tirto.id - Suatu hari di Istana Argapura, Giri (Gresik), para wali dan sejumlah tokoh penting menggelar sarasehan. Telah hadir Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Tan Go Wat alias Syekh Bentong, Pangeran Palembang, Panembahan Madura, hingga Syekh Lemah Abang.
Masing-masing hadirin bergantian memaparkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang agama atau hal-hal lainnya. Saat tiba giliran Syekh Lemah Abang, ia berucap dengan mantap:
“Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku'-nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang menyembah maupun yang disembah. Dengan demikian, hambalah yang berkuasa, dan yang menghukum pun hamba juga." (Ngabei Ranggasutrasna, dkk., Centhini: Tambangraras-Amongraga, Jilid I, 1991:120-123).
Kata-kata itu membuat forum riuh seketika. Beberapa orang menuding Syekh Lemah Abang berdosa besar karena menyamakan dirinya dengan Tuhan. Banyak pula yang menyebutnya keblinger, terlalu jauh dalam memaknai tasawuf.
Syekh Lemah Abang tetap tenang. Dengan kalem, ia menjawab segala tudingan yang diarahkan kepadanya itu, “Biar jauh tapi benar, sementara yang dekat belum tentu benar.”
Suasana kembali ramai. Beberapa wali memperingatkan bahwa pemikiran Syekh Siti Jenar itu bisa berdampak hukuman mati karena melenceng dari Islam (Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan, 2007:11).
Baca Juga: Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit
Pandangan Syekh Siti Jenar dianggap mengancam proses tumbuh-kembang Islam yang sedang subur-suburnya di Jawa selepas runtuhnya Majapahit itu. Apalagi Syekh Siti Jenar punya banyak murid dan pengikut yang beberapa di antaranya cukup berpengaruh.
Sosok sufi yang memantik kontroversi di kalangan Walisongo dan kaum ulama serta tokoh-tokoh penting dalam pusaran kekuasaan di pusat peradaban Jawa itulah yang juga dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar.
Jejak Syekh Siti Jenar
Keberadaan Syekh Siti Jenar secara fisik masih menjadi perdebatan. Lokasi di mana jasadnya dikebumikan setelah dihukum penggal pada masa-masa akhir kepemimpinan Raden Patah (1475-1518) selaku penguasa Demak pun masih simpang-siur.
Yang menjadi pegangan bahwa Syekh Siti Jenar memang pernah hadir dan berperan penting adalah peninggalan ajarannya yang disebut pupuh atau ajaran budi pekerti. Beberapa sumber lama berupa babad maupun serat merekam apa saja yang dipelajari, diyakini, dan dijalankan Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat itu.
Syekh Siti Jenar diyakini berasal dari Persia (Iran), lahir sekitar 1404 M. Ia berguru kepada ayahnya, Sayyid Shalih, yang dikenal sebagai ahli tafsir kitab suci. Konon, Jenar sudah hafal Alquran sejak usia 12 tahun (Shohibul Farojo Al-Robbani, Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, 2013:1474).
Dirunut dari silsilah, para pengikutnya yakin bahwa Syekh Siti Jenar keturunan langsung Nabi Muhammad melalui jalur Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, 1995:49).
Pada usia 17 tahun, Jenar tiba di Kepulauan Nusantara, mengikuti ayahnya berdagang sekaligus berdakwah di Malaka. Ayah Jenar lalu diangkat sebagai mufti (ulama yang berwenang menafsirkan kitab dan memberikan fatwa kepada umat) oleh penguasa Kesultanan Malaka saat itu, yakni Sultan Iskandar Syah (1414-1424).
Baca Juga: Seabad Malaka Berjaya, Kemudian Musnah
Setelah Sultan Iskandar Syah meninggal dunia, Sayyid Shalih pindah ke Cirebon pada 1425 dan dipercaya sebagai penasihat agama kesultanan di sana, bersama Maulana Malik Ibrahim atau yang kelak dikenal sebagai Sunan Gresik.
Sayyid Shalih wafat di Cirebon. Jenar pun ditunjuk sebagai penerusnya. Inilah mengapa Abdul Munir Mulkhan (1999:50) dalam Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa menyebut Jenar merupakan keturunan bangsawan Cirebon sebelum datang ke Demak.
Di Demak yang merupakan pusat ajaran Islam di Jawa, Jenar berguru kepada sejumlah wali, termasuk Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Mohammad Zazuli dalam Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan (2011:18), meyakini bahwa Jenar juga sempat berguru kepada pertapa Hindu/Buddha. Dari sinilah ia mulai mengenal konsep manunggaling kawula gusti.
Kendati demikian, perlu untuk dipahami bahwa mistisisme dalam Islam, yang dikenal sebagai tasawuf atau sufisme, sudah muncul jauh sebelumnya. Beberapa mistikus Islam sudah berperan dan memainkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia Islam, bahkan sudah muncul sejak abad-abad pertama perkembangan Islam.
Manunggaling Kawula Gusti
Syekh Siti Jenar bermukim di Jepara, memimpin pondok pesantren. Suatu kali, ketika Jenar sedang mengajar santri-santrinya di dalam masjid, tiba rombongan dari Demak. Ada Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Geseng (Raden Mas Cakrajaya), dan lainnya. Mereka datang untuk menyampaikan titah dari Raden Patah, Sultan Demak.
Sunan Bonang berucap salam. Tapi salam itu rupanya tidak terdengar karena suasana yang sedang ramai oleh para santri. Merasa tidak dihargai, Sunan Bonang naik pitam dan mendatangi Syekh Siti Jenar seraya berkata keras:
“Wahai Jenar yang sedang berada di alam kematian. Hentikan sejenak pengajaranmu. Jangan kau teruskan mengajar murid-muridmu!” bentak Sunan Bonang (R. Sasrawidjaja, Serat Syaikh Siti Jenar, 1958:48).
Rupanya kedatangan para ulama sekaligus politisi berpengaruh dari Demak itu atas perintah Raden Patah. Sang sultan mendapatkan kabar bahwa apa yang diajarkan oleh Jenar terindikasi telah menyimpang dari ajaran Islam.
Baca Juga: Tjokroaminoto, Ratu Adil, Mesias, dan Titisan Dewa Wisnu
Para wali dan ulama di wilayah kekuasaan Demak kala itu, termasuk Syekh Siti Jenar, hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara Jenar dikabarkan sudah berani memberikan materi tentang ilmu ma’rifat dan hakikat.
Digelarlah forum sebagai ajang pertanggungjawaban atas keyakinan Jenar itu. Sebagian besar anggota Walisongo hadir dan “mengeroyok” Jenar dengan melancarkan berbagai argumen tentang ketuhanan.
Bagi Syekh Siti Jenar, inti paling mendasar tentang syahadat dan tauhid adalah manunggal (bersatu). Artinya, seluruh ciptaan Tuhan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan, manunggaling kawula gusti. Para wali beramai-ramai menyanggah keyakinan Jenar itu.
“Allah adalah yang bewujud haq,” kata Sunan Gunung Jati.
“Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya,” tandas Sunan Bonang.
“Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan,” imbuh Sunan Giri.
“Allah itu adalah seumpama (dalang) memainkan wayang,” sambung Sunan Kalijaga.
Sebagai penegas sekaligus sabda pamungkas, Sunan Kudus mengatakan, “Adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama (manusia).”
Namun, Syekh Siti Jenar tetap bertahan dengan keyakinannya. “Tak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati,” balasnya (R. Tanaja, Suluk Walisanga, 1954:54).
“Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada zat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh (manusia itu sendiri),” lanjut Syekh Siti Jenar.
Masih panjang paparan Jenar tentang konsep ketuhanan versinya yang oleh Walisongo disebut musyrik karena menganggap diri sebagai Tuhan. Jenar sebenarnya hanya ingin meyakinkan bahwa manusia dan Sang Pencipta suatu saat akan bertemu dan bersatu.
Dan, forum diskusi itu pun beralih fungsi menjadi persidangan. Dengan suara bulat memutuskan bahwa Syekh Siti Jenar harus diproses hukum, kemungkinan besar hukuman mati.
Vonis mati dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar dalam sidang para wali yang dipergelarkan di Cirebon (Achmad Chodjim, 2007:13). Belum dapat dipastikan, kapan tepatnya nyawa Jenar dipungkasi, diperkirakan antara tahun 1515 hingga 1517.
Baca Juga: Pesona Ratu Harisbaya Memicu Konflik Sumedang vs Cirebon
Sosok pasti Syekh Siti Jenar memang masih menjadi misteri. Namun, berdasarkan penemuan jejak pemikirannya yang kemudian dirangkum oleh berbagai sumber berupa babad, serat, kitab, atau bentuk referensi lainnya, Jenar tidak pernah takut mati, justru itulah yang diyakininya sebagai titik kesempurnaan manusia.
“Syukur jika saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati… Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas di alam kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng, tiada ini dan itu.” (R. Sasrawidjaja, 1958:20).
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS