Menuju konten utama

Film Ocean's 8: Pesan Feminisme dan Kritik pada Dunia Glamor

Ada anggapan film Ocean’s 8 tak jelek, tapi juga tak sememukau seharusnya. Benarkah?

Film Ocean's 8: Pesan Feminisme dan Kritik pada Dunia Glamor
Aktor (ki-ka) Cate Blanchett, Awkwafina, Sarah Paulson, Anne Hathaway, Sandra Bullock, Mindy Kaling, Helena Bonham Carter dan Rihanna berfoto bersama dalam penayangan perdana film "Ocean 8" di Alice Tully Hall di New York City, New York, Amerika Serikat, Selasa (5/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Mike Segar

tirto.id - Film ini penting. Mendaur ulang blockbuster seperti Ocean’s 11 menjadi Ocean’s 8, dan mengganti semua karakter utama prianya jadi wanita adalah pesan feminisme yang diukir eksplisit Warner Bros Pictures, sebagai rumah distribusinya. Pesan paling blak-blakan yang ingin ditonjolkan adalah, sekawanan perempuan juga bisa melakukan ihwal-ihwal yang umum diperbuat sekawanan laki-laki. Sama buasnya, sama badass-nya.

Orang-orang di Hollywood—perempuan dan laki-laki—memang tengah hibuk mempromosikan nilai-nilai kesetaraan. Tak cuma di level ras, tapi juga gender. Pasalnya, berpuluh-puluh tahun, karakter perempuan cenderung tak berkembang dalam film-film keluaran industri film terbesar sedunia tersebut. Atau tereduksi jadi tipe-tipe khusus, yang akhirnya menciptakan stereotip-stereotip, seperti: the girl next door (tipikal protagonis, murah senyum, cantik, feminin, dan baik), love interest pemeran utama yang seksi (tipikal seksi dan cuma pelengkap adegan panas), atau si sahabat (tipikal pelengkap lainnya, yang tujuan hidupnya cuma melengkapi karakter utama, tak pernah dieksplorasi).

Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa lihat (kasatmata) derasnya pesan feminisme pada sebagian besar film-film produksi Hollywood. Tak terkecuali Ocean’s 8 yang disutradarai Gary Ross (The Hunger Games, Free State of Jones).

Agar ia tak dicap melakukan mansplaining, maka Ross merekrut Olivia Milch untuk sama-sama duduk di kursi penulis naskah. Hasilnya pesan-pesan kesetaraan itu memang kuat hadir. Bahkan nyaris tak ada yang implisit.

Pertama, Ross mendapuk aktris-aktris deretan megabintang. Ada Sandra Bullock, Cate Blanchett, Anne Hathaway, Sarah Paulson, Mindy Kaling, Helena Bonham-Carter, bahkan Rihanna—mega-Popstar yang tak perlu dijelaskan reputasinya.

Mereka ini adalah para ikon yang pasti akan dibicarakan media, kalau fungsinya bukan untuk meraup perhatian calon penonton. Siapa yang tak kepengin melihat aktris-aktris ini main dalam satu frame?

Jejeran nama kelas A itu ditambahi Awkwafina, seorang aktris baru yang juga viral sebagai penyanyi rap, komedian, dan influencer di media sosial. Tugas Awkwafina—yang adalah seorang Asia—bukan cuma menarik penonton muda, tapi juga pelengkap nilai keberagaman.

Semuanya diseret ke dalam naskah yang alur premisnya persis seperti film-film Ocean’s sebelumnya, terutama Ocean’s Eleven (2001) yang adalah daur ulang Ocean’s 11 (1960).

Sandra Bullock memerankan Debby Ocean, adik Danny Ocean yang diperankan George Clooney dalam Ocean’s Eleven. Adegan pertamanya bahkan serupa: Debby keluar dari penjara, dan langsung merencanakan “pencurian terbesar sepanjang masa”. Agar rencana itu mulus, ia butuh tujuh orang lain dengan keahlian rupa-rupa.

Nama-nama besar tadi yang dipakai jadi pemeran utama film ini. Blanchett jadi Lou, partner in crime Debby yang punya usahanya bikin vodka oplosan; Hathaway jadi Daphne Kluger, artis anoreksia yang memakai kalung target curian mereka; Paulson jadi Tammy, ibu rumah tangga yang punya kerja sampingan sebagai penadah barang gelap; Kaling jadi Amita, ahli perhiasan; Bonham-Carter jadi Rose Weil, perancang busana tua yang bangkrut dan terlilit utang; Rihanna jadi Leslie alias Nine Ball, hacker superkeren; dan Awkwafina jadi Constance, pencopet dan penipu di jalanan.

Namun, alih-alih merampok bank seperti Danny Ocean dkk, Debby dan kawanannya justru mengincar perhiasan—kalung Cartier seharga 150 juta dolar AS yang dipinjam Daphne Kluger. Salah satu bagian plot yang paling menarik adalah, komplotan newbie itu akan mencurinya di hajatan Met Gala—pesta paling eksklusif selebritas kelas atas di Amerika.

Acara tahunan yang digalang Museum of Art (Met) New York ini sebetulnya hajat para sosialita industri hiburan (terutama fesyen) internasional untuk berderma. Namun, di bawah telunjuk Anna Wintour, Pemimpin Redaksi majalah Vouge, Met Gala berubah jadi panggung mode internasional yang tiap tahun selalu dapat julukan “Pesta Tahun Ini”. Gengsi dan eksklusivitas jadi jualan utamanya.

Pilihan Ross yang jatuh pada Met Gala tentu saja bukan tanpa alasan kuat. Selain, tingkat popularitasnya yang tinggi dan pasti menarik perhatian penonton, Gala juga jadi simbol kuat ketidaksetaraan yang ingin dikritik oleh film ini.

Statistik bilang, 1 persen orang terkaya di Amerika menguasai kekayaan yang lebih banyak ketimbang 90 persen lainnya, bahkan jika digabung. Meski kebanyakan selebritas yang hadir dalam Gala tak termasuk dalam 1 persen tersebut, tapi tetap saja mereka bagian dari kelompok sejahtera di Amerika. Ingat, tiket satu kursi Gala dibanderol 30 ribu dolar, sementara harga 1 mejanya 275 ribu dolar. Belum lagi harga sewa baju yang harus dikenakan para selebritas untuk mematuhi tema busana yang gonta-ganti tiap tahun dibikin Wintour.

Intinya, eksklusivitas Gala tak akan laku kalau pesertanya tak dibatasi seperti naik haji: hanya bagi orang yang mampu.

Gala juga simbol manifestasi kesuksesan yang dibingkai budaya patriarki untuk seorang perempuan: kecantikan, popularitas, dan kaya-raya.Tiga kata sifat yang biasanya dijual jadi mimpi buat gadis-gadis kecil. I mean, it’s easy to understand why girls want to be Kadarshian-Jenner klan on the red carpet. Dan itu tak ada salahnya, kecuali sebenarnya pilihan para anak perempuan itu lebih lebar dan lebih banyak.

Pesan itu yang coba disampaikan Ocean’s 8. Pertama, Ross ingin bilang pada para sineas Hollywood, bahwa bikin film yang pemain utamanya perempuan semua belum tentu bikin tumpur. Apalagi dengan deretan nama kelas A yang dipakainya.

Kedua, rupa-rupa karakter perempuan yang ditulisnya ingin bilang bahwa: perempuan bisa apa saja, termasuk jadi bandit, pengoplos minuman keras, peretas, bahkan ibu rumah tangga yang bilang ke suaminya punya olshop, padahal seorang penadah barang gelap.

Ketiga, dan yang paling utama, penonton tak cuma disajikan adegan-adegan sekomplotan perempuan yang sedang menipu dan mencuri perhiasan mahal, tapi juga sekaligus mencurangi sistem patriarki yang selama ini tak melihat mereka sebagai manusia yang setara.

Dialog Debby di tengah film jadi gongnya. “Di luar sana, ada seorang gadis 8 tahun sedang bermimpi jadi seorang kriminal,” katanya pada kru lewat earphone. “Lakukan ini, untuk dia.” Lelucon ini punya maksud, kalau perempuan bisa bermimpi jadi apa saja, bahkan jadi kriminal yang melakukan “pencurian terbesar sepanjang masa”.

Debby juga sempat beberapa kali bilang, bahkan dalam trailer film, kalau mereka—para perempuan—tidak akan jadi tersangka utama dalam kasus yang biasa dilakukan laki-laki ini. Tentu saja itu adalah sindiran buat budaya patriarki.

Infografik Misbar Ocean's 8

Kekuatan dan Kelemahan Ocean’s 8

Selain pesannya yang kuat, tentu saja kehadiran aktris kelas A jadi kelebihan film ini. Performa mereka bahkan jadi bagian paling kuat. Rihanna, misalnya. Meski tampil dengan dialog minim, tapi presensinya sulit diabaikan. Ia terlalu karismatik untuk dilewatkan mata. Membuat Nine Ball jadi salah satu karakter menonjol. Begitu juga performa Bullock, Blanchett, Paulson, dan Hathaway. Mereka jauh dari kesan ‘tampil sekadarnya’.

Namun, tak satu pun aktris utama ini punya kedalaman karakter yang cukup. Kita tak akan melihat bagaimana kokohnya “DNA pencuri” dalam keluarga Ocean, kecuali lewat sebaris dialog Debby dan petugas asuransi yang diperankan James Corden. Sampai film habis diputar, kita juga tak akan paham bagaimana Amita bisa kenal dengan Debby, atau sedalam apa hubungan partner in crime Debby dan Lou.

Ada banyak sekali bagian naskah yang harusnya ditambal Ross, agar keputusannya menggaji delapan aktris megabintang tak jadi buah simalakama. Untungnya, kedangkalan karakter ini ditutupi dengan aspek lain. Kualitas akting para aktor, fashion yang disiapkan tim busana dan tata rias juga jadi juru selamat film ini.

Sarah Edward, perancang kostum Ocean’s 8 punya inspirasi ikon fesyen untuk masing-masing aktris utama. Misalnya Elizabeth Taylor untuk karakter Hathaway, Vivienne Westwood dan Grace Coddington untuk Bonham-Carter, Tory Burch dan Jenna Lyons untuk Paulson, atau Bob Marley dan Rihanna sendiri untuk Rihanna. Alhasil, karakter-karakter yang mereka perankan agak lebih dalam, setidaknya dari cara mereka berpakaian.

Blanchett misalnya, tampil misterius dan tangguh dengan dandanan androgini khas Harry Styles yang dipakaikan Edward padanya. Membuat Lou, karakter yang diperankannya, semakin karismatik sebagai Yin bagi Yang-nya Debby, si karakter utama.

Di hampir ujung film, para penggemar fesyen bahkan akan dimanjakan dengan parade mode tingkat tinggi: Debby dan kawan-kawannya keluar dari Met Gala dengan pakaian rancangan desainer papan atas. Blanchett dengan jumpsuit Givenchy, Rihanna dengan gaun sutra merah Zac Posen, Bonham-Carter tampil ala-ala dongeng dengan motif bunga dari Dolce & Gabbana, Kaling merepresentasikan desainer keturunan India Naeem Khan, Paulson mengenakan velvet Prada, dan Awkwafina memakai Jonathan Simkhai.

Sayang, adegan pamungkas itu masih tak mampu menutupi gajah di tengah ruangan. Tak bisa dimungkiri, Ross gagal menghidangkan naskah yang dalam dan lebih menarik dari semestinya. Twists yang disiapkannya juga melempem. Sebab kita sudah menonton trilogi Ocean’s sebelumnya, yang cenderung dirakit dengan alur premis yang sama.

Di balik pesan kuat yang dibawa Ocean’s 8 tentang feminisme, secara teknik, Ross nyatanya tak berhasil mengangkat film teranyarnya ini jadi tontonan yang membekas. Mungkin, kalau tak dimainkan aktris-aktris kelas A, naskah Ocean’s 8 akan lewat begitu saja. Tak jadi bahan perbincangan bertahun-tahun seperti Ocean’s Eleven.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra