yang banyak. Banyak propertinya disita oleh VOC. Namun diduga banyak hasil penggelapan dan korupsi Speelman gagal disita karena telah lebih dulu diselundupkan ke Belanda.

Riwayat Speelman, sampai batas tertentu, menggambarkan dengan sangat baik riwayat VOC itu sendiri. Dari yang mulanya pedagang, Speelman kemudian menjadi laksamana sekaligus jenderal dan puncaknya menjadi penguasa tertinggi di Nusantara. Jalur karier Speelman ini hampir sama dengan riwayat VOC sendiri: dari yang bermula hanya perusahaan dagang, kemudian melancarkan ekspansi militer, dan akhirnya menjadi penguasa politik di Nusantara.

Korupsi Speelman dengan sendirinya juga mencerminkan persoalan laten di tubuh VOC. Ya, korupsi itu pula yang menjadi salah satu alasan bangkrutnya VOC dan akhirnya membuat VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799.

Baca juga artikel terkait CORNELIS SPEELMAN atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS