Menuju konten utama

Upaya Para Transpuan di Jogja Dekatkan Diri ke Tuhan saat Ramadan

Shinta berharap keberadaan Pesantren Al Fatah dan kegiatan keagamaan selama Ramadan, para transpuan semakin bisa diterima di tengah masyarakat.

Upaya Para Transpuan di Jogja Dekatkan Diri ke Tuhan saat Ramadan
Suasana pengajian bersama guru agama sukarelawan di Pondok Pesantren Al Fatah. tirto.id/Irfan Amin

tirto.id - Di tengah rintik hujan terdengar suara ramai sekelompok orang mengeja huruf hijaiyah atau huruf Arab secara perlahan. Suara tersebut terdengar berirama dan semuanya kompak terbata-bata. Menjadi petunjuk bahwa pembacanya masih level pemula dalam mengenal bacaan Alquran.

Ada yang unik dari pembelajar tersebut. Mereka adalah transpuan atau sering disebut dengan waria yang menjadi santri di Pondok Pesantren Al Fatah, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Keunikan tidak hanya ada pada para santrinya, tapi juga lokasi yang sedemikian terhimpit di antara perumahan dan harus melewati gang sempit untuk bisa mengaksesnya. Hanya pejalan kaki dan kendaraan roda dua yang bisa masuk. Akses mobil harus parkir di lokasi yang berjarak ratusan meter dari pesantren.

Bila melihat kondisi jalur akses akan terbayang betapa sempitnya area Pondok Pesantren Al Fatah. Namun sebaliknya, kondisi pondok cukup luas dengan adanya pendopo di tengah area dan sejumlah kamar diperuntukkan bagi para santri yang menghuni pondok.

Di dalam pondok pesantren, para santri belajar dengan mengenakan aneka ragam pakaian, ada yang bersarung, bercelana hingga mengenakan mukena. Perbedaan cara berpakaian bukan menjadi masalah, hal itu terlihat para waria nampak semangat dalam belajar agama. Mereka nampak nyaman tanpa kendala.

Di balik para santri ada guru yang menyimak sedari awal proses belajar dengan sabar. Tak jarang sang guru mengoreksi beberapa bacaan, sembari memberi motivasi agar santrinya tidak patah semangat. Meskipun melakukan kesalahan dalam belajar hingga berulang kali.

“Ayo diingat lagi ini bacaannya apa, kemarin sudah lancar kok sekarang masih macet-macet bacanya," kata seorang guru yang secara sukarela mengajar di Pondok Pesantren Al Fatah tersebut.

Demikianlah dinamika para waria saat Ramadan tiba. Sedari sore sambil menunggu takjil, mereka khidmat belajar mengaji Alquran. Pimpinan Pondok Pesantren Al Fatah, Shinta Ratri (61) mengatakan, para waria yang menjadi santrinya ingin belajar agama dengan sungguh-sungguh. Tak ingin kalah dengan mereka yang memiliki akses belajar di Tempat Pendidikan Alquran.

“Mereka sebenarnya ingin belajar di masjid atau ikut kajian dengan ustaz bersama masyarakat lain. Namun masalahnya siapa yang mau menerima mereka?" kata Shinta kepada reporter Tirto, Minggu, 24 April 2022.

Meski terhitung yang hadir saat itu hanya belasan orang, namun jumlah santri di pondok tersebut mencapai 60 orang yang saat ini tersebar di penjuru Jogja.

“Jumlah kami 60 orang ini nanti masing-masing akan kami bagikan parsel lebaran berisikan sirup, gula, teh dan beberapa kebutuhan pokok lain kepada mereka,” kata Shinta.

Shinta mengungkapkan pengajar sukarela yang saat itu hadir adalah Mohammad Nur Islami yang merupakan dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. “Beliau menggantikan ustaz lainnya yang saat ini sudah pulang mudik," terangnya.

Shinta juga mengatakan pondoknya telah membuat jadwal rutin pengajian agama selama Ramadan. “Kami rutin membuat kajian Rabu dan Minggu karena di hari lain para waria punya kesibukan masing-masing," ujarnya.

Selain mengaji, para transpuan juga menggelar buka bersama diisi dengan obrolan-obrolan ringan mengenai keseharian mereka.

“Selain mengaji para waria juga punya jadwal arisan, dengan membayar setiap harinya Rp100 ribu," imbuhnya.

Keunikan lain dari pondok pesantren waria ini adalah mereka memiliki agenda filantropis dengan berbagi kepada lingkungan sekitar. Salah satunya adalah sembako lebaran yang juga diperuntukkan kepada tetangga mereka yang bersebelahan.

“Meski kami terhitung jarang mendapat bantuan secara materi dari tetangga pondok, namun kami tetap berbagi. Bahkan saat pandemi COVID-19 melanda, kami juga membagikan sejumlah bantuan dari donatur yang diperuntukkan bagi kami namun juga disebar bagi tetangga," kisahnya.

PPT Waria Jogja

Shinta (tengah) bersama kedua santri warianya yang belajar membaca Al Qur'an. tirto.id/Irfan Amin

Pernah Digerebek Ormas

Cerita tentang Ramadan menguak memoar Shinta saat pesantren yang dia asuh mengalami penggerebekan oleh ormas keagamaan yang menamakan diri sebagai Front Jihad Islam (FJI) pimpinan Abdurrahman pada 2016. Mereka meminta agar pesantren ditutup penuh.

Butuh waktu berbulan-bulan agar Shinta dan para waria yang telah menyebar untuk bisa kembali berkumpul dan berani belajar agama lagi.

"Kami butuh waktu 4 bulan agar berani berkumpul kembali, dan saat itu momennya adalah bulan Ramadan dan hingga sekarang alhamdulillah tidak ada lagi gangguan," ujarnya.

Shinta tidak menampik bahwa para transpuan di Jogja identik dengan dunia malam dan lokalisasi. Namun dirinya menjamin para santrinya sudah jauh dari pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat tersebut.

"Santri kami sudah tidak ada yang bekerja sebagai pekerja seks, bahkan waria di Jogja yang berkecimpung dalam bidang itu sudah minoritas. Sebagian dari kami bekerja sebagai wirausaha di bidang kuliner, atau salon, dan tidak sedikit yang menjadi pengamen," jelasnya.

Hingga saat ini, sebagian besar santri Shinta adalah waria dengan usia mendekati senja. Meski demikian, banyak orang yang datang ke pesantrennya berkonsultasi menanyakan identitas diri terutama saat menyadari ada perasaan bahwa dirinya adalah transpuan.

“Seperti pada umumnya masjid atau gereja biasa diisi oleh orang tua yang sudah mulai memikirkan agama, seperti itu kami juga, mulai banyak belajar, untuk sangu (bekal) menghadap sang pencipta," ujarnya.

"Meski demikian kami sering kedatangan anak muda yang mulai merasa bahwa dirinya adalah waria, dan sedang mencari jati diri. Kami memberikan nasihat dan menemani," terangnya.

Meski pesantrennya diperuntukkan bagi transpuan, tapi Shinta membuka pintu bagi masyarakat dengan berbagai latar belakang untuk berkunjung dan belajar. Dari penelitian mahasiswa, atau hanya sekadar bertanya dan berbagi cerita.

“Kami juga menjalankan tradisi rutin menjelang bulan puasa seperti nyadran atau ziarah ke makam para waria yang tersebar di beberapa TPU Dinas Sosial dan juga membuat nasi gurih untuk dibagikan kepada tetangga," imbuhnya.

Shinta berharap keberadaan Pondok Pesantren Al Fatah dan juga kegiatan keagamaan selama Ramadan, para waria semakin bisa diterima di tengah masyarakat.

“Kami berharap dengan adanya pesantren, para santri semakin berbenah diri dari yang sebelumnya tidak mengenal sopan santun, semakin baik akhlaknya. Dari yang sebelumnya cara bicaranya kasar semakin lebih halus. Sehingga persepsi masyarakat kepada waria semakin lebih baik," harapnya.

PPT Waria Jogja

Bunda Yeti (berpakaian biru) belajar mengeja bacaan Al Quran pada Minggu (24/4/2022). tirto.id/Irfan Amin

Ramadan Bunda Yeti di Pesantren Waria

Sudah 14 tahun Bunda Yeti menjadi santri di Pondok Pesantren Al Fatah di bawah asuhan Shinta. Semua berawal dari rasa hausnya akan ilmu agama setelah puluhan tahun dirinya hampa dan hanya sibuk dengan urusan dunia.

"Saya mulai mengenal dan mengidentifikasi diri sebagai waria atau transpuan sejak tahun 1976. Saat itu saya masih SMA," kata Bunda Yeti.

Sosok yang memiliki nama di KTP, Amri Yahya tersebut mengaku tidak pernah belajar agama lagi sejak menamatkan pendidikan SMA.

“Padahal saya di SMA rajin mengaji, dan salat 5 waktu. Mungkin karena itu kewajiban dari sekolah," jelasnya.

Hingga akhirnya pada 2008, Bunda Yeti dan sejumlah kawannya berkumpul dan menginisiasi terbentuknya suatu wadah agar mereka bisa bersilaturahmi satu sama lain untuk belajar agama.

"Waktu itu kami belajar di bahwa bimbingan Ibu Muryati hingga beliau meninggal dan sekarang bersama Ibu Shinta," imbuhnya.

Bunda Yeti mengakui, selama berada di pesantren transpuan terutama pada saat Ramadan menambah khazanah keagamaannya dan memperkuat keyakinannya terhadap Islam.

“Saya berusaha yang terbaik dalam menjalankan ibadah, biarlah nanti yang di atas [Tuhan Yang Maha Esa] yang menilai amal ibadah kita," ungkapnya.

Walau dalam keseharian, Bunda Yeti berpakaian bak wanita, namun saat menjalankan salat dia lebih memilih mengenakan sarung dan kemeja.

“Kalau saya berpakaian lebih nyaman mengenakan ini, kalau teman-teman lain juga macam-macam ada yang seperti saya atau ada juga yang mengenakan mukena. Tapi kalau hijab saya belum siap, lebih baik seperti ini saja," imbuhnya.

Guru Agama untuk Para Transpuan

Ikhlas mengajar tanpa dibayar. Begitulah penampakan dalam proses belajar dan mengajar ilmu agama di Pondok Pesantren Al Fatah. Para pengajar merupakan relawan dari berbagai instansi seperti UIN Sunan Kalijaga, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) dan sejumlah ormas yang mengirimkan guru untuk ikut mengajar.

Selain itu juga ada yang rela berbagi ilmu atas panggilan hati, seperti yang dilakukan oleh Mohammad Nur Islami, seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dirinya melakukan inisiatif setelah tahu informasi ada sebuah pesantren khusus waria yang menurutnya itu hanya ada satu di dunia.

"Saya beberapa kali mendengar dan melihatnya di kanal Youtube, hingga akhirnya saya datang kemari," katanya.

Menurut Nur, keberadaan pesantren waria adalah fasilitas bagi mereka yang selama ini tidak mendapat akses memadai dalam belajar agama.

“Tempat seperti ini perlu diwadahi dan tentunya butuh kontribusi dari pemerintah untuk akses dan fasilitas. Kalau tidak nanti para waria bisa berkeliaran. Dan semua makhluk adalah ciptaan Allah dan yang dinilai di hari akhir hanyalah ketakwaannya saja," terangnya.

Sebagai seorang dosen, Nur merasa belajar ilmu baru terutama mengenai sosiologi masyarakat bahwa ada suatu kelompok yang perlu dihargai dan mendapat posisi layak di lingkungan tanpa ada pengucilan.

"Saya belajar banyak, seperti tadi saya salah sebut 'Mas' kepada teman-teman waria dan seharusnya memanggil mereka dengan 'Kakak' atau 'Mba' untuk lebih menghormati," ungkapnya.

Baca juga artikel terkait PESANTREN WARIA atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz