Menuju konten utama
Seri Antagonis Hollywood

Seabad Orang Arab Jadi Penjahat

Satu abad sebelum peristiwa 9/11, Hollywood sudah merepresentasikan Arab muslim sebagai teroris, pembunuh, penculik sampai pemerkosa.

Seabad Orang Arab Jadi Penjahat
The Sheik (1921) menampilkan karakter penguasa Arab yang tergila-gila pada perempuan kulit putih Eropa sampai nekat menculiknya. wikimedia commons/publik domain/pramount pictures

tirto.id - Citra yang ditampilkan Hollywood untuk orang-orang Arab cenderung lekat dengan kekerasan. Coba saja simak lagu pembuka film kartun Aladdin (1992) produksi Disney berikut ini, yang terdengar mengerikan meski ditujukan kepada anak-anak:

Aku datang dari negeri nun jauh

di mana unta-unta berkeliaran

orang-orang akan memotong telingamu

jika mereka tak suka wajahmu

memang barbar

tapi inilah rumah kami.

Lirik tersebut baru diubah menjadi lebih halus setelah komunitas Arab di Amerika Serikat memprotesnya:tanahnya datar dan luas, suhunya luar biasa panas.” Ketika Will Smith menyanyikannya dalam remake tahun 2019, kalimat tersebut dibenahi lagi agar jadi diplomatis: “tempat kalian temui beragam budaya dan bahasa,” sementara kata “barbar” diganti “kacau”.

Sejumlah pihak juga memprotes karakter antagonis yang digambarkan berjenggot, berhidung besar, bersorban, dan beraksen Arab kental. Di sisi lain, sang protagonis, Aladdin dan Jasmine, terlihat “normal” layaknya anak Amerika biasa.

Stereotip orang Barat terhadap kaum Arab dan muslim seperti ini bisa ditelusuri sejak Perang Salib satu milenium silam, menurut Charles E. Butterworth, pakar politik Timur Tengah, pada Washington Post pada 1993 silam. “Merekalah orang-orang jahat yang merebut Yerusalem dan harus diusir dari Kota Suci,” katanya.

Butterworth menuturkan gambaran muslim yang tidak beradab dan barbar juga merambah masuk ke dunia seni serta sastra, misalnya dalam karya William Shakespeare, Othello (1603).

Sejarah Panjang

Studi komprehensif tentang stereotip negatif orang Arab di dunia perfilman ditulis oleh Jack G. Shaheen, profesor emeritus bidang komunikasi massa dari Southern Illinois University, dalam buku Reel Bad Arabs: How Hollywood Villifies a People (2001). Pada edisi yang diperbarui pada 2009 silam, Shaheen menambah katalognya jadi total 1.100 film—mayoritas diproduksi Hollywood. Film-film tersebut berasal dari akhir abad ke-19 sampai 2001, persis sebelum serangan teroris Al Qaeda ke Menara Kembar di New York.

Apa yang dia simpulkan dari film-film tersebut? Begini katanya:

“Sejak 1896 sampai sekarang, pembuat film secara kolektif sudah menuduh semua orang Arab sebagai musuh bersama nomor satu yang brutal, tidak berperasaan, fanatik agamis, tak beradab, dan makhluk 'budaya lain' yang gila harta, bertekad meneror kaum Barat beradab terutama kalangan Kristen dan Yahudi.”

Untuk menemukan karakter Arab yang baik, menurut Shaheen, “rasanya seperti mencoba menemukan oasis di tengah padang pasir.” Hanya 50-an film yang menggambarkan orang Arab dengan citra positif, atau sekitar lima persen dari total katalog.

Shaheen menemukan karakter laki-laki Arab mesum ditemui setidaknya sejak dalam film bisu Imar the Servitor (1914). Dalam film itu dikisahkan Imar si budak Arab berteman dengan laki-laki Amerika yang punya kekasih. Majikan Imar hampir memerkosa perempuan tersebut.

Dalam The Sheik (1921), seorang penguasa Arab menculik perempuan Inggris yang sedang berwisata di padang pasir. Langkah tersebut dibenarkan karena, seperti kata sang syekh sendiri, “ketika laki-laki Arab melihat perempuan yang diinginkannya, ia akan merebutnya!”

Kisah tentang syekh Arab yang gila harta dan perempuan juga tertuang dalam Lady of the Harem (1926).

Karakter serupa terus bermunculan memasuki paruh kedua abad ke-20. Film berlatar di Inggris pada era Raja Arthur, The Black Knight (1954), menampilkan orang Arab berjenggot, kulitnya gelap, dan badan setengah telanjang. Ia membawa pisau untuk memerkosa seorang putri—yang akhirnya diselamatkan sang ksatria Kristen, Sir John.

Karakter laki-laki Arab dengan hasrat seksual tinggi kian marak pada dekade 1980-an. Dalam Sahara (1983), seorang syekh berusaha memerkosa aktris remaja Brooke Shields. Ia menyebutnya “setan bermata biru” dan berkata, “kamu adalah budakku.”

Pada Protocol (1984), tokoh perempuan berdaya yang diperankan aktris rambut pirang Goldie Hawn jadi pahlawan setelah menyelamatkan seorang emir dari percobaan pembunuhan saat melawat ke Washington. Ujung-ujungnya, si emir malah meminta Hawn agar melacur di rumah bordilnya atau jadi selirnya. Di film ini pula karakter pemuka Islam dicitrakan buruk dengan melakukan segala larangan agama: minum alkohol sampai pesta seks dengan pelacur.

Aktris berambut pirang lain, Kim Basinger, dalam Never Say Never Again (1986) menjadi tawanan orang Arab suku Bedouin. Setelah pakaiannya dilucuti, ia dijual di pasar budak dan ditawar-tawar sampai akhirnya diselamatkan oleh Sean Connery.

Kisah penyelamatan heroik juga dialami aktris Sharon Stone saat bertualang ke Afrika dalam Allan Quatermain and the Lost City of Gold (1987). Dalam film itu ia diselamatkan setelah nyaris diperkosa oleh orang Arab.

Narasi yang merendahkan orang dan budaya Arab juga senantiasa bermunculan di medium lain. Salah satunya drama musikal Harum Scarum (1965) penyanyi Elvis Presley. Ia digambarkan bertualang ke negeri Arab yang begitu terbelakang: terisolasi selama dua ribu tahun, tidak punya bandara atau mobil, kaum perempuannya berpakaian serba seksi dan tampil sebatas sebagai penghibur, sementara anggota kerajaan saling berebut kekuasaan agar bisa cepat kaya dari bisnis minyak.

Dalam komedi petualangan The Jewel of the Nile (1985), aktor Michael Douglas berupaya menyelamatkan istrinya yang telah dijebak oleh diktator Arab jahat di Afrika.

Bagaimana dengan gambaran orang Arab sebagai penjahat atau teroris yang mengancam keamanan warga Barat? Shaheen mendapati orang Arab sudah membajak dan meledakkan pesawat berisi penumpang kulit putih dalam episode pertama serial The Black Coin (1936). Mereka dikisahkan sebagai mafia penyelundup yang tengah diinvestigasi oleh intelijen AS dan Inggris. Mereka juga digambarkan begitu membenci orang Kristen. Alasannya semata karena terdapat simbol tokoh Kristen—Santa Clara—dalam koin perak yang mereka anggap terkutuk.

Di serial berjudul Radio Patrol (1937) produksi Universal Pictures, orang-orang Mesir yang menjadi perwakilan pemerintah Iran di AS berusaha mencuri formula rahasia untuk menciptakan besi anti peluru milik pengusaha Amerika. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, mereka berhasil digagalkan oleh polisi AS.

Masih mengutip buku Shaheen, teroris perempuan Arab muncul pertama kali dalam serial Federal Agents vs. Underworld, Inc. (1948). Ceritanya, “wanita fanatik” bernama Nila ingin menguasai patung Tangan Emas Kurigal yang sedang diamankan oleh otoritas AS. Jika jatuh ke tangannya, artefak dengan kekuatan mistis itu berpotensi menimbulkan kehancuran. Nila pun mencarinya sampai ke Amerika, mencoba menembak agen AS, kemudian melemparkan bom ke jalan untuk melukai agen-agen yang memburunya. Kelak ia tewas mengenaskan tertimbun artefak tersebut.

Beberapa tahun kemudian, orang Suriah sebagai teroris dihadirkan di Sirocco (1951). Kisah berawal dari seorang ekspatriat Amerika—diperankan aktor kenamaan Humphrey Bogart—yang menyelundupkan senjata untuk pemberontak Suriah di bawah rezim kolonial Prancis pada 1925. Dengan suplai senjatanya, orang Suriah menembak mati pasukan Prancis sampai melempar granat ke dalam kafe. Di sini penguasa kolonial digambarkan sebagai korban tak berdaya.

Karakter yang spesifik menyorot orang Palestina sebagai teroris bisa ditemui di Warhead (1974) atau judul lainnya Prisoner in the Middle. Di sini agen CIA bekerja sama dengan pasukan Israel untuk memberantas teroris Palestina yang menguasai senjata nuklir, mengebom bus, dan membantai anak-anak di Israel.

Dalam Black Sunday (1977), teroris Palestina dikisahkan berhasil menjejakkan kaki di kota-kota besar AS untuk beraksi langsung membunuhi warga. Alkisah, perempuan Palestina bernama Dahlia dari gerakan teroris Black September sakit hati karena kekasihnya dibunuh pasukan Israel. Ia kemudian ingin membalas dendam dengan meledakkan balon udara yang biasa diterbangkan saat pertandingan Super Bowl. Sasarannya sebanyak 80 ribu penonton—termasuk di dalamnya Presiden AS yang figurnya mirip Jimmy Carter. Namun, rencana tersebut berhasil digagalkan.

Kebrutalan teroris Palestina dibawakan lagi oleh sutradara besar James Cameron dalam film spionase True Lies (1994). Di sinilah pertama kalinya karakter muslim Palestina meledakkan bom nuklir di teritori AS.

Nyawa mereka pun dianggap tak berharga di tangan Arnold Schwarzenegger. Shaheen menghitung sedikitnya 64 orang Palestina sudah tewas dibantai oleh aktor kekar tersebut.

Selanjutnya, dalam Rules of Engagement (2000), Samuel Jackson berperan sebagai kolonel Angkatan Laut AS yang dibenarkan dan dibela setelah memerintahkan pasukan agar menembak mati warga sipil Yaman—total 83 laki-laki, perempuan dan anak-anak—yang berdemonstrasi di depan bangunan Kedutaan Besar AS.

Dalam film hasil kerja sama Departemen Pertahanan dan Angkatan Laut AS ini, orang Yaman dicitrakan sebagai kaum anti-Amerika penuh kebencian dan teror. Kendati dihujani kritik, eksekutif dari pihak distributor Paramount Pictures menyampaikan pada American-Arab Anti-Discrimination Committee bahwa filmnya tidak bermaksud menggambarkan pemerintahan atau suatu bangsa secara buruk, bukan pula ekspresi anti-Arab, anti-Maroko atau anti-Yaman, melainkan “anti-kaum ekstremis.”

Kian Populer

Melansir penjelasan Shaheen, gambaran negatif tentang orang Arab di layar Hollywood semakin marak sejak akhir dekade 1940-an, tepatnya seiring negara Israel didirikan di tanah Palestina.

Citra kejam orang Arab Palestina berkaitan pula dengan tingginya kasus pembajakan pesawat oleh grup-grup militan sepanjang dekade 1960-1970.

Penggambaran jelek bangsa Arab juga tidak bisa dipisahkan dari embargo minyak pada 1973 akibat ketegangan hubungan antara negara-negara Arab penghasil minyak dan pemerintah AS yang kukuh mendukung Israel. Pandangan tentang pemerintahan represif di bawah tokoh-tokoh Arab pun membayangi masyarakat di luar kawasan Timur Tengah seiring rezim-rezim kediktatoran bermunculan: dari Muammar Gaddafi di Libya sejak 1969 sampai rezim islamis Iran oleh Ayatollah Khomeini sejak 1979.

Citra orang Arab sebagai pemberontak nan brutal di mata orang Amerika terus bertahan memasuki dua dekade terakhir abad ke-20. Gambaran ini dikenang lewat kasus penyanderaan 66 staf di kedutaan besar AS di Teheran Iran pada 1979-1981. Tak berapa lama kemudian, perseteruan antara tentara Israel dan Palestine Liberation Organization meletus dalam Perang Lebanon (1982), diikuti pemberontakan rakyat Palestina untuk mengakhiri pendudukan Israel (intifada pertama) antara 1987-1993.

Dinamika geopolitik di Timur Tengah yang berlangsung selama itu, ditambah kuatnya penggambaran buruk orang Arab di industri perfilman Barat, akhirnya menciptakan generalisasi di masyarakat AS bahwa semua orang Arab jahat, beragama Islam dan anti-Amerika, termasuk pandangan bahwa orang Iran adalah bangsa Arab (padahal mereka bagian dari grup etnis Persia, yang jelas berbeda dari Arab).

Infografik Hollywood vs Antagonis Arab

Infografik Hollywood vs Antagonis Arab. tirto.id/Tino

Besarnya ancaman dari kaum Arab muslim yang digembar-gemborkan selama ini sebenarnya tidak sesuai dengan statistik. Pada 2017 lalu, Pew Research Center menyatakan ada jauh lebih banyak kaum muslim yang hidup di India dan Pakistan (total 344 juta jiwa) daripada kaum Arab muslim di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (317 juta). Kita perlu ingat bahwa Indonesia juga rumah terbesar muslim di dunia dengan lebih dari 200 juta orang. Sementara di AS, imigran atau warga keturunan Arab yang beragama kristiani jauh lebih banyak daripada yang beragama Islam (sekitar 63 persen berbanding 24 persen).

Tapi toh gambaran teroris Arab yang nekat membunuh orang-orang kulit putih atas nama agama Islam masih ditemui di layar kaca Hollywood, dan situasinya kian pelik pascaperistiwa 9/11.

Dalam studi terpisah di The Cairo Review pada 2015, Shaheen mencontohkan serial drama petualangan agen kontraterorisme di AS yang jadi contoh paling awal—dan konsisten—tentang bagaimana kengerian tentang ancaman terorisme selalu menghantui keseharian masyarakat Amerika. Serial tersebut berjudul 24, produksi Fox, tayang pertama kali dua bulan setelah peristiwa 9/11 dan bertahan sampai nyaris satu dekade, bahkan masih dibuat sekuel pada 2014 dan 2017.

Unsur Islamofobia juga kentara dalam thriller spionase Homeland (2011-2020) yang diadaptasi dari serial Israel, Prisoner of War. Kisahnya diawali dari kecurigaan agen CIA tentang rencana serangan teror di AS oleh mantan tawanan Al Qaeda. Seperti serial 24, menurut Shaheen, Homeland menjadi semacam sarana keamanan negara untuk “memublikasikan fantasi tentang ancaman teror dari kaum Arab muslim.”

Daftar film produksi Hollywood yang menampilkan pahlawan Amerika versus teroris Arab dan muslim masih panjang, dari Robert Downey Jr. melawan teroris Afganistan dalam Iron Man (2008), Jamie Foxx memburu teroris di Arab Saudi dalam The Kingdom (2007), Bradley Cooper membantai Al Qaeda di Irak di American Sniper (2014), sampai Gerard Butler yang melindungi Presiden AS dari upaya pembunuhan oleh teroris islamis di London Has Fallen (2016).

Baca juga artikel terkait HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino