tirto.id - Antara Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Cirebon sebenarnya pernah terjalin ikatan kekerabatan yang erat. Bahkan, Sumedang sempat menggabungkan diri dengan wilayah Cirebon dan hidup akur selama 55 tahun. Namun, kemesraan itu mulai retak karena pesona Ratu Harisbaya.
Harisbaya merupakan istri kedua Panembahan Ratu, penguasa Cirebon yang bertakhta pada 1568-1649. Drama dimulai ketika Raja Sumedang era 1578-1610, Prabu Geusan Ulun, berkunjung ke Cirebon dalam perjalanan pulang dari Kesultanan Pajang yang berpusat di Kartasura, dekat Solo.
Di Kraton Cirebon, Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya yang konon pernah menjadi kekasihnya. Dari situlah cinta lama bersemi kembali walau terlarang. Harisbaya secara diam-diam meminta kepada Geusan Ulun agar membawanya kabur meskipun ia masih istri sah Panembahan Ratu.
Prabu Geusan Ulun mengiyakan permintaan sang mantan. Harisbaya dilarikan ke Sumedang dan tentu saja memicu murka Panembahan Ratu yang segera mengirimkan pasukan untuk menyerbu.
Terjadilah perang antara sesama kerajaan Sunda itu. Nantinya, polemik ini berakhir dengan perjanjian damai kendati Sumedang Larang akhirnya harus mengakhiri riwayatnya setelah menyerahkan diri kepada Kesultanan Mataram Islam, kerajaan Jawa penerus Pajang, pada 1620.
Baca Juga: Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Jawa
Kisah cinta terlarang ini telah diceritakan oleh berbagai sumber, baik yang bersifat tradisional seperti Babad Sumedang, Babad Cirebon, juga Babad Limbangan, maupun catatan para peneliti dari Eropa, termasuk Petrus de Roo de la Faille, Theodore van Deventer, H.J. de Graaf, Th. G. Pigeaud, dan lainnya.
Raja Sumedang Pewaris Pajajaran
Sumedang Larang dikenal sebagai suatu kerajaan kecil yang bernaung di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Prabu Geusan Ulun bergelar Angkawijaya sebagai pemimpinnya mendapat gelar raja daerah dari Raja Pajajaran, yakni Raga Mulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579).
Meskipun Pajajaran merupakan kerajaan Hindu, namun Sumedang Larang sudah menganut Islam. Geusan Ulun adalah anak dari Pangeran Santri dengan Ratu Setyasih, putri penguasa Sumedang sebelum tahun 1530. Pangeran Santri semula datang ke Sumedang untuk menyebarkan agama Islam, dan memiliki hubungan baik dengan Kesultanan Cirebon.
Pangeran Santri kemudian bersama-sama dengan istrinya memimpin Sumedang Larang (Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad 17, 2010:222). Setelah Pangeran Santri wafat, roda pemerintahan dilanjutkan oleh Geusan Ulun yang mulai bertakhta pada 1578.
Baca Juga: Salakanagara, Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara
Baru setahun Geusan Ulun berkuasa di Sumedang, Pajajaran hancur akibat serangan Kesultanan Banten pada 1579. Di tengah kekacauan itu, Geusan Ulun mendeklarasikan Sumedang Larang sebagai penerus Kerajaan Pakuan Pajajaran (Agus Arismunandar, ed., Widyasancaya, 2006:84).
Klaim tersebut memperoleh dukungan karena Geusan Ulun masih keturunan para Prabu Siliwangi yang berkuasa pada 1482 hingga 1521. Dengan demikian, Geusan Ulun diyakini punya hak memimpin bekas wilayah Pajajaran yang meliputi hampir seluruh tanah Sunda kecuali daerah milik Kesultanan Banten dan Cirebon.
Cinta Lama Bersemi Kembali
Kisah itu bermula ketika Geusan Ulun masih berstatus pangeran, seorang putra mahkota kerajaan kecil dari pedalaman Sunda yang sedang menempuh pedidikan di Kesultanan Pajang. Oleh sang ayah, Pangeran Santri, Geusan Ulun dikirim ke Pajang untuk belajar agama Islam sekaligus ilmu tata negara.
Pusat pemerintahan dan pendidikan Islam di Jawa kala itu telah dipindahkan ke Pajang –tidak jauh dari Surakarta– seiring runtuhnya Kesultanan Demak pada 1548. Demak dan Pajang adalah penerus Majapahit dari wangsa Mataram. Hubungan antara Pajang, Cirebon, Sumedang, dan Banten cukup harmonis pada masa-masa ini.
Baca Juga: Raja Banten, Sultan "Resmi" Pertama di Nusantara
Dalam buku Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa karya Yoseph Iskandar (1997:301) disebutkan, semasa menetap di Pajang itulah Geusan Ulun bertemu dengan Harisbaya, putri cantik berdarah ningrat-Mataram yang berasal dari Madura. Mereka akhirnya menjalin hubungan asmara.
Setelah lima tahun tinggal di Pajang, Geusan Ulun harus segera pulang ke Sumedang Larang untuk melanjutkan pemerintahan ayahnya. Jalinan cinta Geusan Ulun dan Harisbaya pun usai tanpa kejelasan.
Lagipula, Harisbaya akan dinikahkan dengan Panembahan Ratu, penguasa Kesultanan Cirebon yang juga menantu Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Dengan kata lain, Harisbaya menjadi istri kedua sang Panembahan.
Beberapa warsa berselang atau tujuh tahun sejak Geusan Ulun dinobatkan sebagai pemimpin Sumedang Larang, ia berjumpa kembali dengan Harisbaya yang saat itu sudah berstatus sebagai istri Panembahan Ratu.
Cinta lama pun bersemi kembali. Harisbaya meminta Geusan Ulun untuk membawanya kabur. Dan, itulah yang kemudian terjadi hingga memicu perang antara Cirebon dengan Sumedang.
Asmara Terlarang Memicu Perang
Selain versi di atas, ada pula versi lain yang menceritakan kisah berbeda ihwal hubungan Geusan Ulun dengan Harisbaya. Uka Tjandrasasmita (2009:124) dalam buku Arkeologi Islam Nusantara menuliskan bahwa pertemuan keduanya terjadi ketika Geusan Ulun singgah ke Kraton Cirebon dalam perjalanan pulang dari Demak (atau Pajang).
Diceritakan, Harisbaya langsung jatuh hati melihat ketampanan Geusan Ulun, raja muda dari Sumedang itu. Lantaran tidak mencintai Panembahan Ratu yang usianya jauh lebih tua darinya, Harisbaya menemui Geusan Ulun agar bersedia mengajaknya keluar dari Cirebon.
Baca Juga: Perdebatan Masuknya Islam ke Nusantara
Gayung bersambut, Geusan Ulun secara diam-diam melarikan Harisbaya ke Sumedang. Saat itu, Ratu Harisbaya sedang mengandung. Setelah lahir, bayi tersebut diberi nama Raden Suriadiwangsa yang oleh Geusan Ulun dianggap seperti anak sendiri, bahkan nantinya melanjutkan pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang.
Terlepas dari dua versi yang berbeda terkait pertemuan Geusan Ulun dan Harisbaya itu, peristiwa pelarian tersebut tentu saja memantik murka Panembahan Ratu yang segera mengerahkan pasukan untuk menyerbu Sumedang.
Cerita perselisihan antara Cirebon dan Sumedang ini pernah dituliskan oleh beberapa peneliti Barat, termasuk Veth, van Deventer, de Roo da Le Faille, dan juga dari cerita (babad) di Sumedang dan Cirebon dari Kraton Kasepuhan dan Kacirebonan (Asikin Wijayakusuma & R. Mohammad Saleh, Rucatan Sajarah Sumedang, 1960:51).
Perang pun terjadi. Panembahan Ratu mengerahkan lebih dari 2.000 prajurit untuk menyerang Sumedang. Di sisi lain, pasukan Sumedang dengan gagah berani menghadapi serbuan tersebut di bawah komando Jayaperkasa, mantan panglima Kerajaan Pajajaran yang menyatakan ikrar setia kepada Prabu Geusan Ulun.
Pertempuran berlangsung selama 4 hari 4 malam yang kemudian menewaskan Panglima Jayaperkasa. Hingga akhirnya, disepakati perjanjian damai untuk menghindari korban yang lebih besar dari kedua belah pihak.
Tamatnya Sumedang Larang
Sebagai penyelesaian konflik, Panembahan Ratu meminta Geusan Ulun menyerahkan wilayah perbatasan antara Sumedang dan Cirebon (kini Majalengka). Penyerahan ini juga dimaksudkan sebagai pengganti talak Panembahan Ratu kepada Harisbaya (Edi S. Ekadjati, eds., Empat Sastrawan Sunda Lama, 1994:88).
Setelah Geusan Ulun wafat pada 1610, takhta dilanjutkan oleh Raden Suriadiwangsa –anak Harisbaya dengan Panembahan Ratu– sebagaimana wasiat almarhum. Sebelumnya, sebagian wilayah Sumedang Larang telah diserahkan kepada putra Geusan Ulun dari istri lainnya, Raden Rangga Gede, agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.
Pada era Raden Suriadiwangsa inilah Sumedang Larang meleburkan diri dengan Kesultanan Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) sebagai penerus Kesultanan Pajang yang runtuh pada 1587. Raden Suriadiwangsa melakukannya agar mendapat bantuan Mataram untuk menghadapi Banten.
Bagi Sultan Agung, ini keuntungan besar. Berserah dirinya Raden Suriadiwangsa berarti seluruh wilayah Priangan, ditambah Karawang, dikuasai Mataram. Priangan adalah wilayah Sumedang Larang (Pajajaran) yang meliputi Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cimahi, Bandung, Cianjur, Sukabumi, hingga Bogor.
Baca Juga: Game of Thrones ala Kraton Jawa dan Yogyakarta
Sultan Agung menjadikan Priangan sebagai basis pertahanan bagian barat (Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda, 2004:22). Raden Suriadiwangsa sendiri ditunjuk sebagai wakil Mataram di Priangan dan nantinya turut membantu Sultan Agung menyerang VOC di Batavia pada 1628 dan 1629.
Meleburnya Sumedang Larang dengan Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta sekaligus menjadi penegas tamatnya riwayat kerajaan Sunda penerus Pajajaran itu.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS