tirto.id - Ningsih (54), satu dari sekian banyak transpuan yang mengadu nasibnya di Yogyakarta. Setiap pagi, Ningsih beserta Endang dan beberapa transpuan lainnya mengamen di sekitar Jalan Solo (Adisucipto), Yogyakarta.
“Biasanya dua jam (mengamen) mulai dari jam 06.15 sampai jam 08.00, kalau yang silver-silver masuk kita pulang,” kata Endang rekan satu kos Ningsih yang ditemui Tirto, Minggu (10/10/2021).
Matahari sudah makin meninggi. Ningsih, Endang, dan Erni, berjalan menyusuri pedestrian menuju arah timur di Jalan Adisucipto. Hari itu Endang hanya merias tipis wajahnya dan mengenakan daster dengan motif kulit macan. “Tadi habis subuhan ketiduran lagi, jadi rias seadanya saja,” ujarnya.
Sekitar sepuluh menit mengamen, Ningsih dkk melihat “manusia silver” mendatangi lokasi yang sama. Tiba-tiba Endang mengajak kami untuk meninggalkan lokasi. “Daripada ribut-ribut,” ujarnya.
Endang baru mendapat uang Rp20.000 ketika harus meninggalkan lokasi itu. Selain pengamen lain yang juga mengais rejeki dari jalan, tantangan terbesar mereka juga Satpol PP yang tak segan-segan menangkap mereka jika kedapatan tengah mengamen.
Namun, saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia, puncaknya pada awal 2021, keduanya sempat kesulitan memenuhi kebutuhan harian. “PPKM benar-benar off enggak ngamen sama sekali. Ada 2,5 bulan enggak ngamen sama sekali,” tambahnya.
Sebab biasanya uang yang mereka dapat dari hasil ngamen akan digunakan untuk makan dan selebihnya membayar kos.
Endang berkisah bahwa saat awal pandemi ia menggantungkan hidup pada donator dan teman-teman. Kamar kos yang berukuran 3x3 meter juga ia gunakan untuk membuat makanan bagi teman-teman transpuan lainnya.
“Ya menunggu bantuan saja, lebih baik kita ke dapur umum membantu masak, anak-anak yang makan di sini. Nanti kalau ada teman yang datang dari Maguwo (lokasi kost transpuan lainnya di Jogja) makan di sini. Ada bantuan kita masak,” kata Endang.
11 Transpuan Meninggal
Rully Mallay atau Mami Rully sapaan lainnya, seorang transpuan yang aktif di Rumah Singgah Yayasan Kebaya Yogyakarta berkisah, setidaknya ada 11 transpuan yang meninggal akibat pandemi COVID-19.
“Di fase pandemi itu ada 11 kawan-kawan meninggal. Tetapi, yang memprihatinkan mereka meninggalnya bukan terpapar COVID-19, tapi karena kesulitan akses ekonomi itu lebih dominan,” tutur Mami Rully saat ditemui di Rumah Singgah Yayasan Kebaya Yogyakarta, Sabtu (2/10/2021).
Mami Rully mengisahkan saat pandemi COVID-19 melanda, teman-teman transpuan membutuhkan perjuangan lebih untuk sekadar bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan harian.
“Pada saat itu situasinya darurat. Anak-anak (transpuan) tak bisa bekerja, tak punya uang, tak punya beras. Ya udah terpaksa di komunitas kami membuat dapur,” katanya.
Lantaran kondisi yang semakin memburuk, Mami Rully menuturkan, akhirnya mereka menggalang dana dari donator di luar komunitas untuk membantu kebutuhan transpuan dan kelompok marjinal lainnya.
Saat amunisi sudah mulai tersedia, masalah lain justru datang. Mami Rully bersama relawan kesulitan mengantar bantuan, sebab beberapa kampung dijaga ketat dan tak mengizinkan mereka untuk masuk.
“Selama tiga bulan itu amunisi kita teratasi, tetapi kita sulit untuk mendistribusikannya. Sebab, semua tempat dijaga,” katanya.
Respons Dinsos DIY soal Transpuan Terdampak Pandemi
Kepala Dinas Sosial DIY, Endang Patmintarsih dengan tegas membantah pemberitaan kala itu yang menyebutkan 11 transpuan meninggal karena terdampak pandemi COVID-19.
“Saya malam-malam dapat laporan, ada 11 (transpuan meninggal) tidak benar karena tidak bisa makan. Hanya 1 yang meninggal karena AIDS,” kata Endang saat dihubungi tim kolaborasi liputan (Tirto, Tribun Jogja dan Lensa44.com) melalui sambungan telepon, Kamis (11/11/2021).
Endang juga mengatakan selama pandemi Dinsos sudah menyalurkan bantuan pada 10 transpuan lewat Ponpres Al-Fatah. Endang menegaskan sering kali pihaknya kesulitan untuk memberikan bantuan karena minimnya data dari transpuan yang ada di Jogja.
“Kita kesulitan data. Mereka didata saja enggak mau,” imbuhnya.
Jenny, salah satu relawan di Kebaya menuturkan bahwa memang banyak teman-teman transpuan yang belum memiliki data kependudukan hingga sulit untuk mengakses bantuan termasuk mendapatkan vaksin. “Pada saat pandemi awal sampai saat validasi pendataan bantuan (bantuan swadaya bukan dari Dinsos) itu tinggal 183, karena banyak ada yang pergi dan pulang,” katanya, Minggu (31/10/2021).
“183 itu belum sama yang meninggal 11, jadi 172 itu teman-teman transpuan yang terdata di DIY,” tambahnya.
Jenny maupun Mami Rully mengisahkan bahwa memang benar ada 11 orang transpuan yang meninggal dan bukan hanya 1 orang. “Situasi itu karena penyakit-penyakit penyerta seperti komorbid yang melanda banyak ke kawan-kawan,” katanya.
“Ini terjadi, masyarakat sekitar tidak begitu aware dengan kondisi teman-teman waria, karena di sana juga masih menyisakan problem-problem stigma pada mereka,” katanya, Minggu (31/10/2021).
Masalah lain yang dikritisi oleh Gama adalah peran pemerintah, terutama pemerintah daerah yang masih tebang pilih soal pemberian bantuan.
“Ini belum terlihat secara jelas, pandemi membuka ruang primordialisme di mana pemerintah daerah mengedepankan KTP asal, seolah warga negara yang diakui pemda DIY hanya warga Jogja yang diurusi. Sementara kita sadar bahwa yang tinggal di DIY tidak semua punya KTP Jogja,” ujarnya.
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Maya Saputri