tirto.id - Seperti beberapa daerah tingkat dua lain di Jawa, Blora termasuk kabupaten yang berusia lebih dari 100 tahun. Blora sejak lama terkenal dengan hutan jatinya. Kualitas jatinya dianggap baik dan pemerintah kolonial berkeras menjadikannya sebagai hutan jati penghasil uang ketimbang jadi persawahan yang menjaga kelangsungan hidup rakyat Blora. Selain hutan jati, Blora juga memiliki kandungan minyak bumi. Salah satu kecamatannya yang bernama Cepu adalah daerah penghasil minyak.
“Penemuan minyak di Cepu ini menandai bentuk eksploitasi baru di Blora. Daerah yang semula tandus, sejak pendirian kilang minyak Cepu itu, menjadi incaran para pemodal dan juga buruh kilang minyak,” tulis Agung Dwi Hartanto dalam Doenia Bergerak: Keterlibatan Mas Marco Kartodikromo di Zaman Pergerakan Nasional 1890-1932 (2017:23).
Dalam buku Cerita Rakyat dari Blora (2009:6) disebutkan bahwa daerah ini adalah hadiah untuk Mpu Baradah yang telah membantu Raja Airlangga membagikan daerah kekuasaan untuk dua anaknya. Konon tanah ini mulanya disebut Bhurara--artinya kira-kira "tanah yang diberikan raja kepada seorang anak atau orang yang berjasa"--dan Bhurara sering diucap sebagai Wurara atau Wurare lalu Blura dan kemudian menjadi Blora.
Sejarah Blora terkait dengan riwayat Arya Penangsang yang berkuasa di Jipang, Cepu. Menurut Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (2005:110), Arya Penangsang adalah putra dari Pangeran Seda Lepen yang dibunuh Sunan Prawoto alias Raden Mukmin. Hal ini membuat Sultan Trenggana bisa berkuasa di Demak dengan leluasa.
Seda Lepen dan Trenggana adalah anak dari Raden Fatah pendiri Demak. Keluarga Trenggana akhirnya dapat pembalasannya. Belakangan Arya Penangsang membuat hidup anak dan mantu Trenggana tak tenang. Keadaan Demak yang semula dominan pun merosot.
Arya Penangsang yang digambarkan jahat dan berambisi menguasai Demak oleh banyak narasi sejarah Jawa Mataram, lalu dihabisi oleh Jaka Tingkir dkk. Salah seorang yang ikut menghabisinya adalah Sutawijaya yang kemudian membangun dinasti Mataram di pedalaman Jawa.
Sejarah Blora kemudian terhubung dengan Kerajaan Mataram Islam yang bertakhta di selatan Jawa Tengah. Setelah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai menggerogoti Jawa bagian tengah, hubungan antara Blora dengan Mataram tetap ada, yakni sebagai wilayah dari Mataram selama beberapa raja keturunan Sutawijaya. Blora, menurut Willem G.J. Remmelink dalam Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743 (2014:59) adalah daerah mancanegara dari keraton Mataram Islam.
Setelah era Amangkurat berlalu, di Mataram terjadi pemberontakan Pangeran Mangkubumi. Perlawananannya sampai di sekitar Blora dan Susuhunan Pakubuwono II kewalahan, apalagi Raden Said anak Pangeran Mangkunegara juga ikut berontak. Dalam Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Blora (1987:22-23) disebutkan bahwa Tumenggung Wilatikta diangkat menjadi Bupati Blora oleh Pangeran Mangkubumi dan peristiwa itu jatuh pada tanggal 11 Desember 1749, tepat hari ini 272 tahun lalu. Hari tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Blora. Wilatikta disebut-sebut sebagai prajurit penting dalam pasukan Pangeran Mangkubumi.
Meski sejarahnya terkait dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I dalam Kesultanan Yogyakarta, namun setelah 1755 Blora berada dalam kuasa Kesunanan Surakarta. Selanjutnya, VOC dan penerusnya yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda membawahi dua keraton tersebut.
Blora tak hanya memiliki Arya Penangsang yang dulu melawan Kesultanan Demak. Di zaman Hindia Belanda pernah lahir di Randublatung seorang tokoh bernama Samin Surosentiko. Ia menjadi pelopor perlawanan tanpa kekerasan terhadap pemerintah kolonial. Di saat gerakan Samin muncul, seperti disebut Agung Dwi Hartanto dalam Doenia Bergerak: Keterlibatan Mas Marco Kartodikromo di Zaman Pergerakan Nasional 1890-1932 (2017), Medan Prijaji yang diurus oleh Tirto Adhi Surjo sedang menggeliat melawan ketidakadilan.
Blora yang panas dan kering tanahnya itu telah melahirkan orang-orang dengan karakter keras hati yang menyumbangkan dirinya dalam kemerdekaan Indonesia. Dua tokoh di antaranya adalah Mas Marco Kartodikromo dan keponakannya Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo. Meski pernah melawan pemerintahan Sukarno, Kartosuwirjo juga pernah jadi pejuang kemerdekaan Indonesia. Sementara Mas Marco Kartodikromo adalah jurnalis pergerakan yang pernah dibuang ke Boven Digoel.
Di kalangan militer, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) punya pahlawan di bidang radio yang kelahiran Blora, yaitu Adisoemarmo Wirjokoesoemo yang namanya menjadi nama bandara di Solo. Sementara di Cepu, pernah lahir salah seorang Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani. Blora juga menjadi daerah asal salah seorang kepercayaan daripada Soeharto, yaitu Mayor Jenderal Ali Moertopo.
Dan salah satu pengarang terbesar negeri ini juga berasal dari Blora: Pramoedya Ananta Toer.
Setelah Indonesia merdeka, Kabupaten Blora dipimpin oleh Mr Iskandar Surjaatmadja. Bupati Blora pertama di era kemerdekaan itu gugur dalam Peristiwa Madiun 1948. Dia dihabisi oleh pengikut Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Blora yang penuh dengan perdesaan kerap menjadi basis gerilya, baik oleh kelompok pro pemerintah ataupun sebaliknya. Contohnya adalah Mbah Suro. Salah seorang bekas gerilyawan angkatan 1945-1949 itu setelah 1966 banyak menampung orang-orang kiri yang melawan Orde Baru di Nginggil. Daerah ini kemudian diserbu pasukan komando pimpinan Feisal Tanjung yang belakangan menjadi Panglima ABRI.
Editor: Irfan Teguh Pribadi