Menuju konten utama

Respons KKP soal Demo Nelayan Tolak Pasang VMS di Kapal

Para nelayan berunjuk rasa menolak aturan dari KKP yang mengharuskan adanya penggunaan VMS atau perangkat pemantau berbasis sinyal di kapal-kapalnya.

Respons KKP soal Demo Nelayan Tolak Pasang VMS di Kapal
kantor kementerian kelautan dan perikanan (kkp). tirto/andrey gromico

tirto.id - Para nelayan berunjuk rasa menolak aturan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengharuskan adanya penggunaan Vessel Monitoring System (VMS) atau perangkat pemantau berbasis sinyal di kapal-kapalnya.

Harga VMS yang mahal menjadi persoalan bagi mereka, sehingga melakukan aksi protes itu. Hal ini lantaran akan menambah beban operasional para nelayan.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono, menyatakan pemerintah sudah memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM).

“Pemerintah itu sudah memberikan subsidi BBM. Setiap kapal melaut, itu kami subsidi BBM-nya, dan tidak murah,” kata Pung di Kantor KKP, Jakarta, Rabu (16/4/2025).

Pung menuturkan dalam satu kali perjalanan melaut yang bisa berlangsung hingga sebulan, per kapal dapat menerima subsidi BBM mencapai Rp20 juta.

“Itu baru satu trip. Kapal bisa melaut berkali-kali dalam setahun. Artinya, nilai subsidi BBM itu jauh lebih besar dibanding biaya untuk pasang VMS,” ucap Pung.

Pung menjelaskan bahwa harga perangkat VMS hanya berkisar senilai Rp5 hingga Rp9,99 juta, ditambah biaya airtime atau langganan sinyal tahunan sebesar Rp4,5 juta.

Dengan begitu, nelayan hanya akan mengeluarkan biaya Rp10 juta dalam setahun apabila memasang perangkat VMS termurah, sehingga mereka hanya perlu tinggal membayar biaya airtime di tahun berikutnya.

Sementara subsidi BBM yang diberikan pemerintah untuk satu kali melaut bisa mencapai Rp20 juta per kapal, bahkan lebih.

“Kapal bisa melaut berkali-kali dalam setahun. Artinya, nilai subsidi BBM itu jauh lebih besar dibanding biaya untuk pasang VMS.

Dia pun menjelaskan urgensi pemasangan VMS tersebut. Alasannya yakni VMS penting untuk melacak posisi kapal di laut. Selain itu, VMS juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada kapal.

Sebetulnya, kebijakan kewajiban pemasangan VMS itu sempat tertunda lantaran pihaknya menerima respons para nelayan yang merasa belum siap untuk menerapkan kewajiban itu.

“Dahulu 2023 minta relaksasi ke 2024. Sekarang minta lagi ke 2025. Alasannya 'Pak, kami belum siap. Saya nggak mampu.' Tapi coba bayangkan, seandainya mereka nabung Rp500 ribu sebulan dari dulu, pasti sudah bisa beli. Ini cuma karena tidak mau saja. Tidak mau terawasi,” jelasnya.

Pung pun menegaskan bahwa aturan itu tak berlaku untuk nelayan kecil, terutama mereka yang memiliki kapal berukuran di bawah 5 GT.

“Kewajiban dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil, ini yang perlu digaris bawahi, karena di lapangan digoreng, ‘wah nelayan kecil harus pakai’. Kami mengecualikan, nelayan kecil tidak wajib dalam hal ini,” jelasnya.

Dia menjelaskan kewajiban pemasangan VMS itu hanya diberlakukan bagi nelayan dengan kapal berukuran di bawah 30 GT, tentunya yang sudah memiliki izin migrasi penangkapan ikan dari wilayah kewenangan daerah ke pusat.

Pung menuturkan, aturan VMS hanya berlaku untuk kapal berukuran di bawah 30 GT yang sudah mengantongi izin migrasi penangkapan ikan dari wilayah kewenangan daerah ke pusat.

“Jadi pada kapal-kapal perikanan, khususnya kapal-kapal yang ukuran di bawah 30 GT (harus memasang VMS),” kata Pung.

Dia mengatakan terdapat 5.190 kapal nelayan yang mengantongi izin migrasi dari daerah ke pusat. Artinya, nelayan tersebut dapat menangkap ikan di atas 12 mil laut, sehingga perlu dipantau ketat.

“Saat ini dari 13.313 kapal perikanan yang memiliki izin operasi penangkap ikan, yang izin pusat tercatat 8.893 kapal telah memasang VMS. Jadi, masih ada 4.425 kapal yang belum memasang VMS di mana mereka sudah berizin pusat,” tutup Pong.

Baca juga artikel terkait KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama