tirto.id - Teror itu terjadi tak kurang dari dua menit.
Sebuah Hyundai melaju dengan kecepatan kurang lebih 50 mil per jam di Jembatan Westminster, London. Tepat pukul 14.40 siang, mobil itu mulai masuk jalur pejalan kaki dan menabraki sekitar 50 orang, sebelum menabrakan diri ke pagar Gedung Parlemen Inggris. Sang pengemudi kemudian keluar dari mobilnya, terlibat percekcokan dengan seorang polisi tak bersenjata yang kemudian ditikamnya hingga tewas. Tak lama ia juga roboh diterkam peluru panas dari polisi lain. Empat di antara 50 pejalan kaki itu juga tewas.
82 detik. Teror di Rabu siang itu cuma perlu 82 detik untuk menggegerkan dunia.
Kabar ini viral seketika itu juga. Nama Khalid Masood, sang pelaku, pun tersebar cepat. Negara Islam alias Islamic State alias ISIS mengklaim kalau serangan itu adalah bagian dari bentuk teror mereka. Tapi pihak intelijen Inggris tak mau menerima bulat-bulat informasi tersebut, dan memilih melakukan investigasi lebih lanjut. Walau mereka sendiri hampir yakin kalau alasan yang mereka cari juga pergi dibawa Masood mati.
Namun, entah pernyataan itu kelak terbukti atau tidak, sebagaimana peristiwa lain yang diakui ISIS, serangan di siang bolong ini juga pasti akan berdampak pada nama Islam. Sejak Al-Qaeda dan ISIS mengatasnamakan Islam sebagai dasar agendanya melakukan teror, akan selalu ada orang yang mengaitkan sifat beringas para teroris ini pada Islam.
Hal itu mengusik hati Heraa Hashmi, seorang mahasiswa Muslim dari Universitas Colorado. Ia tak setuju kalau para teroris itu disama-samakan dengan Muslim lainnya—seolah-olah perilaku bengis mereka jadi tampang Islam. “Aku tak melihat KKK (Ku Klux Klan, kelompok rasis supremasi putih di Amerika) atau Gereja Baptis Westboro atau Tentara Perlawanan Tuhan sebagai representasi Kekristenan. Aku tahu mereka bagian pinggir. Jadi, sangat frustrasi sekali harus membela diri dan meminta maaf atas nama orang-orang gila,” ungkap Hashmi.
Istilah “Teroris Tak Punya Agama” memang semakin gencar digaungkan. Agar menghindarkan stereotip-stereotip negatif pada pemeluk agama tertentu yang akhirnya mendapat tekanan dari masyarakat sekitar. Tapi menurut Hashmi propaganda menyebar omongan begitu saja tak cukup. Orang-orang selain Islam—terutama mereka yang mendiskriminasi—harus tahu benar-benar kalau para teroris itu berbeda dengan Muslim.
Kegelisahan Hashmi ini memuncak ketika dalam sebuah diskusi di kelas sejarahnya, seorang kawan mengeluarkan perkataan yang membuatnya bingung: “Tak semua Muslim teroris, tapi semua teroris adalah Muslim,” kata si kawan.
Bagi Hashmi kalimat itu adalah bukti bahwa kebanyakan orang masih tak tahu kalau Muslim juga mengecam terorisme. Pernyataan itu sekaligus pembenaran kalau orang-orang masih belum bisa memisahkan perilaku antara terorisme dan Islam.
Menggunakan Google spreadsheets, Hashmi akhirnya membuat 712 halaman daftar Muslim yang megutuk terorisme lengkap dengan sumbernya. Daftar itu lalu disebarkannya dalam kicauan yang di-retweet lebih dari 15 ribu kali dalam waktu kurang dari sehari. Daftar itu termasuk tindak kekerasan domestik hingga tragedi 9/11.
“Aku mau menunjukkan pada orang-orang betapa lemahnya argumen [Muslim tak peduli pada terorisme] itu,” katanya pada The Guardian.
Saking cepatnya kicauan Hashmi populer, beberapa pengikutnya di Twitter malah sukarela membantunya membikinkan sebuah situs sebagai alamat laporan-laporan tersebut. Semua laporan itu bisa dilihat di alamat muslimscondemn.com. Hingga kini, laporan yang dirangkum Hashmi telah berjumlah lebih dari 5 ribu entri, dan datang dari seluruh dunia, termasuk kecaman terhadap serangan yang dilakukan Khalid Masood.
Kampanye Hashmi ini adalah bagian dari upaya melepas stereotip agama pada perilaku terorisme. Terutama Islam yang jadi minoritas di dunia Barat. Standar ganda yang berlaku pada Islam benar-benar harus dilepas, sebab dampak dari stigma tersebut bukan lagi hitungan sepele. Dari laporan Human Rights Watch (HRW), ketakutan negara-negara Barat pada Islam—yang biasa disebut Islamofobia—makin parah pada 2016. Korban langsung dari ketakutan fanatik itu adalah para imgiran dan refugees (orang-orang yang melarikan diri dari negaranya karena perang dan krisis). Menurut Kenneth Roth, Direktur Eksekutif HRW, keengganan negara-negara Eropa menampung para pelarian ini disebabkan oleh Islamofobia yang akhirnya membuat krisis politik.
“Ada kebutuhan yang mendesak untuk melawan Islamofobia ini,” katanya pada VOA. Menurut Roth, ada konsepsi salah yang dikembangkan Eropa tentang kemurnian etnis mereka, yang menyebabkan ketakutan pada orang-orang Islam.
Selain tanda perang terhadap stigma dan stereotip, bagi Muslim sendiri, kampanye Hashmi juga bisa jadi alat deradikalisasi—proses meruntuhkan suatu paham radikal (dalam hal ini adalah bagaimana agama Islam dilekatkan dengan terorirsme). Muslim-muslim yang masih kebingungan dan berada di zona abu-abu, setidaknya bisa tercerahkan dengan jumlah laporan di muslimscondemn.com: bahwa yang memilih jadi Muslim dan mencekam terorisme yang mengatasnamakan Islam tidak sedikit jumlahnya.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti