Menuju konten utama

Tiga Ulama Nusantara di Mekah al-Mukaramah

Mereka pernah jadi guru agama yang sangat dihormati dengan gelar Syekh di Mekah.

Tiga Ulama Nusantara di Mekah al-Mukaramah
Masjid kuno Langgar Tinggi yang dibangun sisa keturunan Syekh Junaid al-Batawi di Jakarta. FOTO/Istimewa

tirto.id - “Nama Betawi baru populer pada abad ke-19, ketika guru Syekh Junaid al-Batawi, mengajar di Masjidil Haram,” tulis Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).

Tak banyak data lain tentang Syekh Junaid Al-Batawi. Di terlahir di Pekojan dan meninggal pada 1840 saat usianya sudah mencapai lebih dari 100 tahun. Demikian yang dicatat Hamdan Rasyid dalam bukunya K.H. Achmad Mursyidi: Ulama, Pejuang, dan Politisi Dari Betawi (2003).

Menurut Alwi Shahab, Sejak usia 25 tahun dia beserta keluarganya mulai menetap di Mekah. Di masa itu, Junaid al-Batawi tak kalah sohor ketimbang Habib Kwitang. Beberapa keturunannya, seperti Guru Marzuki, dikenal sebagai salah satu guru dari Kiai Haji Abdullah Syafiie. Keturunan lainnya adalah Habib Usman bin Yahya, pengarang Kitab Sifat 20. Ibu dari Habib Usman ialah salah satu putri dari Syekh Batawi.

Tak jauh dari tanah Betawi, di Banten pernah lahir pula ulama Indonesia yang dipandang secara terhormat di Arab, yakni Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Seluk-beluk l-Bantani lebih mudah dicari. Salah satu kerabatnya, Kiai Haji Maruf Amin, adalah Ketua dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kisah Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani dibicarakan dalam buku Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani karya Samsul Munir Amin.

“Pada 1230 H, bertepatan dengan 1814 M, di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara (Serang), lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Nawawi,” tulis Samsul Munir Amin. Menurut Amin, Nawawi masih keturunan Sultan Banten pertama, Maulana Hasanuddin.

Karena terlahir di Banten itulah Nawawi punya nama al-Bantani. Sekaligus utuk membedakannya dengan Imam Nawawi, seorang ulama dan penulis yang produktif. Jika dirunut lagi, menurut Samsul Amin, Nawawi al-Bantani tergolong habib alias keturunan Nabi Muhammad SAW.

Nawawi, yang lahir dalam keluarga Islam yang taat itu, sejak kecil sudah dibimbing oleh ayahnya, Kiai Umar. Dia diajari soal dasar-dasar Islam dan bahasa Arab. Setelah berusia sekitar 8 tahun, dia dan saudaranya dikirim belajar kepada Haji Sahal, salah seorang guru agama di Banten. Setelah Haji Sahal, dia berguru lagi pada Raden Haji Yusuf alias Syekh Baing Yusuf, yang menjadi penghulu di Karawang dan dikenal di Purwakarta juga. Baing Yusuf adalah salah seorang guru yang menarik perhatian ahli Islam Belanda, Snouck Horgronje.

Dalam buku Samsul Munir Amin yang lain, Karomah Para Kiai (2008), Nawawi disebut pergi haji pada 1830. Ketika itu usianya sektiar 15 atau 16 tahun. “Selama 30 tahun (1830-1860) Nawawi pun belajar pada Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sambulawesi, Nahrawi, dan Abdul Gani Daghestani di Mekah,” tulis Halwany Michrob dan kawan kawan dalam Catatan Masalalu Banten (1993).

Setelah berguru ke sana-sini, dia pun dianggap matang.

“Dengan bekal ilmu pengetahuan yang sudah di perolehnya, maka pada tahun 1860 M, Syekh Nawawi mulai aktif mengajar setiap hari di Masjid Al- Haram,” tulis ʻAbdul ʻAziz Masyhuri dan Zainal Arifin Thoha dalam 99 Kiai Kharismatik Indonesia Volume 1 (2008).

Nawawi juga produktif menulis. Dia telah menulis sekitar 115 kitab. Menurut As'ad Said Ali dalam Pergolakan di Jantung Tradisi: NU Yang Saya Amati (2008), dia dikenal sebagai sebagai penulis kitab Nihdyah al-Zain dan Tafsir al-Munir.

Murid penting Nawawi al-Bantani yang berasal dari Banten dan peduli dengan Banten antara lain Kiai Haji Tubagus Ismail dan Haji Wasid. Sejarawan Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (1984) mencatat dua nama murid Syekh Nawawi al-Bantani itu. Sekitar tanggal 8 Juli 1888, “malam harinya barisan orang-orang yang terus bertambah besar, bersenjata golok dan tombak dan dipimpin Haji Wasid dan Kiai Haji Tubagus Ismail, bergerak dari Cibeber ke Saneja.” Demikian nukilan buku Sartono.

Pemberontakan yang menewaskan orang-orang Belanda yang dicap kafir itu dikenal sebagai Pemberontakan Petani Banten yang dipimpin oleh para haji dan kiai. Beberapa tahun setelah pemberontakan yang dipimpin oleh murid-muridnya itu, pada 1897 Nawawi al-Bantani tutup usia di Mekah.

Dari Sumatera Barat, ada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama yang juga mengajar di Mekah. Ulama kelahiran Agam, Sumatra Barat tahun 1860 ini, punya latar belakang pendidikan agak unik dibanding kebanyakan ulama di zamannya. Khatib pernah belajar di sekolah gaya Belanda yang kerap dianggap kafir oleh banyak orang Islam di zaman kolonial.

Dalam buku Cahaya dan Perajut Persatuan: Waliullah Ahmad Khatib al-Minangkabawy (2001) dan Ahmad Khatib, Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini (1983), dia belajar di Sekolah Raja alias Kweekschool (Sekolah Guru) di Fort de Kock (Bukittinggi). Ia berangkat ke Mekah sekitar tahun 1871 saat berumur 11 tahun.

Menurut Buya Hamka dalam bukunya Ayahku (2015), Khatib ke Mekah atas ajakan ayah Hamka: Abdullatif. ”Hanya sekali beliau pulang ke Indonesia untuk beberapa bulan saja, sesudah itu beliau kembali ke Mekah dan menetap di sana, belajar agama bersungguh-sungguh sampai berhasil niatnya menjadi ulama besar yang masyur namanya ke mana-mana.”

Menurut cerita Hamka pula, kedudukannya dalam masyarakat Mekah cukup tinggi. Setelah 10 tahun tinggal di Mekah, “karena baik budi dan luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan Mekah bernama Syekh Shaleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama.” Mazhab Khatib dan saudagar itu sama-sama Syafi'i. Saudagar asal Kurdi itu juga menikahkan putrinya, Khadijah dengan Khatib. Mertuanya ini membuatnya makin dipandang banyak orang.

Infografik tiga syekh dari hindia belanda

Dalam buku Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau (2002) karya Mochtar Naim dan kawan-kawan, "Syeikh yang alim ini banyak mencetak ulama-ulama yang ternama seperti Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin (1869-1956).”

Di antara murid-murid Khatib di Mekah, yang kesohor adalah Hasyim Asyhari dan Ahmad Dahlan. Keduanya adalah pendiri dari dua ormas Islam besar dan berpengaruh di Indonesia hingga kini. Hasyim mendirikan Nahdatul Ulama (NU) pada 1926 dan Dahlan adalah pendiri dari Muhammadiyah pada 1912. Meski dua ormas ini sering dianggap berseberangan, kedua pendirinya toh ternyata berguru pada guru yang sama juga.

Selain Ahmad Khatib dari Minang, Nawawi dari Banten, dan Junaid dari Betawi, menurut situsweb NU, nama lain yang pernah mengajar di Masjidil Haram adalah Syekh Mahfuzh Al-Turmusi asal Tremas Pacitan, Syekh Muhtaram asal Banyumas, Syekh Bakir asal Banyumas, Syekh Asyari asal Bawean, dan Syekh Abdul Hamid asal Kudus.

Mengajar di Mekah membuat mereka menjadi guru dari banyak orang Islam dari berbagai penjuru dunia.

Baca juga artikel terkait ULAMA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani