Menuju konten utama

Kiai Asnawi Kudus: Kisah Mufti Mesir, Dasi, dan Abjad Pegon

Kisah ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus yang karya-karyanya ditulis dalam bahasa Jawa pegon agar tak mudah diendus pemerintah kolonial.

Kiai Asnawi Kudus: Kisah Mufti Mesir, Dasi, dan Abjad Pegon
Header Mozaik KHR Asnawi. tirto.id/Ecun

tirto.id - Kiai Haji Raden Asnawi atau akrab disapa Kiai Asnawi lahir di Kudus pada 1861. Dari garis ayah, ia adalah trah ke-14 Sunan Kudus. Sementara dari garis ibu, adalah keturunan ke-5 Kiai Mutamakkin (1645-1740), seorang ulama sufi dari Pati. Nama Kiai Mutamakkin muncul dalam Serat Cebolek (1892) karya Raden Pandji Djajasoebrata dan digambarkan sebagai tokoh antagonis.

Kiai Asnawi menetap lama di Makkah, sekitar 22 tahun. Keberangkatannya bersama sang ayah ke Tanah Suci diperkirakan pada 1891, saat ia berusia 30 tahun. Kematian ayahnya saat menunaikan ibadah haji tidak menyurutkan rencananya untuk menetap di negeri tersebut.

Lima tahun sebelumnya, yakni pada 1886 ia sudah pergi haji. Dalam rentang dua dekade berada di Tanah Suci, Kiai Asnawi beberapa kali menyambangi ibu dan adiknya yang memilih tinggal di Kudus.

Selama bermukim di Makkah, ia menumpang di kediaman Syekh Hamid Manan, juga berasal dari Kudus. Setelah menikah dengan Hamdanah, putri Syekh Hamid, ia pindah ke kampung Syami’ah. Hamdanah adalah janda ulama Makkah asal Banten yang juga guru banyak ulama besar tanah air, yakni Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani.

Setelah bermukim cukup lama di Makkah, Kiai Asnawi membuka pengajian di Masjidil Haram. Sejumlah muridnya berasal dari Indonesia. Sebagai ulama, ia pernah bertukar pikiran dengan Mufti Makkah yang juga ulama besar asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi.

Diskusi keagamaan antara keduanya dilakukan secara tertulis. Sayangnya tidak ada informasi detail mengenai apa masalah yang mereka bahas dan bagaimana keduanya mempertahankan pendapat. Yang pasti dalam diskusi itu keduanya sepakat untuk tidak sepakat, alias kukuh pada pendirian masing-masing.

Menyadari kebuntuan dalam diskusi, Kiai Asnawi meminta fatwa pada seorang Mufti Mesir, Sayyid Husein Bek. Semua naskah yang berisi pendapatnya dan pendapat Syekh Ahmad Khathib ia kirimkan kepadanya.

Setelah membaca surat-surat tersebut, khususnya curahan pemikiran Kiai Asnawi, Sayyid Husein Bek penasaran dan ingin berkenalan. Mengetahui keinginan itu, Syekh Hamid Manan mencoba memfasilitasi pertemuan keduanya.

Pertemuan itu rencananya akan diadakan di rumah Syekh Hamid Manan, bakda salat Jumat. Dalam pertemuan tersebut, Kiai Asnawi yang merupakan menantu Syekh Hamid Manan menyuguhkan sendiri jamuan kepada sang mufti.

Setelah beramah-tamah dengan tuan rumah, Sayyid Husein Bek yang sudah tidak sabar menanyakan keberadaan Kiai Asnawi. Mendengar pertanyaan itu Syekh Hamid Manan bingung, sebab orang yang ditanyakan sedari tadi duduk di ruangan yang sama.

Sayyid Husein Bek terkejut. Ia tak mengira bahwa pria Jawa yang menjamunya dan ikut duduk di ruangan tersebut adalah orang yang ia cari.

Kiprah di Sarekat Islam dan Nahdlatul Ulama

Selain berkecimpung di dunia keilmuan, Kiai Asnawi juga aktif berorganisasi. Ketika Sarekat Islam (SI) menggurita dan bergaung hingga ke Tanah Suci, ia ikut ambil bagian dalam mendirikan SI Cabang Makkah pada 1912. Dalam organisasi pimpinan HOS. Cokroaminoto itu ia duduk sebagai komisaris.

Warsa 1916, Kiai Asnawi pulang ke tanah air. Dua tahun kemudian, ia bergabung dengan SI Cabang Kudus sebagai penasihat. Aktivitasnya di SI membuatnya ia berkenalan dan berhubungan baik dengan tokoh-tokoh penting seperti HOS. Cokroaminoto, Agus Salim, dan Semaun.

Pada tahun-tahun awal kepulangannya ke Hindia Belanda Kiai, Asnawi dan sejumlah rekannya mendirikan lembaga pendidikan Madrasah Qudsiyyah dan sebuah masjid yang bernama Masjid Menara.

Bermukim lama di luar negeri membuat Kiai Asnawi bersinggungan dengan berbagai corak pemikiran. Selain semangatnya untuk menyebarkan paham ahlussunnah waljamaah, gagasan nasionalisme dan antikolonialisme sangat memengaruhi cara pandangnya. Tidak heran jika dalam banyak kesempatan ia menunjukkan sikap kritis terhadap Pemerintah Belanda.

Sejumlah kritiknya terhadap Pemerintah Belanda membuatnya beberapa kali didenda. Sementara pada zaman Jepang, saat ia diituduh menyembunyikan senjata api, membuatnya diseret ke markas Kempetai di Pati.

Sikapnya yang tak mau kompromi dengan penjajah tampak dalam pandangannya yang mengharamkan sikap meniru atau mengadopsi segala anasir budaya yang berbau kolonial, salah satunya memakai dasi.

Seturut K.H. Syaifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013:512), dirinya sampai panik saat suatu pagi pada tahun 1953 rumahnya kedatangan Kiai Asnawi. Pasalnya sebelum pergi berdinas, seperti umumnya pejabat negara, ia berpakaian formal dan mengenakan dasi.

Infografik Mozaik KHR Asnawi

Infografik Mozaik KHR Asnawi. tirto.id/Ecun

Syaifuddin Zuhri juga ingat betul, dalam Konferensi Besar Ansor NU di Kudus, Kiai Asnawi marah saat tahu di antara peserta yang hadir banyak yang mengenakan dasi. Menurut Kiai Asnawi, dasi adalah atribut kaum penjajah dan menyerupai cara mereka berpakaian hukumnya haram.

Ketika Charles Olke Van Der Plas, pegawai sipil Hindia Belanda yang di kemudian hari menjabat Gubernur Jawa Timur, datang ke rumah Kiai Asnawi dan memintanya menjadi penghulu di Kudus, ia menolak. Menurutnya, menjadi pegawai pemerintah akan membuatnya segan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Kiprah Kiai Asnawi sebagai ulama dan aktivis politik selama tinggal di Makkah membuka matanya tentang pengaruh Wahabisme yang telah sampai di Hindia Belanda. Maka ketika K.H. Abdul Wahab Chasbullah mengundangnya ke Surabaya untuk mendiskusikan masalah tersebut, ia bersedia hadir.

Pertemuan Kiai Asnawi dengan para ulama di Surabaya pada 31 Januari 1926 menandai lahirnya NU. Tak lama kemudian, bersama K.H. Bisri Syansuri, ia menerima mandat untuk menghadap Raja Ibnu Saud di Arab Saudi untuk menyampaikan aspirasi ulama Indonesia agar beragama dengan sistem mazhab diperkenankan.

Karena suatu alasan, kepergian Kiai Asnawi dan K.H. Bisri Syansuri tidak terlaksana. Sebagai gantinya diutuslah Syekh Ahmad Ghanaim al-Mishri dan K.H. Abdul Wahab Chasbullah untuk mengemban tugas tersebut. Perwakilan ulama NU itu kemudian dikenal dengan sebutan Komite Hijaz.

Karya Kiai Asnawi

Selain K.H. Irsyad Kemuding, guru Kiai Asnawi adalah K.H. Saleh Darat, Syekh Mahfuzh al-Turmusi, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, dan Sayyid Umar Syatho’. Nama yang terakhir merupakan saudara Sayyid Abu Bakr Syatho’, penyusun kitab fikih I’anah al-Thalibin yang hingga kini dikaji para santri di pesantren.

Dalam bidang akidah, Kiai Asnawi menulis sebuah karya berjudul Mu’taqad Seket. Karya berbahasa Jawa itu memuat penjelasan tentang 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz bagi Allah. Doktrin akidah ini merujuk pada konsep pemikiran Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Fashalatan, juga dalam bahasa Jawa. Buku ini memuat tata cara salat dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti azan, ikamah, dan wudu. Dalam khazanah pesantren di Jawa, karya ini merupakan pegangan wajib bagi para santri di tingkat dasar.

Hampir semua karyanya ditulis dalam bahasa Jawa pegon, yaitu abjad Arab dengan tambahan tanda tertentu untuk melambangkan bunyi yang tidak ada dalam aksara aslinya. Kiai Asnawi menulis dengan aksara pegon karena mengikuti gurunya, K.H. Saleh Darat, yang tak ingin karya-karyanya mudah diendus pemerintah kolonial.

Baca juga artikel terkait ULAMA atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi