tirto.id - Seorang waria berambut oranye-menyala duduk dalam kereta sambil mengecek ponselnya. Wajahnya penuh riasan, lengkap dengan pakaian biru muda terang. Di sebelahnya duduk seorang wanita memakai niqab hitam, sambil mendekap tas hitamnya juga. Sulit mengenali wanita ini karena hanya sepasang mata dan kedua punggung tangannya yang tak tertutupi kain.
Sekilas tak ada yang aneh dari keduanya. Di abad ini, pemandangan serupa tak jarang terlihat di kota-kota besar. Namun, pada 1 Maret lalu, foto kedua wanita itu viral karena sebuah akun Twitter politik sayap kanan AS @polNewsNetwork1, mengunggah foto tersebut dengan sindiran. Katanya: "Inilah masa depan yang diinginkan orang-orang liberal."
Akun itu memang dikenal dengan cuitan-cuitan yang mendukung pemerintahan Presiden Donald Trump. Tak jarang, akun itu juga mengejek orang-orang kiri seperti feminis, pembela HAM, LGBT, dan orang-orang Demokrat. Sebaliknya, akun ini selalu memuji orang-orang konservatif, termasuk golongan Alt-Right, pendukung 'pemurnian ras’ di AS.
Cuitan foto itu viral dan dijadikan bahan ledekan. Media sosial dibanjiri meme yang mengutip “Ini masa depan yang diinginkan orang-orang liberal” ditambal foto-foto berbeda. Ada foto Power Ranger, perempuan-perempuan bugil, Care Bears, Paus cilik, centaurus, hantu, hewan-hewan lucu, dan kejenakaan lainnya.
Menurut Ian Crouch, Produser The New Yorkerdalam kolomnya berjudul “'This Is the Future That Liberals Want' is The Joke That Liberals Need”, banjir reaksi yang terjadi di media sosial adalah hal wajar, bahkan kelewat wajar untuk jadi bahan lelucon bagi orang-orang liberal sendiri. Sebab, tak ada yang salah dari gambar tersebut. Malah kedua sosok berbeda latar belakang itu adalah simbol toleransi yang masih diperjuangkan orang-orang progresif.
Biarpun begitu, Crouch juga mengimbau orang-orang liberal untuk tak lengah. Sebab, kicauan itu juga sebuah pertanda kalau sikap tak toleran itu masih ada.
Ketakutan Fanatik pada Islam dan Orang-orang Trans
Dua sosok berbeda latar belakang dalam foto tersebut sesungguhnya adalah dua golongan minoritas yang penderitaannya relatif jadi sorotan sepanjang 2016 lalu. Wanita berniqab melambangkan orang-orang Islam, sementara sang wadam yang diketahui bernama Gilda Wabbit itu melambangkan orang-orang LGBT.
Dari laporan Human Rights Watch (HRW), ketakutan negara-negara Barat pada Islam—yang biasa disebut Islamofobia—makin parah pada 2016. Korban langsung dari ketakutan fanatik itu adalah para imgiran dan refugees (orang-orang yang melarikan diri dari negaranya karena perang dan krisis). Menurut Kenneth Roth, Direktur Eksekutif HRW, keengganan negara-negara Eropa menampung para pelarian ini disebabkan oleh Islamofobia yang akhirnya membuat krisis politik.
“Ada kebutuhan yang mendesak untuk melawan Islamofobia ini,” katanya pada VOA. Menurut Roth, ada konsepsi salah yang dikembangkan Eropa tentang kemurnian etnis mereka, yang menyebabkan ketakutan pada orang-orang Islam.
Islamofobia di Eropa memang bukan barang lama. Namun, gejala kebencian ini semakin meningkat dalam dua dekade terakhir. Salah satu faktor yang membuatnya meningkat adalah tindakan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Misalnya, tragedi penembakan oleh anggota gerakan ekstremis di kantor Tabloid Charile Hebdo di Prancis.
Berdasarkan Eropean Islamophobia Report (EIR), yang menghimpun jejak Islamofobia di 25 negara di Uni Eropa sejak 2015, sentimen anti-muslim di Perancis naik 500 persen setelah tragedi tersebut. Korbannya, 75 persen adalah perempuan sebab jilbab mereka, sementara lelaki tidak terlalu banyak. Bahkan Agustus 2016 lalu, seorang wanita berhijab dipaksa melepaskan tunik burkininya oleh polisi saat sedang bersantai di pantai umum. Alasannya, karena burkini dianggap tak sesuai dengan sekularisme Prancis dan dianggap mengancam ketertiban umum.
Di AS sendiri, tragedi Gedung Kembar WTC pada 11 September 2001 (911) dinilai sebagai salah satu pemicu meningkatnya Islamofobia di negeri Paman Sam itu. Menurut poling Gallup, pasca-911, sebanyak 52 persen warga Amerika bilang bangsa Barat tidak respek pada Muslim. Sementara di Kanada, ada 48 persen yang bilang bangsa Barat tidak respek pada Muslim. Angka itu diikuti Inggris (38 persen), Jerman (34 persen), Prancis (30 persen), dan Italia (28 persen).
Akibat tragedi 911 itu pula jumlah serangan anti-Islam juga melonjak naik hingga 93 kasus pada 2001, menurut catatan Federal Bureau of Investigation (FBI). Sepanjang sejarah AS, serangan anti-Islam paling tinggi memang terjadi pasca-teror yang dilakukan Al-Qaeda tersebut. Setelah itu, angkanya sempat surut, rata-rata di angka 50-an kasus. Namun pada 2015, pasca-tragedi Charlie Hebdo, angkanya kembali melonjak hampir menyamai tahun 2001, yakni total 91 kasus.
Menurut laporan Council on American-Islamic Relation (CAIR), sebuah organisasi advokasi Muslim, pada 2016 Islamofobia warga Amerika Serikat semakin meningkat. Penyebabnya, kampanye anti-Muslim Donald Trump, yang waktu itu masih calon presiden. Bahkan ketika sudah dilantik jadi Presiden, Trump membuat kebijakan larangan perjalanan ke AS untuk 7 negara mayoritas penduduk Islam. Meski, akhirnya digagalkan oleh pengadilan, aturan itu sempat membuat tensi anti-muslim semakin marak.
Nasib kelompok LGBT bahkan lebih parah. Muslim banyak ditindas di negara Barat, sedangkan kelompok LGBT didiskriminasi di hampir seluruh dunia.
Berdasarkan data yang dihimpun Daysagaintshomophobia.org, 79 persen transgender di Eropa mengalami kekerasan; baik fisik, ujaran kebencian, pelecehan seksual, bahkan ancaman dibunuh. Di AS pada 2011, 90 persen transgender mengalami kekerasan, perlakuan tidak menyenangkan, dan diskriminasi di tempat kerja sehingga harus menyembunyikan jati dirinya. Sebanyak 87 persen murid sekolah di AS dirisak karena ekspresi gendernya.
Sementara transgender di seluruh wilayah dunia kepayahan mencari kerja. Tingkat transgender pengangguran mencapai 3 hingga 4 kali lebih tinggi dari pada populasi lain. Semua disebabkan karena stigma-stigma yang dilekatkan pada para transgender. Di Indonesia sendiri menurut laporan HRW, transwanita kepayahan mencari pekerjaan sebab stigma. Pilihan pekerjaannya antara jadi pengamen, pegawai salon, atau pekerja seks komersil.
Tak hanya kepayahan melangsungkan hidupnya karena lapangan pekerjaan yang terbatas, kebencian pada orang-orang trans—yang biasa disebut transfobia—bahkan tak jarang mengancam nyawa mereka secara langsung. Kebencian-kebencian akut pada orang-orang trans bahkan membuat sebagian orang tak segan-segan membunuh mereka.
Menurut catatan Transrespect, sejak 2008 hingga April 2016, total ada 2115 pembunuhan transgender di 65 negara. Tertinggi di Amerika Tengah dan Selatan, yakni sebanyak 1.654 atau sebesar 78 persen.
Tak cuma ancaman nyawa, perilaku tak adil juga lain juga sering ditemukan. Misalnya tidak diusutnya kasus pembunuhan mereka. Catatan Daysagaintshomophobia.org menyebut antara 2005 hingga 2012 setidaknya ada 60 transgender dibunuh di Colombia. Tak satu pun yang dibawa ke pengadilan.
Kejadian-kejadian serupa belum lagi ditambah dengan aturan-aturan diskriminatif yang dibuat sejumlah negara. Semisal Indonesia, Malaysia, negara-negara Timur Tengah, bahkan AS.
Lalu, apakah dunia yang berisi seorang waria duduk berdampingan seorang berniqab dalam kereta itu menyeramkan? Bukankah dunia yang berisi ribuan transgender dibunuh dan orang-orang Islam yang lari menyelamatkan diri dari perang itulah horor sebenar-benarnya?
Ian Crouch benar. Waria bersebelahan dengan wanita berniqab memang gambaran yang dicita-citakan kaum liberal. Tak ada yang salah dengan cuitan @polNewsNetwork1.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani