tirto.id - Sejak berlangsungnya feminisme gelombang pertama hingga keempat, narasi feminisme kulit putih, white feminism, atau ‘feminisme liberal’ nyaris mustahil untuk tidak dibahas.
Roh dalam feminisme kulit putih ini sedikit-banyak beririsan dengan semangat yang terkandung dalam paham white savior.
Narasi ini berfokus pada kepentingan yang sebermula diperjuangkan perempuan kulit putih, yakni bagaimana isu yang diangkat akan membawa keuntungan dan kepuasan padanya atau kelompok yang mewakili kepentingannya.
Dalam konteks itu, white feminism dapat dimengerti pula sebagai jenis feminisme yang berorientasi pada kesejahteraan diri sendiri atau mengedepankan individualisme.
Adapun, mereka tetap memaksakan agenda, perhatian, dan keyakinan feminis kulit putih sebagai milik semua gerakan feminisme dan semua feminis.
Feminis-feminis ini mungkin dapat dianalogikan seperti laki-laki yang tidak menyadari privilege mereka dalam masyarakat.
Mereka meluputkan perhatian dari hak-hak istimewa yang dimiliki orang-orang kulit putih atas ras kulit berwarna.
Sebaliknya, dukungan cenderung ditujukan untuk keberlangsungan hak bagi mereka yang (biasanya) berkulit putih, cishet (cisgender dan heteroseksual), serta kelas menengah atas.
Narasi white feminism inilah yang kerap disinggung di ranah media, politik, dan budaya populer sehingga turut berkontribusi membentuk standar nilai yang mengglobal.
Disadari maupun tidak, sebagian dari kita mungkin mengamini white feminism berkat media atau berita yang kita konsumsi selama ini.
Mari ingat kembali film Barbie (2023). Blockbuster serba pink karya Greta Gerwig ini dipuji telah berhasil menyajikan gambaran patriarki dengan baik.
Ketika masuk ke dunia nyata, Barbie disambut dengan produk patriarki yang senantiasa merendahkan perempuan, seperti catcalling, hiperseksualisasi, dan male gaze.
Barbie dan Ken juga dikejutkan dengan kesenjangan kuasa dan diskriminasi gender antara perempuan dan laki-laki yang hadir secara sistemik dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari lingkup rumah, tempat kerja, hingga panggung politik.
Nah, bagi sang sutradara, Barbie adalah film feminis.
“Hell yeah, ini film feminis,” jelas Gerwig pada saat pemutaran film perdananya, “Bagiku, ini tentang memberikan semacam ruang, bagi boneka—yang bukan manusia—untuk menjadi kompleks dan manusiawi seutuhnya.”
Berpijak pada perspektif Gerwig di atas, maka dapat dimengerti apabila film ini tidak mengeksplorasi lebih jauh tentang dinamika ras, gender, dan kelas sosial yang saling beririsan atau tumpang tindih dengan beban patriarki.
Sebagai contoh, karakter pendukung Barbie, Gloria (diperankan oleh aktris berdarah Honduras, America Ferrera) berdiri untuk mewakili kelompok perempuan kelas menengah yang kerap dihadapkan pada kegalauan karena tuntutan tentang standar kecantikan tinggi atau perilaku normatif di dunia karier.
“Kamu harus kurus, tetapi jangan terlalu kurus. Kamu harus jadi bos, tetapi tidak boleh jahat. Kamu harus memimpin, tetapi tidak boleh menghancurkan ide orang lain,” demikian sepenggal monolog dari Gloria.
White feminism erat kaitannya dengan feminisme gelombang pertama.
Berkembang dari abad ke-19 sampai awal abad ke-20, gelombang ini didorong oleh perempuan-perempuan kulit putih dari kelas ekonomi mapan di daratan Eropa dan Amerika Utara.
Pada 1792, Mary Wollstonecraft asal Inggris menulis buku A Vindication of the Rights of Woman.
Wollstonecraft memaparkan bagaimana dirinya menyadarkan perempuan-perempuan kulit putih kelas menengah akan ketidakadilan gender yang dihadapi kaum mereka setiap hari.
Advokasi Wollstonecraft melahirkan gerakan suffragette yang memperjuangkan kesetaraan hak pilih bagi laki-laki dan perempuan.
Kemudian, pada 1960-an, muncullah gelombang feminisme kedua.
Pada masa itu, perempuan memperjuangkan kesetaraan perempuan dalam aspek-aspek sosial, seperti pembagian peran dalam keluarga, hak reproduksi, ketimpangan upah, kekerasan seksual, hingga diskriminasi perempuan di mata hukum.
Salah satu penggeraknya adalah Betty Friedan dengan bukunya The Feminine Mystique (1963) yang terjual hingga tiga juta kopi dalam tiga tahun.
Friedan mengkritik kepercayaan pascaperang bahwa peran perempuan hanyalah menikah dan melahirkan anak sehingga mereka harus puas dengan tinggal di rumah, mengurus anak, melayani suami, dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang “feminin”.
Kendati gagasan ini telah dikemukakan oleh beberapa feminis sebelumnya, cara penulisan Friedan berhasil memantik titik kemarahan banyak perempuan pada era tersebut, terutama kalangan perempuan kulit putih kelas menengah yang kemudian memulai organisasi untuk menyuarakan kesetaraan sosial bagi perempuan.
Di AS, gerakan ini meraih banyak kesuksesan, mulai dari Equal Pay Act (1963) yang melarang kesenjangan upah berdasarkan gender, terwujudnya hak menggunakan alat kontrasepsi bagi perempuan sudah sudah maupun belum menikah, hak untuk kesetaraan pendidikan, dan terjaminnya kebebasan reproduksi bagi perempuan pada tahun 1973.
Gelombang kedua ini bisa dibilang merupakan era feminisme yang paling gemilang.
Kesadaran tentang inklusivitas kelas, ras, dan gender perlahan mulai hadir dalam gelombang feminisme ketiga pada dekade 1990-an.
Pada era ini, mulai diperkenalkan tentang interseksionalitas, yang dicetuskan oleh pionir feminisme kulit hitam (black feminism) Kimberlé Crenshaw.
Interseksionalitas mengakui bahwa setiap orang memiliki pengalaman diskriminasi dan penindasan yang berbeda-beda.
Konsep ini kelak berkembang menjadi dasar feminisme interseksional yang ikut memperjuangkan hak-hak bagi komunitas transgender dan black feminism.
Lebih lanjut, aktivisme feminis gelombang ketiga mulai menyinggung perlawanan terhadap pelecehan seksual di tempat kerja dan upaya meningkatkan jumlah perempuan di jabatan yang berkuasa.
Sayangnya, fokus feminisme gelombang ketiga masih terlalu kabur untuk dapat mewakili kepentingan perempuan kulit berwarna.
Mengutip Vox, belum ada hasil legislatif atau perubahan sosial yang signifikan dari advokasi feminis gelombang tiga.
Bagaimana dengan gelombang terbaru feminisme? Apakah dia menjadi yang paling sempurna dan lebih inklusif?
Di balik progres yang sudah dihasilkan, gerakan #MeToo yang menandai datangnya gelombang keempat feminisme sejak 2012 ini pernah dikritik karena terlalu larut pada kemelut yang dialami bintang-bintang Hollywood, sehingga seakan-akan sudah menenggelamkan suara dan pengalaman perempuan kulit berwarna maupun perempuan etnis minoritas lainnya.
Padahal, Tarana Burke, tokoh penggerak komunitas asal Bronx, New York yang menginisiasi #MeToo, menyebut bahwa gerakan ini bertujuan membantu semua korban pelecehan seksual dengan latar belakang apapun melalui pendekatan empati dan dukungan komunitas.
Begitu disampaikan Burke saat berceramah di hadapan mahasiswa Cornell University pada 2018 lalu.
Meski disebut white feminism, pola pikir ini tidak terbatas pada kelompok orang kulit putih atau mereka yang tinggal di belahan Bumi Utara.
“Karena begitu masif dan meluas, orang-orang dari latar belakang dan etnis lain sering kali percaya pada janji-janji feminisme kulit putih.”
Demikian pernah disampaikan oleh Koa Beck, penulis buku White Feminism: From The Suffragettes to Influencers and Who They Leave Behind (2021) kepada NBC.
Seiring itu, masifnya narasi dan diskursus feminisme kulit putih membuat isu-isu yang mereka perjuangkan cenderung lebih mendapat sorotan.
Di sisi lain, persoalan-persoalan lain, seperti perbudakan kulit hitam atau penderitaan perempuan Palestina, kerap terabaikan atau tidak terlalu dibicarakan.
Maka dari itu, Beck melanjutkan, siapa pun dapat mengidentifikasi diri sebagai ‘feminis’ tanpa perlu mempertanyakan atau menantang kekuasaan.
“Dan hal ini sangat memuaskan dan diterima oleh banyak orang,” kata Beck.
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih