Menuju konten utama
Sejarah Nusantara

Tan Go Wat: Datang Dari Cina, Lalu "Mengislamkan" Jawa

Tan Go Wat alias Syekh Bentong merupakan salah satu ulama pendakwah Islam yang turut memprakarsai lahirnya Walisongo.

Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang didirikan Sunan Kudus, salah satu Walisongo. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/aww/17.

tirto.id - Tan Go Wat berlayar meninggalkan Cina pada 1416 M bersama armada angkatan laut pimpinan Laksamana Cheng Ho menuju Kepulauan Nusantara. Selain bertujuan untuk merajut kerjasama perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lokal di sana, rombongan utusan Dinasti Ming ini juga berniat menyebarkan ajaran Islam.

Memang itulah yang kemudian dilakukan Tan Go Wat di Jawa. Nantinya, ia menjadi sosok ulama sekaligus pendakwah Islam yang ternama dan amat dihormati, dikenal dengan nama Syekh Bantiong, Syekh Bentong, atau Kyai Bah Tong. Ia juga merupakan salah satu perintis terbentuknya majelis mulia di Kesultanan Demak, Walisongo.

Tan Go Wat adalah putra Syekh Quro, ulama besar dari Indo-Cina, antara Campa (Vietnam) atau Siam (Thailand). Syekh Quro diyakini masih keturunan Nabi Muhammad dari garis Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib (Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati antara Fiksi dan Fakta: Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, 2003: 61).

Syekh Quro turut juga turut dalam rombongan armada Laksamana Cheng Ho ke Nusantara. Tan Go Wat sebenarnya berperan sebagai pengiring sang ayah dalam misi khusus ini, yakni menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa.

Saat kapal berlabuh di pesisir pantai utara Karawang, Syekh Quro dan para pengiringnya, termasuk Syekh Bentong, memutuskan turun dari kapal dan singgah untuk bersyiar Islam. Kala itu, sebagian besar wilayah Jawa bagian barat masih dikuasai Kerajaan Sunda Galuh, kerajaan Hindu yang merupakan pecahan dari Tarumanegara.

Dalam Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad ke-17 (2010) yang diterbitkan Kementerian Agama RI disebutkan bahwa Syekh Quro dan Syekh Bentong merupakan pendakwah Islam pertama di tanah Sunda (hlm. 171).

Mertua Raja Majapahit

Setelah beberapa waktu lamanya menemani sang ayah berdakwah di wilayah Sunda, termasuk ikut mendirikan pondok pesantren pertama di Jawa Barat, Syekh Bentong berkeinginan meluaskan syiar ke kawasan lain. Maka itu, ia bersama keluarganya berangkat ke timur dan kemudian menetap di Gresik.

Di Gresik inilah Syekh Bentong mulai menjalin relasi dengan tokoh-tokoh awal syiar Islam lainnya. Meskipun pada perjalanan abad ke-14 itu di Jawa bagian timur masih bercokol kerajaan Hindu yang pernah sangat digdaya di seantero Nusantara: Majapahit.

Kerajaan Majapahit kala itu dipimpin Bhre Kertabumi atau Prabu Brawijaya V (1468-1478). Raja ini diyakini sebagai penguasa Majapahit terakhir sebelum berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak (Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang, 2014: 89).

Brawijaya V terpikat dengan anak perempuan Syekh Bentong yang bernama Siu Ban Ci. Agus Aris Munandar dan ‎Edi Suhardi Ekajati (1991) dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa menyebutkan, sang raja lantas menikahi putri Cina itu kendati hanya sebagai istri selir (hlm. 59). Terlepas dari sejumlah versi atas kontroversi yang terjadi kemudian, pernikahan itu dikaruniai seorang anak laki-laki.

Tan Go Wat menyematkan nama Jin Bun untuk cucunya itu, nama khas Cina meskipun tanpa marga di depannya. Nama Jin Bun berarti “kuat” (Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, 2005: 89). Nantinya, Jin Bun dikenal dengan nama Raden Patah, merujuk istilah Arab yakni Fatah yang berarti “kemenangan”.

Jin Bun alias Raden Patah pada akhirnya nanti justru melawan ayahnya sendiri, meruntuhkan Majapahit sekaligus mengakhiri dominasi Hindu dan menggantinya dengan Islam. Pada 1475, Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.

Perintis Islamisasi Jawa

Berdirinya Kesultanan Demak tak pelak mengubah peta keagamaan di Jawa secara drastis. Jawa yang sudah sekian lama dikuasai kerajaan-kerajaan bercorak Hindu atau Buddha, beralih menjadi wilayah yang sebagian besar penduduknya menganut agama Islam. Walisongo sangat berperan dalam suksesnya misi Islamisasi di Jawa ini.

Setidaknya ada dua versi utama yang dirujuk untuk memaknai istilah Walisongo. Pertama, Wali Songo diartikan sebagai wali (orang suci yang dicintai Tuhan) berjumlah 9 orang. Songo/sanga dalam bahasa Jawa berarti angka sembilan.

Buku Politik Walisongo dan Visi Kebangkitan Bangsa yang ditulis Umaruddin Masdar, Eman Hermawan, dan ‎Ahmad Baso (2007), menyebutkan, dalam setiap kurun waktu, Walisongo diusahakan tetap berjumlah 9 orang sehingga jika ada seorang wali yang meninggal maka selalu diganti oleh wali lain yang disepakati (hlm. 29).

Adapun versi kedua menjelaskan bahwa kata songo/sanga berasal dari istilah Arab yakni tsana yang berarti “mulia”, semakna dengan mahmud yang artinya “terpuji” (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, 1995: 18).

Jadi, Walisongo menurut versi ini dapat dimaknai sebagai “orang-orang suci yang mulia atau terpuji”, tanpa harus selalu berjumlah 9 orang. Walisongo tidak melulu diidentikkan kepada sosok tokoh atau personal, melainkan lebih mengarah ke suatu majelis atau dewan dakwah.

Walisongo hadir sebagai garda terdepan penyebaran Islam di Jawa, sekaligus berperan menopang sendi-sendi kehidupan, terutama agama (juga politik) Kesultanan Demak. Tan Go Wat alias Syekh Bentong lah yang menjadi salah satu perintis sekaligus anggota awal Majelis Walisongo tersebut.

Selain Syekh Bentong, formasi pertama Walisongo diisi oleh Sunan Ampel, Raden Ali Murtadho atau Raden Santri, Abu Hurairah atau Pangeran Majagung, Syekh Maulana Ishak atau Syekh Wali Lanang, Maulana Abdullah atau Syekh Sutamaharaja, Khalif Husain, dan Usman Haji atau Pangeran Ngudung (ayahanda Sunan Kudus).

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/30/tan-go-wat-syekh-bentong--mild-01_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="infografik tan go wat" /

Sang Pemula Walisongo

Pada masa-masa terakhir Majapahit, para anggota Walisongo yang dipimpin Sunan Ampel disebar ke wilayah-wilayah milik kerajaan Hindu yang berpusat di Jawa Timur tersebut. Kebetulan, Majapahit kala itu punya 9 provinsi utama, yaitu Trowulan (ibukota), Daha, Blambangan, Matahun, Tumapel, Kahuripan, Lasem, Wengker, dan Pajang.

Syekh Bentong ditugaskan di Lasem karena banyak orang Tionghoa yang bermukim di situ. Raden Patah kemudian juga dikirim ke wilayah ini sebagai penerus kakeknya (Agus Sunyoto, Sejarah Perjuangan Sunan Ampel, 1990: 69). Ia menetap di Bintara yang termasuk wilayah Lasem. Kelak, di tempat inilah Kesultanan Demak didirikan.

Peran Syekh Bentong sebagai salah satu perintis Walisongo sangat penting. Terlebih setelah Raden Patah bertakhta sebagai penguasa Kesultanan Demak. Kala itu, Walisongo bukan hanya mengurusi agama saja, namun juga kerap memengaruhi politik istana.

Majelis ini bersidang rutin dalam periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak. Mastori dalam Pemikiran Politik Dakwah Kontemporer (2015) memaparkan, pentingnya kekuasaan bagi kelangsungan dakwah menyadarkan para Walisongo untuk terlibat dalam percaturan politik (hlm. 169).

Contohnya adalah ketika para wali “mengadili” Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat. Syekh Bentong turut menjadi “hakim” dalam “pengadilan” pada 1515 itu, bersama anggota Walisongo lainnya. Keputusannya: Jenar divonis mati (Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan, 2007: 13).

Syekh Bentong menjadi salah seorang yang paling berpengaruh di Kesultanan Demak saat itu, terutama selama Raden Patah berkuasa hingga 1518. Namun, Syekh Bentong tak selamanya di Demak. Di masa tuanya, ia kembali ke Karawang, tempat di mana ia dan ayahnya memulai dakwah di tanah Sunda serta mendirikan pesantren tertua di sana.

Di Karawang, Syekh Bentong melanjutkan syiar Islam serta mengajarkan agama kepada murid-muridnya. Kegiatan ini dijalaninya hingga wafat. Makam Syekh Bentong masih bisa ditemukan di Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan