Menuju konten utama

Rei Kawakubo, Gaun 3D Rihanna, dan Gemerlap Met Gala

Met Gala kembali jadi sorotan dunia, terutama kepada sosok Rei Kawakubo dan penyanyi Rihanna.

Rei Kawakubo, Gaun 3D Rihanna, dan Gemerlap Met Gala
Rihanna di karpet merah Met Gala. FOTO/Shutterstock

tirto.id - Rihanna tampil merah-merah malam itu. Sepatu merah, cincin bermata merah, gincu merah, bahkan muka yang diolesi riasan dengan gradasi merah. Tapi yang paling menarik perhatian adalah pakaian tiga dimensi yang dikenakannya: tumpukan kain yang dipotong bundar memenuhi bagian atas tubuh dan kanan kiri pinggulnya. Kain-kain itu tentu berwarna merah, sebagian lainnya bermotif bunga-bunga. Pakaian membalut hampir seluruh tubuh Rihanna, kecuali kepala dan kakinya—yang dililit tali sepatu dari pangkal jari hingga pangkal paha.

Deskripsi di atas sama sekali tak berusaha melebih-lebihkan tampilan Rihanna, hanya ingin menggambarkan betapa liarnya fantasi sang perancang. Seperti kata Monica Kim dari Vouge, ketika Rihanna menginjak karpet merah, “Suasana berubah jadi penuh fantasi fashion.”

Malam itu sang biduan mengenakan rancangan Rei Kawakubo, perancang kawakan dari Jepang yang berusia 74 tahun yang tenar dengan jenamanya sendiri bernama Comme des Garçons. Karya-karya Kawakubo memang eksentrik bila dibandingkan rancangan perancang busana lainnya—sesuatu yang mungkin tak akan kita temui di jalanan, alih-alih karpet merah para bintang dunia; atau konser Kanye West; atau konser Lady Gaga.

Kawakubo sendiri adalah nama besar sekaligus legenda hidup di dunia tata busana. Comme des Garçons pertama kali dikeluarkannya pada 1969, dan semakin tenar pasca-debutnya di Paris pada 1981. Nama Kawakubo masuk berkali-kali sebagai salah satu perancang busana paling berpengaruh di abad ke-20. The New York Times bahkan menyebut karya-karya Kawakubo sebagai sabda dalam fashion.

“Nona Kawakubo menempa jalannya sendiri, mulai dari citra panjang sebagai antagonis yang mengangkangi norma-norma definit, hingga kemudian dianggap sebagai kebijaksanaan itu sendiri. […] Ia (juga) yang pertama kali tiba pada gagasan-gagasan dalam dunia mode yang kini paling berpengaruh dan terus tersebar: androgyny, artificiality, the pop-up shop, the luxury group,” tulis Matthew Schneier di The New York Times.

Tapi siapa yang mau beli dan pakai baju penuh jendolan di sana-sini, dengan potongan tak asimetris yang pasti akan langsung memaksa bola mata orang-orang menuju ke arahnya? “Sambil menangis, seseorang pasti akan bilang, ‘siapa yang mau pakai baju ini?’” ungkap Sarah Brown.

“Aku tahu perasaan itu. Karena aku tumbuh dewasa dengannya,” tambah Brown, putri Kawakubo.

Karya-karya Kawakubo memang bukan hal biasa. Kadang ukurannya bisa sangat besar, tanpa lubang agar kedua lenganmu bisa keluar. Yang lainnya ditempeli kancing-kancing besar, yang diniatkan memang untuk tidak dikancingkan sama sekali. Kadang terbuat dari bahan kulit, aluminium, sutra, dan apa saja. Benar-benar apa saja. Tapi tak ada yang lebih pantas menggambarkan keeksentrikan karya-karya Kawakubo selain sang anak.

“Ketika SMA, salah satu pakaian musim dingin formal yang paling kuingat adalah dua potong beludru hitam, dengan potongan tangan panjang dipasangkan dengan sepotong celana dengan tiga kaki. Satunya lurus dipotong di atas pergelangan kaki; yang lainnya tersampir dengan model blus; yang ketiga mirip seperti celana pendek,” ungkap Brown.

“Gimana cara aku pakainya, Ma?”

“Semau saja. That’s the fun, baby,” sahut ibunya.

Bagi Brown, “It was OK” untuk tampil beda, selama kau menyukai dirimu sendiri. Tapi menurutnya, bagi sang Ibu, ihwal itu adalah keharusan—sesuatu yang memang lebih baik dilakukan. “Potongan serebral, puitis, dan yang benar-benar dijahit indah, sangat individual, yang mungkin kadang adalah tantangan bagi orang-orang lain, malah jadi tenaga sendiri sekaligus kepercayaan diri baginya,” ungkap Brown.

Kemahiran, ide-ide unik, masa kariernya yang panjang, serta karya-karya yang lebih sering dianggap seni tinggi itu yang akhirnya membuat Costume Institute menjadikan Rei Kawakubo dan Comme des Garçons sebagai tema Met Gala 2017—acara tahunan terbesar di dunia mode internasional yang tiap tahun disebut-sebut sebagai Pesta Tahun Ini.

Tak seperti Met Gala pada umumnya, tahun ini karya-karya Kawakubo akan jadi pameran tunggal. Sebuah kehormatan yang baru ia dan almarhum perancang busana Yves Saint Laurent yang pernah mencicipinya.

Infografik Rei Kawakubo

Pesta Pamer Busana dan Mode Dunia

Tampilan eksentrik Rihanna masih jadi bahasan di media sosial dua hari belakangan. Di Instagram, sejumlah ilustrator mode bahkan masih melukiskan keindahan pakaian tiga dimensi yang dikenakan penyanyi dari Barbados itu. Sejumlah pengamat mengklaim tampilan Rihanna sebagai salah satu yang terbaik, dan bahkan yang paling mencuri perhatian. Tanda pagar #MetGala2017 di Instagram bahkan jadi yang paling banyak diunggah dari pada Met Gala tahun-tahun sebelumnya.

Tapi apa sebenarnya Met Gala? Mengapa Rei Kawakubo harus merasa terhormat karena jadi pameran tunggal di acara tersebut?

Ketenaran Met Gala dimulai pada 1999, ketika Pemimpin Redaksi Vouge Amerika Anna Wintour mengambil alih kursi ketua panitia. Di tangan dingin perempuan yang kini berumur 67 tahun itu, Met Gala disulap jadi komoditas mode terbesar di dunia. Acara yang semula dirancang jadi pesta sosialita lokal New York pada 1948 itu, berubah dari ajang filantopis lokal menjadi pesta pamer busana yang jadi tonggak dunia mode.

Di sana puluhan bahkan ratusan selebriti internasional berkumpul. Menunjukkan pada dunia bagaimana kalangan borjuis kelas atas mengadakan sebuah pesta. Biasanya, acara utama pesta itu adalah pameran busana sejumlah perancang kelas dunia yang dikurasi dan diseleksi sendiri oleh Wintour. Tahun ini, tema pesta itu adalah Comme des Garçons, karya-karya Rei Kawakubo.

Selain Wintour, para tuan rumah tahun ini diisi oleh nama-nama besar seperti: Tom Brady, Gisele Bündchen, Katy Perry and Pharrell Williams; Dan tentu saja Kawakubo sendiri, dan Caroline Kennedy, seorang duta besar Jepang.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Met Gala jadi ajang bagi para pengusaha dan penguasa industri mode dunia untuk menunjukkan taringnya. Bak Oscar, tempat kapitalisasi film dunia dipamerkan, atau Grammy, ajang yang dibuat untuk mempertahankan musik Amerika jadi pasar nomor satu dunia, begitu pula esensi dari eksistensi Met Gala di dunia permodean.

Semua hal di acara tersebut adalah lambang perputaran ekonomi di dunia mode. Selembar tiket masuknya seharga US$ 30 ribu, setara dengan kurang lebih Rp399 juta. Harga satu mejanya di dalam pesta sebesar US$275 ribu, atau senilai kurang lebih Rp3,6 miliar. Para artis yang datang atau perusahaan mode yang ingin promosi memang harus merogoh kocek dalam untuk bisa ke sana.

Bahkan tak semua artis yang masuk ke sana mampu membeli tiket dan masuk ke dalam daftar yang diundang. Tak jarang, para sponsor bahkan meng-endorse artis-artis kelas dunia untuk memakai jenamanya. Atau bahkan menyewa satu set meja, yang nantinya akan dipenuhi selebriti dengan perancang mode yang sama.

Lah, bukannya semua orang harusnya memakai rancangan Kawakubo? Tentu tidak.

Para selebriti yang datang tak diwajibkan memakai pakaian sesuai tema, seperti Rihanna. Tema tersebut hanya jadi acara utama yang akan disajikan di puncak pesta.

Lalu, apa saja isi acaranya? Demi meningkatkan gengsi acara ini, Met Gala dua tahun terakhir dibikin misterius. Wintour melarang unggahan apa pun di pesta itu selama acara berlangsung. Satu-satunya yang boleh dijepret media dan ditonton dunia adalah lenggak-lenggok di karpet merah saja. Alasannya, agar para sosialita itu benar-benar bisa menikmati pesta mereka, dan jadi diri sendiri tanpa terbebani paparazzi seperti sehari-hari.

Tentu, kalau ditilik dari perspektif yang berbeda, kerahasiaan itu hanyalah teknik marketing lain dari Wintour dan kepanitiaannya yang bernama Costume Institute.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Aulia Adam