tirto.id - Pengujung 1810 menjadi akhir kekuasaan Sultan Hamengkubuwana (HB) II sebagai raja. Herman Willem Daendels memimpin penyerbuan Belanda ke istana, menangkap sekaligus mencopot HB II dari takhtanya, kemudian menaikkan Pangeran Suraja sebagai raja baru dengan gelar Sultan Hamengkubuwana III.
Pangeran Suraja adalah anak kandung Sultan HB II, namun keduanya tidak selalu bersepakat lantaran sering berbeda sikap. Belanda yang memang sudah gerah dengan gelagat tak bersahabat yang ditunjukkan HB II akhirnya mendapatkan momen untuk menjungkalkan sang raja dari singgasananya.
Belanda dan Suksesi Kesultanan
Aksi “pemberontakan” Raden Rangga Prawiradirja pada November 1810 menjadi alasan kuat bagi Belanda untuk menghantam kraton sekaligus merencanakan suksesi kepemimpinan istana. Raden Rangga adalah Bupati Madiun yang juga penasihat politik sekaligus menantu Sultan HB II (Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, 2014).
Motivasi Raden Rangga melawan adalah membersihkan tanah Jawa yang ia anggap sudah dinodai Belanda. Ia juga menyatakan pembelaan terhadap orang-orang Jawa dan keturunan Cina atas hak-hak mereka yang terancam dirampas oleh Belanda (Peter Carey, “Raja yang Peduli Leluhur dan Sejarah Yogyakarta-Madiun”, Tempo, Agustus 2015).
Baca juga: Sejarah Kebencian kepada Etnis Tionghoa
Gerakan perlawanan itu bisa ditumpas Belanda hanya dalam tempo kurang dari satu bulan saja. Belanda mencurigai Sultan HB II mendukung aksi Raden Rangga dan memakai pengaruhnya untuk mengatur pergantian raja, dari HB II kepada Pangeran Suraja (HB III) yang lebih “kooperatif” ketimbang ayahnya.
Selain itu, Belanda mengembalikan jabatan Patih Danureja II selaku penasihat utama raja atau semacam perdana menteri. Patih Danureja II sebelumnya dipecat Sultan HB II karena cenderung memihak Belanda (Djoko Marihandono & Harto Juwono, Sultan Hamengku Buwono 2, 2008:83). Sultan HB II juga menduga bahwa Patih Danureja II merencanakan permufakatan jahat dalam upaya merongrong takhta kerajaan.
Sedari era VOC, Belanda punya pengaruh kuat dalam suksesi. Tak hanya di Yogyakarta, tapi juga untuk kebanyakan kerajaan di Nusantara lainnya. Belanda memaksakan kontrak politik mencakup berbagai aspek dan harus dipatuhi jika kerajaan itu tidak ingin dilenyapkan, atau setidaknya raja diturunkan paksa (Soedarisman Poerwokoesoemo, Kasultanan Yogyakarta: Suatu Tinjauan Tentang Kontrak Politik 1877-1940, 1984).
Belanda beberapa kali harus bertindak keras terhadap Yogyakarta karena memang kerap “membandel”, bahkan sejak awal kerajaan ini dideklarasikan Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Sultan HB I) sebagai pecahan Kasunanan Surakarta. VOC mengatur kesepakatan agar Pangeran Mangkubumi diberikan wilayah untuk membentuk pemerintahan baru di Yogyakarta karena perlawanan ayah HB II ini cukup merepotkan.
Baca juga:
Setelah mencopot HB II, Belanda mendudukkan Pangeran Suraja sebagai Sultan HB III. Tentu saja “pemberian” takhta ini tidak gratis. Belanda juga menyematkan gelar Regent kepada raja baru yang sebenarnya menjadi semacam pengakuan dari Sultan Yogyakarta terhadap kekuasaan penjajah. Kesultanan Yogyakarta selama era Sultan HB III memang cenderung tunduk kepada Belanda.
Nantinya, perubahan angin politik di Jawa membuat HB II naik singgasana kembali. Sebelum wafat di tengah perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), Sultan HB II dua kali bertakhta sebagai raja, yakni pada periode 1811-1812 dan 1826-1828, kendati Kesultanan Yogyakarta tetap di bawah kendali Belanda.
Kematian Misterius Sultan HB IV
Peralihan takhta dari Sultan HB II ke HB III yang diotaki Belanda merupakan intrik suksesi kerajaan yang pertama kali sejak Kesultanan Yogyakarta berdiri. Di waktu-waktu berikutnya, saling telikung demi memperebutkan kekuasaan terus saja berulang, bahkan hingga menumpahkan darah sesama anggota keluarga istana.
Kematian mendadak Sultan HB IV menjadi awal intrik takhta Yogyakarta dalam episode selanjutnya. Tanggal 6 Desember 1823, Sultan HB IV yang dinobatkan sebagai raja pada 1814, meregang nyawa saat sedang berpesiar. Desas-desus yang terdengar, sultan yang baru berusia 19 tahun itu tewas diracun (G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualam: Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen, 1994:18).
Kepastian tentang peristiwa ini memang belum terungkap. Kuat dugaan, pembunuhan Sultan HB IV didalangi oleh Patih Danureja IV yang tidak lain adalah tangan kanan sang sultan sendiri. Sangkaan ini menguat karena setelah Sultan HB IV tiada, Patih Danureja IV menjadi orang yang paling berpengaruh di Kesultanan Yogyakarta karena raja berikutnya (Sultan HB V) dinobatkan pada usia yang masih sangat belia, 3 tahun.
Baca juga: Karena Korupsi, VOC Pun Bangkrut di Malam Tahun Baru
Pengaruh Patih Danureja IV kian kuat setelah Pangeran Natakusuma meletakkan jabatannya sebagai wali raja. Pangeran Natakusuma adalah paman Sultan HB IV yang semula ditunjuk mengawal kerajaan hingga Sultan HB V cukup umur. Nantinya, Natakusuma mendirikan pemerintahan tandingan di Yogyakarta yakni Kadipaten Pakualaman dengan gelar Paku Alam I (Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, 1985).
Ketiadaan Pangeran Natakusuma menjadikan Patih Danureja IV semakin leluasa memengaruhi kebijakan Sultan HB V yang masih bocah itu, termasuk menempatkan banyak saudara dan kerabatnya untuk mengisi jabatan-jabatan penting di istana. Selain itu, Patih Danureja IV juga dekat dengan Belanda, persis seperti trah Danureja di era raja-raja Yogyakarta sebelumnya.
Pangeran Diponegoro – putra Sultan HB III – pernah meminta kepada Sultan HB V untuk memecat Patih Danureja IV karena ulahnya yang merugikan rakyat dan akrab dengan Belanda, termasuk mendukung kebijakan tanam paksa. Namun, posisi sang patih tetap aman karena dilindungi Belanda (Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme & Teladan Perjuangan, 2009).
Sultan HB V sebenarnya pernah diturunkan dari singgasananya pada 1826. Lagi-lagi Belanda memainkan pengaruh yang sangat kuat dalam fragmen ini. HB V dinilai tidak cukup cakap memerintah, sementara Belanda sangat memerlukan bantuan kraton untuk memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro.
Sebagai penggantinya, Belanda menempatkan kembali HB II sebagai raja. Sultan HB II menjadi opsi yang paling tepat karena dikenal dekat dengan rakyat. Kharisma raja tua ini sangat dibutuhkan Belanda untuk memecah dukungan rakyat yang sebagian besar berpihak kepada Pangeran Diponegoro (Purwadi, Perjuangan Kraton Yogyakarta, 2003:54).
Sultan HB II wafat pada 3 Januari 1828 dalam usia 77 tahun. Situasi ini membuat Belanda terpaksa memberikan takhta Yogyakarta lagi kepada HB V yang saat itu berumur 8 tahun. Belanda mengawasi dengan ketat pemerintahan Sultan HB V. Sang raja pun tumbuh menjadi sosok yang enggan mencari masalah dan cenderung mematuhi kehendak bangsa penjajah.
Baca juga: Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Jawa dalam Satu Takhta
Pembunuhan Sultan HB V di Istana
Sultan HB V ternyata bernasib serupa dengan ayahnya, menuai kematian dengan cara tragis. Tanggal 5 Juni 1855, Sultan HB V ditemukan tewas terhunus keris di salah satu ruangan istana. Orang yang diduga kuat sebagai pembunuhnya justru selir raja sendiri, istri ke-5 yang konon paling disayang, Kanjeng Mas Hemawati.
Lantas, mengapa Sultan HB V harus dibunuh? Dan siapa sebenarnya otak pembunuhan itu?
Kebijakan Sultan HB V yang cenderung main aman ternyata tidak memuaskan semua pihak. Daripada mencari masalah dengan Belanda, Sultan HB V memilih fokus ke hal-hal lainnya yang minim risiko, terutama dalam bidang kesenian dan kebudayaan (Sumandiyo Hadi, Pasang Surut Pelembagaan Tari Klasik Gaya Yogyakarta, 2007).
Salah satu orang dalam istana yang tidak menyukai langkah lunak Sultan HB V itu adalah Pangeran Mustojo. Ia adalah putra ke-12 Sultan HB IV dari permaisuri Ratu Kencono (Bambang Sularto, KGPA Mangkubumi: Karya dan Pengabdiannya, 1986:13). Dengan kata lain, Pangeran Mustojo dan Sultan HB V masih bersaudara kandung.
Ketidaksetujuan Pangeran Mustojo atas sikap Sultan HB V rupanya mendapatkan dukungan dari sebagian warga istana dan rakyat Yogyakarta. Sultan HB V dinilai lembek, pengecut, dan mempermalukan kraton lantaran terlalu patuh kepada Belanda. Polemik ini akhirnya berujung pada kematian Sultan HB V di tangan istri selirnya sendiri, Kanjeng Mas Hemawati.
Baca juga: Hamengkubuwana V, Sultan Jawa yang Dibunuh Istrinya Sendiri
Alasan Kanjeng Mas Hemawati membunuh suaminya tidak pernah terkuak, meskipun ada indikasi keterlibatan Pangeran Mustojo dari gejala-gejala politik yang berkembang saat itu. Peristiwa tragis yang rincinya hanya diketahui oleh kalangan terbatas tersebut kemudian dikenang dengan istilah wereng saketi tresno atau “mati di tangan yang dicintai”.
Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. Dan, 13 hari setelah sultan tewas, lahirlah anak yang seharusnya menjadi penerus takhta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V itu diberi nama Gusti Timur Muhammad.
Namun, sang putra mahkota tidak pernah sempat menjadi raja karena yang tampil sebagai penguasa Kesultanan Yogyakarta selanjutnya adalah –seperti yang sudah diduga banyak pihak– Pangeran Mustojo dengan gelar Sultan HB VI.
Awalnya – barangkali sebagai siasat meredam kecurigaan – Pangeran Mustojo berjanji akan mengembalikan takhta setelah Pangeran Gusti Timur Muhammad cukup umur. Namun, yang terjadi kemudian tidak seperti yang disepakati sebelumnya.
Sebelum wafat pada 20 Juli 1877, Sultan HB VI justru menunjuk anak sulungnya, yakni Pangeran Murtejo, sebagai putra mahkota. Pangeran Murtejo dikukuhkan sebagai raja dengan gelar Sultan HB VII pada 13 Agustus 1877 (Purwadi, Sejarah Raja-Raja Jawa, 2007).
Penobatan ini tentu saja ditentang oleh permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, karena yang seharusnya naik takhta adalah Pangeran Gusti Timur Muhammad sesuai janji Sultan HB VI sebelumnya. Sultan baru ternyata menyikapi protes itu dengan sangat serius.
Ratu Sekar Kedaton, Pangeran Gusti Timur Muhammad, beserta para pengikutnya ditangkap dengan tudingan membangkang terhadap istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII dan keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad dibuang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga wafat di sana.
Baca juga: Penerus Takhta Berdarah di Kesultanan Yogyakarta
Raja yang (Dipaksa) Lengser
Suksesi penuh intrik di Kesultanan Yogyakarta masih terjadi di periode selanjutnya, termasuk pada pengujung pemerintahan Sultan HB VII. Tidak seperti raja-raja Yogyakarta sebelumnya yang menjabat hingga akhir hayat, Sultan HB VII justru sudah turun takhta sebelum wafat. Ada sejumlah versi berbeda terkait penyebab dan proses pergantian raja Yogyakarta pada era ini.
Versi yang “baik-baik saja” menyebutkan bahwa Sultan HB VII memang sengaja meletakkan mahkotanya karena ingin menghabiskan masa tua di pertapaan, mengabdikan diri kepada Yang Maha Kuasa. Sultan HB VII bertakhta hingga tahun 1920.
Setelah “pensiun”, HB VII meninggalkan kraton dan menyepi ke suatu pesanggrahan di daerah Ambarukmo sampai akhir hayatnya (Mohamad Roem & Atmakusuma, Takhta untuk Rakyat, 2011:111). HB VII mangkat pada 30 Desember 1931 atau kurang lebih terpaut 11 tahun sejak keluar dari istana.
Dalam konteks yang sama disebutkan, HB VII menyerahkan kepemimpinan Kesultanan Yogyakarta kepada salah seorang anaknya. Namun, jika HB VII tetap berada di dalam kraton, maka akan ada dua orang sultan di dalam istana. Inilah yang membuat HB VII terpaksa pergi. Ada pula versi yang menyebut bahwa Sultan HB VII sengaja diasingkan ke Ambarukmo oleh salah seorang putranya yang kemudian bertakhta sebagai Sultan HB VIII.
Baca juga: Hikayat Siput Melawan Sultan
Masih ada versi lain terkait lengser keprabon-nya Sultan HB VII itu. Versi yang ini menyebutkan bahwa Belanda tidak setuju dengan putra mahkota yang ditunjuk oleh Sultan HB VII untuk menggantikannya nanti. Calon raja tersebut, yakni Pangeran Akhadiyat, tiba-tiba tewas tanpa diketahui penyebabnya. Selain itu, Belanda juga tidak suka dengan gaya kepemimpinan Sultan HB VII sehingga menghendakinya turun takhta lebih cepat.
Adrian Vickers (2013:40) dalam A History of Modern Indonesia menulis, alasan Sultan HB VII mengakhiri jabatannya sebagai raja karena lelah dengan tekanan Belanda. Belanda menuntut HB VII untuk mengubah aturan tentang kepemilikan tanah kerajaan. Selain itu, sultan juga didesak agar mengurangi pengeluaran istana, terutama terkait gaji untuk anggota pegawai dan perangkat kraton lainnya.
Merawat Intrik Kekuasaan
Sebelum lengser, Sultan HB VII konon pernah berucap bahwa tidak akan ada raja Yogyakarta yang meninggal dunia di dalam istana setelah dirinya. Faktanya sejauh ini, ucapan HB VII tersebut – yang juga mangkat di pertapaannya yang berada di luar lingkungan kraton – masih berlaku.
Sultan HB VIII – penerus HB VII pengganti putra mahkota yang tewas misterius – menghembuskan nafas terakhir pada 2 Oktober 1939 di kereta api dalam perjalanan dari Batavia (Jakarta) usai menjemput calon penggantinya, GRM Dorojatun (kemudian bergelar Sultan HB IX). Sultan HB VIII meninggal dunia di Wates, Kulon Progo, yang sebenarnya tidak seberapa jauh dari pusat Kraton Yogyakarta.
Demikian pula dengan Sultan HB IX. Raja Yogyakarta yang berandil besar dalam perang kemerdekaan dan sempat menjadi Wakil Presiden RI ini wafat pada 2 Oktober 1988 di Washington, Amerika Serikat, karena serangan jantung (Centre for Strategic and International Studies, Inilah Mati yang Paling Hidup: Sri Sultan Hamengkubuwono IX, 1912-1988, 1988:10).
Baca juga: Hamengkubuwana IX Melawan Soeharto dengan Diam
Dalam buku Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru karya Pranoedjoe Poespaningrat (2008:233) disebutkan bahwa Sultan HB IX tidak sempat menunjuk putra mahkota sebelum wafat.
Adapun yang kemudian dinobatkan sebagai raja berikutnya adalah salah seorang putra HB IX yakni Raden Mas Herjuno Darpito, sebagai Sultan HB X. Sultan HB X masih bertakhta hingga saat ini sekaligus merangkap jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam naungan NKRI.
Intrik politik yang kerap menyertai suksesi kepemimpinan di Kesultanan Yogyakarta tampaknya masih terawat. Gejala sejenis pun mulai terlihat dalam situasi terkini Kraton Yogyakarta saat ini. Sultan HB X diketahui memiliki 5 orang anak, semuanya perempuan. Dan, Kesultanan Yogyakarta belum pernah sekalipun dipimpin oleh raja wanita sepanjang sejarahnya.
Tanggal 5 Mei 2015, Sultan HB X –yang masih punya beberapa adik kandung laki-laki– mengeluarkan sabda yang menyatakan bahwa putri pertamanya, GKR Pembayun, dianugerahi gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayaning Bawono Langgeng ing Mataram (baca: Mahkamah Konstitusi Bolehkan Sultan Perempuan jadi Gubernur DIY).
Selanjutnya, 31 Desember 2015, Sultan HB X kembali mengeluarkan sabda yang menegaskan bahwa pewaris takhta tidak bisa diturunkan kecuali kepada putra atau putrinya, dan siapapun yang tidak menuruti perintah raja akan dicabut gelar serta kedudukannya, juga dipersilakan pergi dari Bumi Mataram (Antara, 31 Desember 2015).
Baca juga: Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi di Yogya adalah Simbol Rekonsiliasi
Dengan sabda raja itu, Sultan HB X telah menutup pintu bagi siapapun, termasuk adik-adiknya sedarah, yang ingin mengambil-alih garis takhta, termasuk dengan memberi putri sulungnya gelar Mangkubumi perempuan pertama dalam riwayat Kesultanan Yogyakarta.
Apakah Game of Thrones ala Yogyakarta ini akan terus berlanjut? Tunggu saja tanggal mainnya.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS