tirto.id - Kementerian Keuangan mencatat masih banyaknya jumlah simpanan dana kas pemerintah daerah (pemda) yang ada di perbankan. Hingga akhir Maret 2022, posisi simpanan pemda terparkir di bank jumlahnya mencapai Rp202,35 triliun.
Dalam satu bulan, dana pemda di perbankan naik sekitar Rp19,03 triliun dibandingkan posisi Februari 2022. Di mana pada Februari, tercatat baru sebesar Rp183,32 triliun.
Dana pemda di bank ini juga lebih besar dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Pada Maret 2019, simpanan pemda sempat mencapai Rp200,02 triliun, kemudian turun ke Rp177,52 triliun pada 2020, dan naik lagi menjadi Rp182,33 triliun pada tahun lalu.
"Bulan Maret ini posisi dana pemda di bank meningkat lagi bahkan tembus Rp200 triliun. Ini pernah di 2019 bulan Maret mencapai Rp200 triliun dana pemda di perbankan," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, di Jakarta Rabu (20/4/2022).
Sri Mulyani mengatakan, besarnya dana pemda di bank ini menunjukkan kemampuan daerah dalam mengelola keuangannya belum optimal. Padahal dana ini bisa digunakan untuk mendorong pemulihan ekonomi di daerah masing-masing.
Bendahara Negara itu pun berharap pemda dapat segera mempercepat realisasi belanjanya. Hal ini untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi di daerah.
“Ini menggambarkan pemda punya potensi besar mendorong pemulihan ekonomi dengan menggunakan dananya untuk mengakselerasi pemulihan di masing-masing daerahnya," ungkapnya.
Berdasarkan bahan paparannya, secara wilayah Provinsi Jawa Timur memiliki saldo tertinggi simpanan di bank mencapai Rp26,85 triliun pada Maret 2022. Sementara Provinsi Sulawesi Barat merupakan yang paling rendah yaitu Rp1,14 triliun.
"Dengan pemda mampu mengeksekusi belanja maka kita berharap di kuartal II dan kuartal III ini akselerasi pemulihan ekonomi bisa terjaga. Karena sekarang ekonomi menghadapi tekanan baru dengan lonjakan komoditas yang sangat tinggi," kata Sri Mulyani.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet melihat, terdapat dua faktor penyebab masih tingginya dana pemda terparkir di bank. Pertama karena jumlah penerimaan daerah lebih besar dari kebutuhan belanjanya. Kondisi ini membuat kas daerah menjadi surplus besar.
Faktor kedua adalah sebaliknya, belanja diperlukan daerah lebih sedikit dibandingkan jumlah pendapatannya yang lebih besar. Ini membuat dana simpanan kas di perbankan menjadi besar.
“Pertama tentu kita perlu melihat dulu alasan kenapa kalau kita bicara simpanan pemda di bank itu meningkat, tentu dua faktor [itu] penyebabnya," kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (22/4/2022).
Jika menilik realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sampai dengan Maret 2022, maka penerimaan daerah berhasil tumbuh sekitar 11 persen dibandingkan tahun lalu (yoy). Tetapi di saat bersamaan pos belanjanya juga mengalami penurunan sekitar 11 persen secara yoy.
“Jadi kombinasi penerimaan yang meningkat dan belanja yang lebih rendah akhirnya bermuara kepada kondisi atau dana pemda yang terparkir di kisaran Rp202,35 triliun," kata Yusuf.
Yusuf menyebut persoalan dana pemda mengendap di perbankan merupakan masalah kompleks sering terjadi. Problemnya tidak hanya dari pemda saja, tetapi juga dari pemerintah pusat. Sebab, beberapa dana pemda yang kemudian ditransfer dari pusat ke daerah, membutuhkan petunjuk teknis (Juknis) dan petunjuk pelaksanaan (Juklak)
"Kerap kali Juknis dan Juklak ini telat diterbitkan oleh pemerintah pusat, sehingga daerah pun menahan untuk belum mengeksekusi pos belanjanya. Takutnya nanti tidak sesuai teknis dan pelaksanaan jadi ditunda untuk sementara waktu. Itu dari sisi pemerintah pusat," ungkapnya.
Sementara, kata Yusuf, dari sisi pemda kadang juga tidak optimal dalam mendorong realisasi belanja-belanja di daerahnya. Namun, jika dilihat pola belanja daerah baru akan tinggi di semester kedua mendatang. Itu terjadi karena proses tender dilakukan daerah membutuhkan waktu, ditambah juknis dan juklaknya dari pemerintah tidak diterima di awal tahun.
"Dia akan didorong untuk realisasinya lebih tinggi di semester II. Masalah itu cukup kompleks kalau kita bicara kenapa dana pemda mengendap di bank karena salah satunya alasannya saya sebutkan tadi," jelasnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menambahkan, tingginya dana pemda yang parkir di bank mengindikasikan pola anggaran tidak berbeda dari kondisi normal. Padahal, kata dia, saat ini serapan anggaran daerah diperlukan untuk percepat pemulihan ekonomi.
"Pelaku usaha di daerah misalnya yang berkaitan dengan pengadaan barang jasa pemda akan terpengaruh jika serapan anggaran pemda lambat," jelasnya.
Ada Indikasi Mendapatkan Keuntungan Bank?
Di sisi lain, Bhima menilai ada kecenderungan pemda menikmati bunga dari deposito di perbankan. Meski begitu, indikasi ini kontradiksi ketika pemerintah pusat menanggung beban bunga utang Rp405 triliun per tahun, tapi pemda justru mendapat bunga dari perbankan.
"Ini artinya kepala daerah sedang menjadi calo perbankan," kata Bhima kepada reporter Tirto.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri, Agus Fatoni membantah hal tersebut. Ia meluruskan, bahwa dana tersimpan di perbankan itu adalah uang kas daerah belum terpakai. Bukan justru disimpan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan dari bank.
"Selama ini ada kesan disangkanya itu disimpan untuk mengambilkan keuntungan gitu, itu tolong diluruskan. Artinya itu bukan sengaja disimpan, tetapi itu uang kas APBD yang belum terpakai dan terealisasikan," kata Agus saat dihubungi reporter Tirto.
Agus mengatakan, tingginya dana mengendap di perbankan masalahnya terkait dengan realisasi anggarannya saja. Jika realisasi belanja daerahnya tinggi, maka tentu uang simpanan di bank berkurang. Sebaliknya kalau realisasinya rendah, tentu simpanan ada di bank meningkat.
Pola Penurunan
Meskipun pada kuartal 2022 dana pemda masih banyak tersimpan di bank, Kemendagri sendiri meyakini sampai dengan akhir tahun dana jumlahnya akan menyusut turun. Ini seiring dengan sudah terserapnya realisasi belanja dilakukan masing-masing daerah.
"Kalau akhir tahun sudah cukup tinggi. Jumlah tersimpan di banknya berkurang menurun jauh," kata Agus.
Senada, Yusuf Rendy juga melihat sampai dengan akhir tahun polanya demikian, yakni mengalami penurunan. Apalagi banyak pemda sudah mengeksekusi belanja-belanjanya dimulai dari semester II mendatang.
Merujuk data Kementerian Keuangan, pola simpanan dana pemda di perbankan memang demikian selalu terjadi penurunan di setiap akhir tahun. Misalnya saja pada kuartal IV-2021 kemarin. Pada Oktober 2021 dana pemda tersimpan di bank capai Rp226,71 triliun, pada November 2021 alami penurunan jadi Rp203,95 triliun, dan di Desember 2021 hanya Rp113,38 triliun.
Pola penurunan ini juga serupa pada 2020. Pada kuartal IV-2020 dana pemda terparkir di bank per Oktober saat itu menyentuh Rp247,45 triliun. Kemudian pada November 2020 mengalami penurunan jadi Rp218,60 triliun, dan turun kembali pada Desember 2020 senilai Rp93,96 triliun.
"Umumnya seperti itu, tetapi ada beberapa pola tahun yang agak berbeda trennya. Tapi pada umumnya simpanan pemda melandai di semester II seiring dengan belanja sudah dieksekusi," jelas Yusuf.
Namun, Bhima Yudhistira melihat kecenderungan untuk berlomba membelanjakan anggaran di akhir tahun akan berpengaruh terhadap bantuan sosial kepada masyarakat miskin maupun UMKM. Padahal tekanan ekonomi akibat naiknya harga pangan dan energi perlu diimbangi dengan percepatan penyaluran bansos ke masyarakat.
Atas dasar itu, kata Bhima, perlu dilakukan pemerintah pusat adalah merombak sanksi kepada kepala daerah. Misalnya tunjangan perjalanan dinas di setop beberapa bulan jika performa serapan buruk.
"Ada juga cara menambah sanksi pemangkasan anggaran dana transfer daerah tahun berikutnya sebagai efek jera agar pemda bergerak lebih cepat," ujarnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz