tirto.id - Di sebuah halte TransJakarta Senayan JCC, Jumat malam, 26 Agustus 2016 seorang pria keturunan Tionghoa, Andrew Budikusuma, mengaku dipukuli oleh sejumlah pria. Tidak hanya dipukuli, Andrew diteriaki dan dihina dengan kata-kata merendahkan yang menunjukkan sebuah gejala kebencian rasialis. Ia juga dituduh sebagai Ahok, panggilan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang merupakan keturunan Tionghoa. Akar kebencian rasialis terhadap kelompok minoritas Tionghoa di Indonesia rupanya masih ada.
Sejarah mengulang dirinya sendiri. Pertama sebagai tragedi dan selanjutnya sebagai lelucon. Sebelum tragedi pemukulan ini, kelompok Tionghoa di Indonesia sudah mengalami banyak diskriminasi. Mei 2015 Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melakukan protes terhadap Jokowi dan JK yang dituduh membela kelompok Asing dan Aseng. Asing merujuk kepada negara/pemerintahan asing yang melakukan intervensi ekonomi di Indonesia, sementara Aseng merujuk kepada kelompok minoritas Tionghoa yang dianggap memiliki kekuasaan besar dalam bidang ekonomi di Indonesia.
Apa sebenarnya yang menjadi akar dari sentimen rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia? Penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah belah Soeharto. Dalam penelitian berjudul "Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia," Freedman menyebut Soeharto memaksa masyarakat Tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai bukan pribumi.
Sebagian kecil etnis Tionghoa di Indonesia pada masa Soeharto menikmati berbagai fasilitas investasi sehingga menjadi sangat kaya. Sekelompok kecil ini akhirnya dianggap sebagai representasi seluruh etnis Tionghoa, sebagai kelompok yang memiliki kekuasaan dan punya kekayaan dengan cara yang culas. Kejatuhan Soeharto pada 1998 membuat pembedaan ini menjadi semakin rumit. Kerusuhan yang muncul di berbagai kota di Indonesia menargetkan masyarakat Tionghoa sebagai sasaran kebencian.
Kebencian terhadap kelompok Tionghoa bisa dilacak hingga empat ratus tahun yang lalu. Dalam Jakarta: Sejarah 400 tahun karya Susan Blackburn dituliskan, masyarakat Tionghoa sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Relasi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat saat itu setara sebagai rekan pedagang. Ketika VOC masuk, kondisi berubah. Masyarakat Tionghoa dimanfaatkan VOC sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perlakuan istimewa ketimbang kebanyakan masyarakat setempat.
Hubungan mesra antara masyarakat Tionghoa dan VOC tidak berlangsung lama. Pada Oktober 1740 seperti yang ditulis Blackburn, wilayah sekitar Batavia menjadi saksi pemberontakan petani Cina. Sambil membawa senjata buatan sendiri para kuli Cina berbaris menuju kota, tempat ratusan kawan sebangsanya tinggal di dalam dinding kota. Meskipun orang Cina yang tinggal di kota sedikit sekali atau sama sekali tak berhubungan dengan orang Cina di luar dinding kota, beredar isu bahwa mereka berencana membantu para pemberontak.
Kecurigaan dan paranoia orang Eropa serta pribumi membuat kondisi memburuk. Mereka secara spontan menyerang balik para Tionghoa ini. Tidak hanya membunuh mereka juga menjarah dan membakar sekitar 6.000-7.000 rumah orang Tionghoa. Adrian Volckanier Gubenur Jenderal saat itu mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Sebanyak 500 orang Cina yang dipenjara di Balai Kota satu per satu dikeluarkan lalu dibunuh dengan keji. Selama seminggu, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah karena darah dan korban mencapai 10.000 orang. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina di Batavia ini dikenal dengan Geger Pecinan.
Tapi Geger Pecinan bukan satu-satunya momen berdarah bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik karya Benny G Setiono disebutkan, pembantaian etnis Tionghoa juga terjadi pada masa Perang Jawa (1825-1830). September 1825, pasukan berkuda yang dipimpin putri Sultan Hamengku Buwono I, Raden Ayu Yudakusuma, menyerbu Ngawi, kota kecil di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang terletak di tepi Bengawan Solo. Dalam perjalanan itu banyak orang Tionghoa yang dibunuh tak peduli anak-anak atau perempuan. Mereka dibunuh dan tubuh-tubuh yang terpotong dibiarkan di jalanan.
Kebencian terhadap etnis Tionghoa sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang dibikin oleh penguasa, baik Belanda maupun Jawa. Hendri F. Isnaeni, dalam artikel Duka Warga Tionghoa di majalah Historia, menyebutkan bahwa dalam sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Mulai Chinezenmoord 1740 sampai Mei 1998. Dalam konteks Perang Jawa masyarakat Jawa saat itu membenci orang Tionghoa karena menjadi bandar-bandar pemungut pajak.
Orang-orang Tionghoa oleh para Sultan Jawa dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai dan pasar. Melihat efektifnya orang-orang Tionghoa memungut pajak, Belanda dan Inggris melakukan hal yang sama di daerah-daerah yang telah dikuasainya. Tragedi pembantaian Perang Jawa membuat kebencian antara Etnis Jawa dan Tionghoa berkembang. Orang Tionghoa menjadi takut terhadap Orang Jawa sementara Orang Jawa menganggap Tionghoa sebagai mata duitan dan pemeras.
Kebencian ini mendarah daging, menyebar luas, tanpa sempat ada rekonsiliasi atau penjelasan. Kebencian menahun ini yang kemudian berkembang di Indonesia. Hendri F. Isnaeni menulis bahwa pada awal abad ke-20, kembali tercatat peristiwa rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu kerusuhan di Solo pada 1912 dan kerusuhan di Kudus pada 1918. Pada masa revolusi, kembali terjadi gerakan anti etnis Tionghoa, seperti yang terjadi di Tangerang pada Mei-Juli 1946, Bagan Siapi-api pada September 1946, dan Palembang pada Januari 1947.
Tragedi terhadap masyarakat Tionghoa berikutnya terjadi pada saat 1965. Cina yang menjadi negara komunis besar saat itu dianggap punya peran dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S). Banyak masyarakat Tionghoa saat itu yang menjadi korban karena dianggap komunis atau mata-mata Tiongkok. Kebencian ini tidak berhenti sampai situ saja, orang-orang Cina dianggap sebagai cukong dan pemeras harta masyarakat lokal. Di sini ide primordial pribumi melawan pendatang menjadi legitimasi untuk melakukan kejahatan.
Dalam konteks yang lebih modern ada dua peristiwa diskriminasi dan kekerasan yang sangat keji terjadi terhadap tenis Tionghoa. Pertama adalah pembantaian terhadap 30.000 orang etnis Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat pada 1967 atas nama PGRS/PARAKU. Elsam menyebut terjadi pembersihan etnis dalam peristiwa ini, sementara dalam buku Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan setidaknya ada 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi di Pontianak dan 43.425 orang di antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak.
Selanjutnya tentu saja peristiwa kerusuhan 1998. Saat itu etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan, penjarahan dan diskriminasi hebat. Gejala Xenofobia ini merupakan buntut dari kesenjangan ekonomi dan kebencian berdasar prasangka kepada etnis Tionghoa. Saat peristiwa ini terjadi banyak perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa, tokonya dibakar dan usaha milik mereka dirusak. Kasus ini tak pernah selesai sampai hari ini dan pelakunya tak pernah diusut.
Negara juga berperan menjadi aktor dalam penyulut kebencian terhadap etnis Tionghoa. Melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967, negara berperan melakukan identifikasi rasial dan segregasi identitas. Surat itu adalah upaya penyeragaman penyebutan kelompok etnis “Tionghoa” yang dianggap mengandung nilai-nilai yang memberi asosiasi-psikopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, menjadi “Cina” yang dianggap lebih “dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.”
Indarwati Aminuddin, seorang penulis, pernah menyusun laporan menarik tentang Prasangka Media Terhadap Etnik Tionghoa pada 2002. Laporan itu dengan bernas mengupas dan mempersoalkan sejauh mana pencantuman identitas rasial seseorang relevan dalam laporan/karya jurnalistik. Profiling atau penyosokan menjadi relevan untuk menjelaskan konteks identitas seseorang dalam pemberitaan. Maka Indarwati mengatakan bahwa atribusi yang relevan membantu publik memahami persoalan dengan lengkap. Namun, atribusi yang tak relevan justru menciptakan kesan bahwa kesalahan seseorang terkait dengan identitasnya, entah itu suku, agama, ras atau bahasa.
Indarwati lantas memberikan sebuah contoh dari berbagai media di Indonesia yang melakukan profiling terhadap etnis Tionghoa dalam framing berita. Frasa seperti “warga keturunan”dan “pribumi” kerap disandingkan untuk menjelaskan posisi korban dan pelaku. Dalam tulisannya itu Indarwati mengatakan bahwa media sekelas Tempo pernah melakukan profiling dengan tendensi rasis.
Berita yang berjudul “Bye, Bye, Bank Cina Asli. Bye?” edisi 25 Februari-03 Maret 2002, Tempo menuliskan tentang Bank Central Asia yang memiliki akronim BCA. BCA dimiliki oleh Liem Sioe Liong, orang Cina, asli kelahiran Fujian. Atribusi ini dianggap bermasalah karena melalui pemberitaannya itu Tempo menggiring pembacanya untuk berpikir “bahwa BCA adalah bank yang menghidupi orang-orang Cina”. Indarwati menuduh bahwa Tempo melakukan framing karena istilah “Bank Cina Asli” itu bukan sebuah istilah yang bisa didengar di mana-mana hingga Tempo membaptisnya jadi plesetan umum.
Kebencian rasialis yang akhir-akhir ini coba dikobarkan sebenarnya bermula dari politik pemisahan identitas. Bahwa orang Tionghoa di Indonesia selamanya adalah pendatang, mereka kerap menjadi kambing hitam dari banyak kekerasan dan masalah sosial. Media dalam hal ini semakin memupuk prasangka itu tanpa ada upaya rekonsiliasi. Semestinya harus ada upaya pendidikan bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari warga negara Indonesia, terlepas dari ras yang ia sandang.
______________
Baca juga artikel Tirto.id terkait berikut ini:
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti