tirto.id - Kerajaan Demak merupakan kesultanan Islam pertama di pulau Jawa yang berdiri pada akhir abad ke-15. Berdirinya Demak ditandai dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit pada tahun 1474.
Mulanya, Demak merupakan salah satu bawahan Majapahit. Menjelang runtuhnya kerajaan besar tersebut, Demak berkembang menjadi kesultanan yang merdeka.
Mengutip ulasan "Sejarah Kesultanan Demak: Dari Raden Fatah Sampai Arya Penangsang" dalam Jurnal Tamaddun (Vol. 9, 2001), Demak berdiri sebagai kerajaan merdeka sekitar akhir Abad 15 M, setelah penguasa dari Kediri, Girindrawardhana menyerang ibu kota Majapahit pada tahun 1474.
Kerajaan Demak (Kesultanan Demak) didirikan pada sekitar tahun 1475 oleh Raden Patah (Raden Fatah), putra Raja Majapahit Brawijaya V dengan selir seorang putri Campa, Dwarawati. Nama Raden Fatah pun tersemat sebagai salah satu raja terkenal Kerajaan Demak.
Dikisahkan dalam Babad Pajang, seperti diterangkan oleh Ali Romdhoni melalui Kesultanan Demak Bintara, Poros Maritim Nusantara Abad XV-XVI (2001), ibu Raden Patah adalah bibi Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Sumber lainnya menyebut, nama asli ibu Raden Patah adalah Siu Ban Ci. Dia putri dari Tan Go Wat (Syekh Bantiong atau Syekh Bentong), seorang pendakwah Islam yang datang ke Pula Jawa pada sekitar dekade kedua abad 15 bareng armada Laksamana Cheng Ho.
Tan Go Wat merupakan putra Syekh Quro, ulama besar dari Indo-Cina (antara Campa atau Siam) yang diyakini keturunan Nabi Muhammad dari garis Fatimah dan Ali bin Abi Thalib.
Menjelang Kerajaan Majapahit bubar, Demak berkesempatan tumbuh menjadi lebih dari sekadar kadipaten. Sejak tahun 1475 M, Demak secara bertahap menjelma "penerus" kuasa Majapahit di Pulau Jawa.
Merujuk ke hasil penelusuran Dhurodin Mashad dalam Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang (2014), kemerosotan Majapahit terlihat semenjak Girindrawardhana mengkudeta Brawijaya V pada 1478 M.
Girindrawardhana (Brawijaya VI) lantas dibunuh oleh bawahannya, Patih Udara pada 1498. Pamor Majapahit terus merosot di masa Prabu Udara (Brawijaya VII) hingga beralih menjadi sekadar kota.
Karena Prabu Udara bersekutu dengan Portugis, raja Kerajaan Demak kedua, Adipati Unus menyerang pusat Kerajaan Majapahit pada 1518 M dan memungkasi negara yang pernah besar itu.
Raja-Raja Kerajaan Demak yang Pertama Hingga Terakhir
Sejak era Majapahit berjaya, Demak merupakan salah satu kota pelabuhan dagang di Pulau Jawa. Demak menjadi pelabuhan strategis karena dekat dengan sejumlah sungai dan pantai yang mudah diakses.
Pusat Kerajaan Demak diperkirakan tidak jauh dari selat yang pernah memisahkan Gunung Muria dan daratan utara Jawa Tengah. Banyak catatan sejarah menunjukkan bahwa Kesultanan Demak, sebagaimana Majapahit, adalah kerajaan maritim yang berorientasi pada perdagangan.
Lahirnya Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak sekaligus menandai peralihan tradisi penguasa di Jawa, dari semula Hindu-Buddha menjadi Islam.
Nama raja Kerajaan Demak pernah mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Trenggono, raja ketiga dari dinasti keturunan Raden Patah.
Namun, konflik perebutan kekuasaan yang memuncak setelah era Trenggono membuat umur Kerajaan Demak tidak sepanjang Majapahit. Namanya juga tenar sebagai raja terkenal Kerajaan Demak.
Kerajaan Demak berusia kurang dari satu abad. Setelah raja keempat Kesultanan Demak, Sultan Prawoto dibunuh oleh suruhan Arya Penangsang, nasib Demak mendekati bubar.
Meskipun Arya Penangsang bisa menggantikan Sultan Prawoto, masa kekuasaannya tidak lama. Ia terbunuh dalam perebutan kekuasaan dengan menantu Trenggono, Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang kemudian mendirikan Kerajaan Pajang pada sekitar tahun 1568 M.
Berikut ini daftar raja-raja Kerajaan Demak, dari raja pertama Kerajaan Demak hingga raja terakhir Kerajaan Demak:
1. Raden Patah
Raden Patah merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Demak. Dia lahir di Palembang pada tahun 1448 M, dengan nama Jin Bun. Ayahnya, raja Majapahit Brawijaya V mengirimkan ibu Raden Patah (Dwarawati) ke Palembang saat masih hamil, untuk diserahkan kepada Adipati Arya Damar.Pada mulanya, Raden Patah diberi mandat oleh Brawijaya V untuk menjadi Adipati Demak. Berkat dukungan masyarakat sekitar, para pemuka agama Islam dan pedagang muslim, Kadipaten Demak semakin maju.
Raden Patah juga mendapat sokongan dari sejumlah tokoh muslim yang tergabung dalam jajaran dewan ulama bernama Wali Songo.
Raden Patah naik takhta dengan gelar Sultan Fatah Syeh Alam Akbar Panembahan Jimbun Abdul Rahman Sayyidin Panatagama Sirullah Khalifatullah Amiril Mukminin Hajjuddin Khamid Khan Abdul Suryo Alam di Bintoro Demak.
Setelah berkuasa sejak 1475 di Demak, Raden Patah wafat tahun 1518. Takhta Demak dilanjutkan oleh putranya, Adipati Unus.
2. Pati Unus
Adipati Unus atau Pati Unus terkenal sebagai panglima perang yang berani. Ia memperoleh julukan Pangeran Sabrang Lor berkat sepak terjangnya ketika menyerbu markas Portugis di semenanjung Malaka.Pati Unus pernah memimpin bala tentara Demak dalam dua penyerbuan ke Malaka guna mengusir orang-orang Portugis dari wilayah pusat perdagangan Asia Tenggara itu. Penyerbuan Demak yang kedua dilakukan setelah kegagalan serangan pertama di masa Raden Patah.
Ali Romdhoni dalam Sunan Prawoto Penjaga Visi Politik Maritim Kesultanan Demak Bintara (2021) mencatat, Pati Unus memimpin pasukan Demak untuk menyerang Malaka pada 1512 dan 1521 M.
Meski tidak berhasil menyingkirkan Portugis yang telah menguasai Malaka, dua serangan tersebut sudah cukup menunjukkan kebesaran armada angkatan laut Demak di bawah kendali Pati Unus.
Pati Unus meninggal dunia secara mendadak tahun 1521 M. Menurut Slamet Muljana dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (2005), Adipati Unus meninggal dunia karena sakit bengkak paru-paru. Posisi Pati Unus sebagai Raja Demak lalu digantikan oleh adiknya, Pangeran Trenggono.
3. Sultan Trenggono
Dalam Serat Kandha, diceritakan bahwa Sultan Trenggono memimpin Kerajaan Demak dari tahun 1521 sampai 1546. Di bawah kekuasaan Trenggono, Demak melancarkan serangkaian aksi militer ke kota-kota pelabuhan di utara Jawa dan sejumlah wilayah eks bawahan Majapahit di Jawa bagian timur.Ketika Portugis menjalin kesepakatan dengan Kerajaan Pajajaran, Demak merasa terancam. Maka itu, Trenggono mengirim pasukan Demak guna menyerang Kerajaan Pajajaran. Tokoh utama dalam penaklukan ke Jawa bagian barat itu ialah salah seorang menantu Trenggono, Fatahillah.
Dalam misinya, Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa dan Banten. Pelabuhan di 2 wilayah itu dinilai strategis sebagai pintu masuk kapal dagang dari arah barat ke Jawa.
Setelah Demak berhasil menguasai Sunda Kelapa, pada 1527, Alfonso de Albuquerque mengirim 6 kapal perang Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa ke Sunda Kelapa. Pertempuran sengit di Sunda Kelapa terjadi pada sekitar Juni 1527 dengan pasukan Demak sebagai pemenang.
Trenggono yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar III meninggal dunia pada 1546. Kematian Sultan Trenggono terjadi saat ia memimpin penyerbuan pasukan Demak ke Pasuruan. Selepas sang sultan mangkat, takhta Demak dipegang oleh putra sulung Trenggono, yakni Prawoto.
4. Sunan Prawoto
Di bawah kekuasaan Sunan Prawoto, pusat Kerajaan Demak dipindahkan dari Bintara ke Pati. Ibu kota Demak kala itu diduga berada di perbukitan Desa Prawoto, wilayah yang kini menjadi bagian dari Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.Di masa pemerintahan Sunan Prawoto ini, puncak pergolakan di internal Kerajaan Demak terjadi akibat perebutan kekuasaan. Huru hara di internal Demak ini membuat era pemerintahan Sunan Prawoto tidak berlangsung lama.
Prawoto hanya sempat menduduki takhta Demak selama 1546-1549. Chusnul Hayati dkk. melalui buku Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara pada Abad XVI (2000) menerangkan, Prawoto dibunuh oleh prajurit asal Jipang Panolan bernama Rangkud. Pembunuh Prawoto beserta permaisurinya itu merupakan orang suruhan Adipati Jipang Panolang, Arya Penangsang.
5. Arya Penangsang
Setelah pembunuhan Prawoto, takhta Demak jatuh ke tangan Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan dari Sunan Kudus. Namun, jalan hidup Penangsang seolah peralihan dari satu tragedi ke tragedi lain.Konflik Penangsang dan Prawoto berakar pada perebutan takhta Demak selepas Pati Unus wafat. Mayoritas peneliti sejarah Demak meyakini Pati Unus tidak memiliki keturunan. Kematiannya pada usia muda membuat takhta Demak menjadi rebutan dua adiknya.
Setelah ia wafat, dua adik Pati Unus, yakni Pangeran Sekar dan Pangeran Trenggono merasa sama-sama berhak atas kuasa tertinggi di Demak Bintoro.
Pangeran Sekar berusia lebih tua dari Trenggana, tetapi dia lahir dari istri ketiga Raden Patah yang merupakan putri Adipati Jipang. Sebaliknya, Trenggana yang lebih muda adalah anak Raden Patah dari istri pertama, yakni putri Sunan Ampel.
Suyuthi Pulungan dalam Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (2022) mencatat perebutan takhta itu berujung pada tragedi.
Pangeran Prawoto, putra Trenggana, membunuh sang paman (Pangeran Sekar). Pembunuhan itu konon berlangsung di tepian sungai sehingga sang korban memiliki nama anumerta Pangeran Sekar Seda Ing Lepen.
Saat Pangeran Sekar terbunuh, putranya yakni Arya Penangsang masih berusia muda. Namun, dia segera tumbuh menjadi pribadi berwatak keras.
Ketika Penangsang menjadi Adipati Jipang Panolan (kini masuk Blora timur) dan Trenggono tutup usia, perebutan takhta tidak terhindarkan. Penangsang merasa berhak atas takhta Demak. Maka itu, ia mendalangi kudeta untuk melengserkan Sunan Prawoto.
Sekalipun berhasil menjadi Raja Demak ke-5, Arya Penangsang pun tidak lama berkuasa. Tindakan pengikut Penangsang yang menghabisi Sunan Prawoto dan Adipati Jepara Pangeran Hadiri (suami Ratu Kalinyamat) memicu pembangkangan di internal Demak.
Dalam situasi itu, penantang terkuat Penangsang adalah Adipati Pajang, Hadiwijaya (Jaka Tingkir), salah seorang menantu Sultan Trenggono.
Dalam konflik ini, Hadiwijaya mengandalkan pasukan di bawah kendali Ki Ageng Pemanahan, Juru Mertani, serta Ki Penjawi guna menghukum Penangsang. Tiga nama terakhir menyiapkan Danang Sutawijaya sebagai lawan tanding Penangsang.
Maka, terjadilah duel legendaris antara Sutawijaya melawan Penangsang. Dalam perkelahian satu lawan satu itu, Penangsang tewas oleh musuhnya yang jauh lebih muda. Buku Awal kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (1985), terjemahan karya H.J. De Graaf, memuat catatan bahwa lokasi duel Penangsang vs Sutawijaya berada di Sungai Sore, tepian Bengawan Solo.
Dalam Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara pada Abad XVI (2000), Chusnul Hayati dkk menulis ada perbedaan data dari sejumlah sumber mengenai tahun kematian Penangsang. Setidaknya ada tiga versi, yakni tahun 1480 Saka atau 1558 M, tahun 1556 M, dan tahun 1554 M.
Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas, kematian Penangsang menandai tutup bukunya Kerajaan Demak. Selepas kematian Penangsang, Hadiwijaya mendirikan Kerajaan Pajang.
Namun, Kesultanan Pajang tidak berusia panjang pula. Pajang akhirnya tumbang seiring dengan tumbuhnya dinasti baru yang didirikan oleh Danang Sutawijaya, yakni Mataram Islam.
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Dhita Koesno