Menuju konten utama
Mozaik

Arpan, Sang Mahdi yang Melawan Tuan Tanah di Ciomas, Bogor

Muak dengan ulah keluarga tuan tanah yang senantiasa mencekik rakyat, Arpan Ba Sa’maah yang mengklaim dirinya Imam Mahdi, bangkit memimpin perlawanan.  

Arpan, Sang Mahdi yang Melawan Tuan Tanah di Ciomas, Bogor
Ilustrasi Peristiwa Cimareme. tirto.id/Fuad

tirto.id - Perlawanan yang muncul dari masyarakat Nusantara terhadap sistem pemerintahan kolonial, baik di zaman VOC maupun Hindia Belanda, sering kali dipelopori oleh golongan terbawah masyarakat.

Alih-alih elite-elite lokal yang cenderung nyaman dengan sangkar emas feodalismenya, justru kalangan tani dan masyarakat perdesaan yang paling jelas menderita dalam kebijakan-kebijakan eksploitatif pihak kolonial.

Dalam rentetan kasus pemberontakan kaum tani yang pernah terjadi di Indonesia, satu di antaranya pernah berkobar di pinggiran Buitenzorg atau Bogor sekarang, yakni Ciomas. Pemberontakan tersebut salah satu yang paling berpotensi fatal bagi Pemerintah Hindia Belanda di tahun 1886.

Pasalnya, kendati berskala mini, apalagi jika dibandingkan dengan yang terjadi di Banten pada tahun 1888 yang sohor dalam tulisan Sartono Kartodirdjo, hulu ledak pemberontakan di Ciomas sangat dekat dengan persemayaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Istana Bogor.

Tuan Kecil yang Kejam

Ciomas adalah satu tanah partikelir yang sudah menjadi lahan produksi komoditas kolonial sejak awal abad ke-19. Menurut C. Vallenhoven dalam Verordeningen inlandsch privaatrecht (1913), tanah Ciomas bersama dengan wilayah-wilayah lain di Bogor (kecuali Blubur yang merupakan pusat Kota Bogor sekarang), seperti Ciampea, Leuwiliang, dan lain-lain mulai diperjualbelikan kepada pihak swasta sejak sebelum zaman Gubernur Herman Willem Daendels sekitar tahun 1810.

Namun demikian, kepemilikan tanah Ciomas senantiasa berubah-ubah dan akibatnya tidak tercatat begitu jelas perpindahan kepemilikannya satu sama lain. Baru kemudian di tahun 1860-an, mulai tercatat bahwa tanah Ciomas dimiliki oleh dua orang pemilik yakni F.H.C. van Motman dan P.W.N. Merkus. Tanah itu ditanami berbagai komoditas, mulai dari padi, kopi, kina, cengkeh, pala, dan lain sebagainya.

Satu perubahan besar kemudian muncul ketika Merkus meninggal pada 22 Desember 1863 dan menyisakan perebutan harta di antara para ahli warisnya, juga para pemegang saham di tanah Ciomas. Kisruh pembagian hasil yang tidak menentu ini lantas mendorong van Motman untuk menjual seluruh tanah Ciomas, dengan perbantuan Asisten Residen Buitenzorg yang diwakili dua komisaris keuangan dalam pengukuran harga.

Berdasarkan laporan Java Bode tanggal 7 September 1886, akhirnya disepakati bahwa harga taksiran yang ditawarkan van Motman adalah f. 757.000. Namun yang mengejutkan, tanah Ciomas justru terjual dengan harga hampir dua kali lipat harga taksiran van Motman. Ialah J.W.E. de Sturler yang kemudian membeli tanah itu sebesar satu setengah juta gulden.

Masalahnya, harga yang terlampau besar dibayar oleh de Sturler ini justru mengakibatkan sang tuan tanah nantinya memberlakukan berbagai cara demi mengembalikan keuntungan. Strategi tersebut utamanya dilakukan oleh anaknya, A.L. de Stuler jr. (berikutnya disebut Tuan Kecil) sering kali mencekik rakyat.

Tuan kecil menerabas berbagai aturan dalam Kontrak Kopi yang diteken para tuan tanah pada bulan Oktober 1869, di mana para buruh perkebunan yang merupakan pendudukan setempat dibatasi oleh pemerintah kolonial. Pembatasan itu termasuk dilarangnya perempuan dan lansia untuk bekerja “kompenian” atau menanam komoditas perkebunan.

Aturan ini tidak dihiraukan oleh Tuan kecil, sehingga hampir seluruh pribumi Ciomas dipekerjakan secara paksa. Beberapa penduduk bahkan sering terlibat dalam konflik dengannya karena dituduh tidak membayar pajak yang besarannya secara sewenang-wenang diatur dalam kepentingan Tuan kecil.

Belum lagi, ia yang juga cabul sering kali menghukum perempuan yang menolak dijadikan gundik dengan mengambil paksa properti perempuan tersebut, misalnya pada kasus Mariah dari Kampung Cibeureum.

Laporan penduduk yang menumpuk kemudian mendorong O.A. Burnabij Lautier, Asisten Residen Buitenzorg, untuk menyelenggarakan penyelidikan terhadap tindak tanduk Tuan Kecil pada sekitar tahun 1885. Sayangnya, upaya yang didukung oleh Demang Bogor, Mas Djasiman, itu memancing amarah Keluarga Sturler. Mereka menuduh bahwa Lautier iri terhadap keluarga Sturler sejak beberapa dekade lalu.

Hal ini didasarkan pada kasus sebelumnya saat Tuan Kecil melaporkan Lautier atas tindak korupsinya sewaktu menjabat sebagai Asisten Residen Sukabumi. Gubernur Jenderal Otto van Rees yang lebih mempercayai Lautier kemudian mengambil jalan tengah, ia menaikkan pangkat Lautier menjadi Residen di Bali. Oleh karena itu, keluarga Sturler yang membenci Lautier bisa bernapas dengan tenang.

Imam Mahdi dan Panembahan Ciomas

Sayangnya, keputusan van Rees yang memindahkan Lautier ke Bali bukanlah hal yang tepat. Mula-mula, seorang petani biasa bernama Arpan Ba Sa’maah dari Kampung Pasir Angsana di Ciomas membunuh Camat Ciomas, Hadji Abdurrachim, pada Februari 1886 lantaran tidak mau diajak berjihad melawan keluarga Sturler yang zalim.

Peristiwa ini merupakan gerbang pertama meletusnya pemberontakan Arpan yang mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi yang hendak membebaskan Ciomas dari cengkeraman keluarga Sturler. Dengan bantuan Leboj Ba Nahidi yang ia angkat menjadi raja atau wakilnya, Arpan mengumpulkan para pengikutnya di Dramaga.

Pengganti Lautier yakni Asisten Residen Coenen kemudian memerintahkan para polisi untuk melakukan penyergapan ke Dramaga, namun mereka malah diserang secara mendadak oleh gerombolan Arpan di Kampung Petier.

Coenen yang kesal lantaran kegagalan itu lalu membawa satu peleton tentara ke Kampung Petier dan menyergap Arpan di rumah Nahidi. Tidak berlama-lama, Coenen pun memerintahkan pasukannya untuk memberondong rumah Nahidi, sehingga Arpan dan pengikutnya tewas seketika.

Menurut Iskandar dalam Ciomas 1886: Suatu Pemberontakan Petani di Tanah Partikelir (1982), api perlawanan di Ciomas tidak segera mereda setelah tewasnya Arpan, lantaran pada Mei 1886 pemberontakan kembali meledak di bawah kepemimpinan Mochamad Idris.

Berbeda dengan Arpan, Idris telah menyiapkan pemberontakannya jauh-jauh hari. Sejak pemberontakan Arpan meletus beberapa bulan sebelumnya, ia telah mengumpulkan para bujang dan bahkan penggarap lahan perempuan yang kesal pada keluarga Sturler di Kampung Pepojok.

Dengan kemampuan orasinya yang di atas rata-rata, ia mengumandangkan semangat perlawanan sebagai "Panembahan Ciomas". Tanggal 19 Mei 1886, 300 orang baik laki-laki maupun perempuan, ikut dalam rencana Idris untuk membunuh Tuan Sturler (baik yang besar maupun yang kecil) di Kampung Taman atau landhuis keluarga Sturler.

Penyerangan itu gagal, lantaran Idris tidak menemukan keluarga Sturler dan beralih menyerang para menak (bangsawan pribumi) dan para pekerja hiburan yang hadir di dalam acara itu. Mereka juga menyandera satu perkebunan besar milik Sturler di Warungloa. Keesokan harinya, Coenen dan Tuan Kecil hampir terbunuh.

Tidak lama kemudian, didatangkan pasukan besar dari Batavia yang mengepung pasukan Idris di Pasir Paok, sehingga Idris dan sebagian pengikutnya berhasil ditangkap. Namun, dari peristiwa itu gerombolan Idris yang nyatanya berjumlah 2000 orang—terdiri dari para petani yang mogok—eksodus besar-besaran ke Gunung Malang (Ciampea) dan menjadi momok bagi para tuan tanah di seluruh Buitenzorg Barat.

Baca juga artikel terkait PEMBERONTAKAN PETANI atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - News
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi