Menuju konten utama

Melacak Sentimen Anti-Arab Saudi

Masyarakat Indonesia punya banyak perspektif dalam memandang Arab Saudi.

Melacak Sentimen Anti-Arab Saudi
Mahasiswa keturunan Arab di Amerika berkumpul melawan diskriminasi di University of North Carolina. Ruby Wallau/Daily

tirto.id - Kedatangan rombongan Raja Salman dari Arab Saudi ke Indonesia tak semata dipandang sebagai lawatan untuk menjalin kerja sama ekonomi. Bagi para peneliti Islam politik maupun intelektual muslim dari kalangan moderat, Arab Saudi adalah negara yang berperan kurang baik di Indonesia.

Misalnya sikap negara ini terhadap para buruh migran Indonesia yang kerap mengalami kasus kekerasan atau bahkan dihukum mati, negara sponsor kegiatan radikal di Indonesia, sampai kasus santunan korban jemaah haji akibat kejatuhan crane pada 2015 yang belum juga dibayar sampai hari ini.

Ihsan Ali Fauzi, peneliti dari Yayasan Wakaf Paramadina, pada 2007 menulis bahwa Arab Saudi sudah lama bergiat menyebarkan Wahabisme ke seluruh dunia. Wahabisme adalah doktrin keagamaan resmi Kerajaan Arab Saudi, buah pemikiran reformis yang dikembangkan oleh Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab (1703-1792), di bawah Abdul Aziz bin Saud, raja Saudi pertama, pada awal abad ke-20.

Paham Wahabi dikenal ekstrem dan puritan, menekankan "Islam murni" dengan merujuk contoh-contoh teladan Nabi Muhammad dan generasi pertama umat Islam, serta mengecam pencampurannya dengan tradisi lokal. Paham ini bagian dari ekspansi gerakan dakwah Salafi kontemporer di seluruh dunia, dan mulai menguat di Indonesia sejak pertengahan 1980-an.

“Nahdlatul Ulama dibentuk antara lain untuk menghambat ekspansi paham ini di Indonesia,” kata Ihsan. Ia menulis dengan skeptis atas niatan pemerintah Arab Saudi mengembangkan Islam moderat. Bukankah inti moderasi adalah kesiapan untuk memahami dan menerima yang lain, yang bertentangan dengan semangat utama Wahabisme?

Di Indonesia juga di negara muslim, Arab Saudi punya pengaruh yang dalam. Pada 1926, misalnya, Saudi mengorganisir Kongres Dunia Islam, dengan tujuan menjalin solidaritas antara negara-negara Islam. Sesudah Perang Dunia Kedua, di tengah blok Komunis dan blok Barat, Saudi mendukung penyebaran Wahabisme ke seluruh dunia Islam. Ia juga mensponsori Organisasi Konferensi Islam pada 1957, dan lima tahun kemudian merancang Liga Dunia Islam (Rabithat al-'Alam al-Islami).

Noorhaidi Hasan, dalam bab "Ekspansi Kaum Salafi" (Laskar Jihad, 2008), menulis posisi Saudi kian mantap di kawasan Arab terutama sesudah kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Arab-Israel 1967. Perkembangan pengaruh Saudi seiring naiknya kebangkitan Islam yang ditandai menyebarnya gagasan Ikhwanul Muslimin dan Jama'at-i Islami. Saudi juga diuntungkan berkat melambungnya harga minyak dunia. Tantangan yang dihadapi Saudi adalah model Revolusi Iran pada 1979, yang memberi gagasan negara Islam. Gejolak ini direspons Saudi dengan melaksanakan hukum keagamaan secara ketat demi menjawab komitmennya pada Islam di dalam negeri, sementara di luar negeri, ia mempromosikan sentimen anti-Syiah. Di sisi lain, Saudi juga bersekutu dekat dengan Amerika Serikat.

Di Indonesia, pengaruh Saudi terutama mengalir melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang didirikan oleh Muhammad Natsir dan mantan pemimpin Masyumi pada 1967.

"Sebagai agen utama kampanye melawan Syiah di Indonesia," tulis Noorhaidi, "organisasi ini menerima banyak bantuan uang dari Arab Saudi." Bantuan ini termasuk melalui saluran dari Organisasi Bantuan Islam Internasional, Dewan Masjid Dunia, Organisasi Pemuda Muslim se-Dunia, dan Panitia Derma Islam.

"Bantuan itu meningkatkan aktivitas DDII dalam dakwah dan bidang-bidang sosial ... membiayai pembangunan masjid-masjid baru, panti-panti yatim piatu, dan rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah Islam, pembagian secara gratis Alquran dan buku-buku, dan pelatihan da'i," tulis Noorhaidi.

Perkembangan dari sana adalah gagasan yang merembes ke kampus-kampus, yang hasilnya pada 1980-an kampus-kampus utama di Indonesia menyaksikan kebangkitan Islam, meningkatnya minat mahasiswa menjalankan kewajiban agama, popularitas jilbab, dan persebaran buku-buku Islam. Noorhaidi menulis bahwa keadaan ini tak pelak memberikan pra-kondisi bagi perkembangan pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir.

"Kondisi-kondisi yang diciptakan DDII menyediakan landasan bagi Arab Saudi untuk mengembangkan lebih lanjut pengaruhnya dan menyebarkan Wahabisme," tulis Noorhaidi.

Saudi lantas mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA), institusi pendidikan asing pertama di Indonesia, pada 1980. Pengelolaannya ditangani oleh Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa'ud di Riyadh, dan dipimpin seorang direktur kebangsaan Saudi, yang bertanggung jawab dalam bidang akademik dan urusan administratif, di bawah pengawasan langsung Kedutaan Saudi di Jakarta. Salah satu kegiatan LIPIA adalah memberikan beasiswa kepada para "siswa berbakat" dari sejumlah pesantren tradisional dan modern terkemuka, dengan merekrut sejumlah pengajar dari sejumlah negara muslim termasuk al-Baghdadi, penganjur utama Hizbut Tahrir. Lembaga pendidikan ini telah beberapa kali dikunjungi oleh para pejabat tinggi Saudi.

"Dalam waktu singkat," tulis Noorhaidi, "LIPIA berhasil menebar pengaruhnya di seluruh Indonesia."

Kegiatan LIPIA termasuk juga mencetak kitab-kitab mengenai ajaran Wahabisme dan edisi-edisi Alquran, yang dibagikan secara gratis ke ratusan institusi pendidikan dan organisasi keagamaan. Lembaga ini pada gilirannya melahirkan banyak aktivis yang terlibat dalam memperkuat Partai Keadilan (sekarang PKS).

Noorhaidi menulis, "Melalui program pengiriman mahasiswa berprestasi untuk belajar ke Arab Saudi ... lebih dari 30 alumninya berhasil melanjutkan studi di sana setiap tahun." Salah dua alumninya adalah Rizieq Shihab, pendiri Front Pembela Islam, dan Ja'far Umar Thalib, pendiri Laskar Jihad.

Perkembangan geopolitik di Timur Tengah, terutama saat pecah peperangan antara Rusia dan Afghanistan pada 1980-an, dengan menyerukan jihad, Saudi telah mendorong para mahasiswa asing di negaranya, termasuk dari Indonesia, tertantang memanggul seruan tersebut. Gilirannya kelak, ketika serangan 11 September 2001, sebagian alumni Afghan ini menjadi bagian dari jaringan terorisme global, yang merembet pada sejumlah peristiwa pemboman di Indonesia.

INFOGRAFIK Fakta Budaya Arab

Sentimen Anti-Arab Saudi

Sentimen anti-Arab Saudi memang menguat usai peristiwa 11 September 2001: 15 dari 19 teroris yang terlibat adalah warga negara Arab Saudi. Seperti dikemukakan Millard Burr dan Robert Collins dalam Alms for Jihad (2006), tuduhan paling gencar justru datang dari AS, sekutu terdekat Arab Saudi. Dalam pernyataan pers pada 19 Februari 2004, Departemen Keuangan AS mengatakan bahwa beberapa lembaga penyalur dana Saudi “tidak saja telah membantu tersebarnya kematian manusia dan kerusakan, tetapi juga telah mengelabui banyak orang untuk percaya bahwa mereka sedang menyebarkan kebaikan.”

Akan tetapi Ihsan Ali Fauzi menjelaskan bahwa sentimen negatif terhadap Arab tak bisa sepenuhnya dilimpahkan karena pengaruh negara itu ke Indonesia. Menguatnya pengaruh Saudi tergantung pada kondisi lokal negara bersangkutan. "Menisbatkan aksi-aksi kekerasan di Indonesia hanya kepada faktor-faktor eksternal, seperti dana Saudi, juga tidak adil. Radikalisme Islam memiliki benih dan preseden dalam sejarah kita,” katanya.

Di Indonesia, masyarakat terbelah dalam memandang Arab Saudi. Kelompok pejuang HAM dan intelektual muslim menganggap negara ini melakukan pelanggaran kejahatan kemanusiaan, sementara yang lain menganggap mereka sebagai negara yang paling banyak membela umat muslim melalui donasi di Suriah maupun Palestina.

Nafi Mutohirin, Direktur Riset di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM), Universitas Muhammadiyah Malang, menyebut dualisme pandangan masyarakat muslim terhadap Arab Saudi karena kurangnya pengetahuan tentang konstelasi konflik di Timur Tengah.

Menurutnya, dengan kekuatan militer, politik, dan ekonomi, Kerajaan Saudi kerap berlaku sewenang-wenang yang melampaui batas etik kemanusiaan. “Beberapa pelanggaran HAM dilakukan oleh pihak kerajaan. Penangkapan dan penyiksaan terhadap aktivis yang kritis terhadap pemerintah dan ulama Wahabi, ancaman penangkapan bagi keluarga korban pelanggaran HAM yang melapor ke Amnesty International,” kata Nafi.

Nafi menyebut Arab Saudi kerap melakukan eksekusi mati terhadap sejumlah ulama kritis, yang tidak setuju pada Wahabisme dan kebijakan pemerintah. Sayangnya, masyarakat Indonesia kerap mencampuradukkan antara Arab Saudi sebagai negara yang memiliki pemerintahan tersendiri dan Islam sebagai ajaran yang dogmatik.

Menurut Nafi, pandangan publik kita terhadap Arab Saudi tentu tidak tunggal. Sebagian umat Islam di Indonesia justru melihat Arab Saudi sebagai negara yang berjasa, karena memberikan dana melimpah bagi pendirian lembaga pendidikan Islam serta memberi beasiswa bagi pelajar Indonesia untuk kuliah di negara itu.

Intelektual muslim seperti Akhmad Sahal secara terbuka menyebut bahwa Wahabisme dan Arab Saudi identik. Arab Saudi diduga menjadi negara yang kerap melanggar hak asasi manusia, seperti melarang perempuan untuk mengendarai mobil, membatasi akses mereka di ruang publik, memberlakukan hukuman mati (seperti juga Indonesia), berperan dalam 'perang proxy' dalam isu sektarian antara Suni dan Syiah, serta dianggap turut membidani ISIS. Namun tuduhan menjadi suporter ISIS sejauh ini hanya berakhir sebagai dugaan tanpa ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Sementara dari sisi keberpihakan, pandangan umat Islam yang lain di negeri ini menyebut Arab Saudi memainkan politik aliran dalam keberpihakannya pada ketegangan yang kini terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah,” kata Nafi.

Padahal, jika melihat konflik Timur Tengah saat ini, perang di Yaman sebagian besar merupakan andil Arab Saudi. International Institute for Strategic Studies, lembaga riset yang berbasis di London, menyebut negara itu menghabiskan 175 juta dolar per bulan untuk serangan udara di Yaman.

Savic Ali, intelektual muda NU dan pemimpin redaksi NU Online, menyebut konflik Yaman relatif tidak mendapat perhatian publik muslim Indonesia karena pemberitaannya tidak sesensitif perang Suriah. Menurutnya, saat ini muslim Indonesia disibukkan oleh isu-isu politik-keagamaan. “Dibanding kasus Suriah, di mana sentimen anti-Syiah digaungkan demi menyerang rezim Assad, kasus Yaman tak banyak dibicarakan dan tak banyak kecaman,” katanya.

Di Indonesia, kelompok sosial yang tidak suka dengan rezim Saudi-Wahabi tidak begitu tergerak untuk menyerang kebijakan-kebijakan Saudi. Ini sangat berbeda dengan kelompok anti-Syiah yang sangat berkepentingan dan aktif menyerang Assad dan, di level tertentu, menyerang Iran. Sentimen ini berkembang liar dan di Indonesia menjadi penyebab konflik sektarian, seperti yang terjadi di Madura dan Bandung.

“Ini saya kira tak luput dari adanya 'Wahabi-connection' di kelompok-kelompok anti-Syiah,” kata Savic.

Menurut Savic, seiring konflik politik dan ideologi di Timur Tengah serta keterbukaan informasi di era internet, Wahabi mengalami perluasan pengaruh. “Beberapa ajarannya seperti mendapatkan konteks, selain kekuatan finansial Saudi sangat mempengaruhi perluasan ajaran ini,” katanya.

Sentimen negatif terhadap Arab Saudi semakin tinggi karena masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit terpapar informasi. Teknologi internet membuat banyak orang mendapatkan akses terhadap informasi tentang Arab Saudi yang dulunya hanya terbatas lewat buku-buku atau jurnal penelitian.

Savic sendiri menilai sumber sentimen terhadap Wahabi terutama karena paham ini tidak bisa menerima perbedaan mazhab. Hasrat mereka untuk menyeragamkan pandangan atau tafsir keislaman membuat paham ini merasa benar sendiri dan jatuh pada tindakan mengafirkan muslim lain (takfiri).

“Ini sudah terjadi lama, sejak Ibn Saud berkuasa setelah runtuhnya Turki-Usmani. Nahdlatul Ulama, boleh dikata, kelahirannya adalah untuk menunjukkan sikap penentangan terhadap Saudi-Wahabi yang ingin menyeragamkan pandangan dan memberangus praktik keagamaan yang dianggap bid'ah di Haramain,” jelas Savic.

Masyarakat kita kemudian menyadari ancaman puritanisme Wahabi, yang serba anti kebudayaan lokal, termasuk anti-pagelaran seni, musik, dan lainnya.

”Ini yang tidak cocok di mata ulama dan kalangan muslim lain, termasuk Indonesia. Islam Indonesia adalah Islam yang banyak mengambil bentuk wajah lokal, membentuk peradaban baru hasil dialektika nilai-niali Islam dan budaya atau tradisi lokal,” kata Savic.

Baca juga artikel terkait WAHABISME atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Politik
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam