tirto.id - Anggap saja A berjenis kelamin laki-laki, bekerja di sebuah PT dan bertugas membersihkan sebuah toilet. Sementara B berjenis kelamin perempuan, bekerja di PT yang sama dengan A, bertugas yang sama pula, membersihkan sebuah toilet.
Jam kerja A dan B sama. Ukuran toilet yang dibersihkan A dan B juga tak berbeda. Tetapi gaji A lebih besar dari B. Perbedaan gaji inilah yang disebut kesenjangan upah. Ada alasan yang mendasarinya, tentu saja.
Bisa jadi A sudah berpengalaman bertahun-tahun membersihkan toilet, sementara B hanya beberapa bulan. Atau barangkali tingkat pendidikan A lebih tinggi dari B. Atau mungkin karena A adalah laki-laki yang diasumsikan menanggung beban keluarga lebih berat.
Apapun alasannya, kesenjangan upah untuk satu beban pekerjaan yang sama adalah tidak adil. Namun, alasan terakhir sudah bisa dikategorikan diskriminasi. B digaji lebih kecil hanya karena B perempuan. Ini disebut kesenjangan upah antar-gender. Ia menjadi persoalan di seluruh dunia, di berbagai sektor industri.
Industri film sebesar Hollywood pun tak lepas dari kesenjangan ini. Oktober tahun lalu, Jennifer Shrader Lawrence menuliskan sebuah surat terbuka. Surat itu diberi judul Mengapa Saya Dibayar Lebih rendah dari Pemeran Pendukung Laki-laki?
“Ketika Sony diretas, saya menemukan betapa saya dibayar lebih murah dari orang-orang yang beruntung karena memiliki penis,” tulisnya.
Tak ada alasan jelas mengapa Jennifer dibayar lebih rendah. Ini murni semata-mata karena ia adalah perempuan yang diasumsikan menanggung beban keuangan keluarga lebih ringan dibandingkan laki-laki.
“Saya tak marah pada Sony, saya marah pada diri saya sendiri. Saya gagal bernegosiasi karena terlalu cepat menyerah. Saya enggan bersikeras mempertahankan jutaan dolar yang secara terang-terangan mereka bilang saya tak membutuhkannya,” sambung Jennifer.
Amanda Seyfried pun bernasib serupa. “Beberapa tahun lalu, dalam sebuah film dengan budget cukup besar, saya mengetahui hanya dibayar 10 persen dari apa yang didapat pemeran pendukung pria,” kata Amanda. Dia beranggapan, perlakuan itu didapatnya, karena ia termasuk orang yang cukup santai dan enggan mempersoalkan bayaran.
“Tetapi ini tentu bukan sekadar berapa banyak yang kau dapatkan, ini juga tentang seberapa adil bayaran itu,” lanjutnya.
Sebelumnya seorang penulis yang memiliki fokus terhadap bisnis di Hollywood, Dorothy Pomerants juga pernah menuliskan kesenjangan itu. “Di Hollywood, selalu akan ada perbedaan antara apa yang pria dapatkan dan apa yang perempuan dapatkan,” tulis Dorothy.
Tahun ini, menurut data dari Forbes yang dirangkum Statista, Jennifer Lawrence menjadi aktor perempuan dengan pendapatan paling tinggi di dunia. Dalam rentang Juni 2015 hingga Juni 2016, ia mencetak pendapatan $46 juta atau setara Rp603 miliar. Meski terjadi penurunan dari pendapatannya tahun lalu yang menyentuh $52 juta, ia tetap menjadi yang tertinggi.
Tetapi, jika dibandingkan dengan angka yang diperoleh Dwayne Johnson sebagai aktor pria dengan pendapatan tertinggi, terjadi selisih yang sangat besar. Dwayne tercatat mengantongi pendapatan $64 juta atau sekitar Rp839 miliar. Selisih yang sangat jauh.
Jika diurutkan, pendapatan Jennifer hanya setara dengan Johny Deep yang berada di urutan kelima perihal jumlah pendapatan. Itu pun, Johny Deep masih sedikit lebih besar ketimbang Jennifer. Ia mengantongi $48 juta dalam periode yang sama.
Jika disandingkan, sepuluh aktor laki-laki dengan bayaran termahal di dunia dengan sepuluh aktor perempuan dengan bayaran termahal, ketimpangannya jelas terpampang. Mellisa Mc Carthy yang berada di urutan kedua aktor perempuan termahal hanya setara dengan Robert Downey Jr yang berada di peringkat ke delapan.
Bahkan penghasilan Brad Pitt yang berada di peringkat ke sepuluh pun masih jauh lebih tinggi dari Scarlett Johanson yang ada di posisi tiga. Selisih penghasilan Brad Pitt dengan Scarlet terpaut $7 juta.
Bukan hanya para bintang yang mendapatkan diskriminasi gaji karena gender, para pekerja regular di industri film pun demikian. Sharon Vonne Stone atau yang lebih dikenal dengan Sharon Stone—seorang aktris, produser film, dan mantan model—mengungkapkan hal itu. Kesenjangan gaji, kata Sharon, juga dialami perempuan-perempuan yang bekerja sebagai kru dalam pembuatan film.
Diskriminasi terhadap perempuan terjadi di berbagai lini kehidupan. Di negara seliberal Amerika Serikat dan di industri yang tampaknya menjunjung kesetaraan gender pun, hal itu terjadi.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti