tirto.id - Kata "Samin" sudah menjadi julukan bagi orang-orang yang mengikuti ajaran Samin Surosentiko yang tak mau tunduk pada pemerintah kolonial. Namun, mereka sendiri menyebut dirinya sebagai peseduluran sikep, bukan Samin. Perlawanan mereka punya kekhasan: tak melawan dengan kekerasan fisik, tapi tetap keras kepala dengan argumentasi yang menjengkelkan lawan bicara.
Di masa kolonial, pernah ada seorang wartawan berkunjung ke Rembang, salah satu daerah di sekitar segitiga Randublatung. Wartawan ini menjadi saksi atas sebuah perlawanan tanpa kekerasan dari rakyat tani kepada pemerintah kolonial. Saat itu, sang petani dituntut oleh patih, pegawai kolonial pribumi, untuk membayar pajak.
"Kamu masih utang 90 sen kepada negara," kata patih si perpanjangan tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
"Saya tak hutang kepada negara," jawab petani yang dicap orang Samin itu.
"Tapi kamu harus bayar pajak!"
"Wong Sikep tak kenal pajak," jawab si petani, singkat.
Si patih tak mau mengotori tangannya. Disuruhnya opas polisi pribumi untuk menampar wajah di petani. Namun, si petani bersikap tenang tanpa balas.
"Apa kamu gila atau pura-pura gila?" cecar patih.
"Saya tidak gila atau pura-pura gila," jawab di petani.
"Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?"
"Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang, kenapa negara tak habis-habisnya minta uang?"
Patih lalu omong ala birokrat, "negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak mempunyai cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik."
Si petani tak mempan dengan penjelasan si patih soal jalan. Sebab, tak jalan yang diaspal pakai duit pemerintah di kampung mereka. "Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu tidak mengganggu kaki, kami akan membetulkan sendiri," jawabnya.
Patih yang tak sabaran itu lalu membentak, "jadi kamu tak mau bayar pajak?"
"Wong Sikep tak kenal pajak," tegas sang petani, lagi.
Begitu cerita yang ditulis Paulus Widiyanto dalam "Samin Surantiko dan Konteksnya" di jurnal Prisma (8/8/1983). Sedulur sikep, yang disebut Samin itu, menurut Paulus begitu dicintai oleh dokter Soetomo sang pendiri Boedi Oetomo. Soetomo pernah menjadi dokter rumah sakit Zending di Blora sebelum 1917.
Kata Samin, berasal dari nama Samin Surosentiko. Orang bijak dari daerah segitiga Randublatung. Ayahnya adalah Raden Surowijoyo, priyayi rendahan dari Bojonegoro. Samin terlahir dengan nama Kohar di desa Ploso Khediren, pada 1859.
Raden Kohar sendiri memiliki pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro, juga dengan Pangeran Kusumaningayu. Raden Kohar sejak muda sudah menjadi petani. Sawahnya tiga bau, ladangnya satu bau, sapinya enam ekor.
Suatu kali, Raden Kohar menganti namanya menjadi Samin, sebuah nama yang menurutnya merakyat. Dia membuang identitas priyayinya. Mirip Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang menjadi Ki Hajar Dewantara. Ganti nama itu diikuti sifat bijak yang memberi pencerahan bagi orang di sekitarnya. Sejak 1890, sebagai Samin, dia mulai menyiarkan ajarannya di desa Klopodhuwur. Banyak orang dari desa tersebut terpengaruh, kemudian juga desa sebelahnya, Tapelan.
Pemerintah kolonial awalnya tak ambil pusing. Menurut Saripan Sadi Hutomo dalam tulisannya "Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya" di majalah Basis (Januari, 1985), berdasar Laporan Residen Rembang Januari 1903, terdapat sekitar 772 pengikut Samin di 34 desa daerah Kabupaten Blora.
Awalnya, pemerintah kolonial tak ambil pusing. Barulah di tahun 1905, pemerintah kolonial mulai pusing. Pengikut-pengikut Samin itu tak sudi lagi bayar pajak. Jumlah pengikutnya pun terus bertambah. Tahun 1907, jumlah pengikut Samin mencapai 5.000 orang.
Maret 1907, muncul isu adanya pemberontakan. Sehingga para pengikut Samin yang hadir dalam acara syukuran di desa Kedhung Tuban ditangkapi. Bulan 8 November 1907, para pengikut Samin makin menggila. Mereka mengangkat Samin sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam.
Aparat kolonial pribumi mulai khawatir dan bertindak. Raden Pragola, Asisten Wedana di Randublatung di Blora segera menangkap sang Ratu Adil pada hari ke 40 setelah pengangkatan itu. 18 Desember 1907, Samin dikurung di bekas tobong pembaran batu gamping.
Dia kemudian dibawa ke Rembang untuk diperiksa. Bersama pengikutnya yang tertangkap, Samin akhirnya dibuang ke Padang, Sumatra Barat, agar jauh dari para pengikutnya. Setelah Samin, setidaknya di tahun 1908, pengikut Samin yang giat menyebarkan ajaran Samin bernama Wongsorejo di distrik Djiwan juga dibuang.
Meski dibuang, ajaran Samin jalan terus di sekitar Randublatung. Seperti dilakukan Surohidin, menantunya. Murid Samin yang terkenal antara lain Engkrak yang menyebarkan ajaran Samin di Grobogan, lalu Karsiyah di Kajen. Aksi tolak pajak pun menghebat di tahun 1914, tahun di mana Samin meninggal di pembuangannya.
Menurut Paulus, Samin menjadi bahan cemoohan yang bersifat politis oleh pemerintah. Samin dicitrakan sebagai hal buruk. Pengikut-pengikutnya, yang disebut orang Samin, terus hidup dan tak suka dipaksa oleh pihak manapun. Samin dan pengikutnya, juga sebagian orang yang bukan pengikutnya, adalah orang-orang yang berkemauan keras dan tak suka dipaksa.
Sejak lama, pengikut ajaran Samin kebanyakan adalah masyarakat petani. Sawah dan ladang mereka tentu akan mereka jaga jika diganggu oleh siapa pun.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani