tirto.id - Kejaksaan Agung mengumumkan hasil penyidikan mereka soal kasus kelangkaan minyak goreng. Jaksa Agung ST Burhanuddin sebut penyidik Kejagung meningkatkan status penyelidikan kelangkaan minyak goreng ke tahap penyidikan. Kejagung menetapkan 4 tersangka dalam kasus ini, salah satunya Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendagri) Indrasari Wisnu Wardhana (IWW).
“Yang pertama pejabat eselon 1 pada Kemendag bernama IWW, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dengan perbuatan tersangka telah menerbitkan secara melawan hukum persetujuan ekspor terkait komodisi CPO dan produk turunannya kepada Permata Hijau Group, Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, dan PT Musim Mas," kata Burhanuddin dalam keterangan, Selasa (19/4/2022).
Selain IWW, Kejagung menetapkan 3 orang lain yakni MPT selaku Komisaris PT. Wilmar Nabati Indonesia, SM selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG), dan PTS selaku General Manager di Bagian General Affair PT. Musim Mas.
Para tersangka disangka melanggar sejumlah pasal yakni Pasal 54 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a,b,e dan f UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan; Keputusan Menteri Perdagangan No. 129 Tahun 2022 jo No. 170 Tahun 2022 tentang Penetapan Jumlah untuk Distribusi Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation) dan Harga Penjualan di Dalam Negeri (Domestic Price Obligation); dan Ketentuan Bab II Huruf A angka (1) huruf b, Jo. Bab II huruf C angka 4 huruf c Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 02/DAGLU/PER/1/2022 tentang petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan dan pengaturan ekspor CPO, RDB Palm Olein dan UCO.
Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu pun mengapresiasi kinerja Kejagung dalam menetapkan tersangka kasus minyak goreng. Ia menduga penyidik akan menetapkan pasal korupsi meski pengumuman perkara belum menetapkan tersangka. Erasmus meyakini penyidik tidak hanya menetapkan pasal tindak pidana korupsi (Tipikor) saja.
“Saya menduga bahwa tentu saja ini kemungkinan besar akan pakai pasal tipikor meskipun dirilis kejaksaan kemarin tidak disebutkan. Dugaan saya ini Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor meskipun sebenarnya bisa dilakukan banyak undang-undang lain seperti terkait dengan persaingan usaha monopoli ataupun tindak pidana lain seperti penimbunan dan lain-lain,” kata Erasmus dalam keterangan, Rabu (20/4/2022).
Erasmus menuturkan, jaksa tetap bisa menangani perkara meski penanganan perkara yang dilanggar adalah pelanggaran teknis. Kejaksaan, kata Erasmus, harus mengungkap apakah ada kesengajaan dan tujuan memperkaya diri atau orang lain dari perkara yang ada.
“Jadi nggak cukup hanya perbuatan kesalahan teknis atau kesalahan-kesalahan dalam pengambilan keputusan, tapi kesalahan pengambilan keputusan itu memang disengaja dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain dalam hal ini tentu saja merugikan kerugian negara," kata Erasmus.
Erasmus menuturkan ada sejumlah poin yang perlu didalami dalam kasus minyak goreng ini. Pertama, apa betul ekspor itu mengakibatkan kelangkaan minyak goreng? Kedua, apakah ada kenaikan lonjakan ekspor yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan atau ada alasan lainnya.
Ketiga adalah perlu ditelusuri pelibatan perusahaan atau tidak. Ia menilai kejaksaan perlu menelusuri tersangka apakah hingga menyasar korporasi. Ia mengingatkan masalah migor merupakan persoalan hajat hidup orang banyak.
“Jangan sampai ini hanya berhenti di aktor-aktor di lapangan kalau melihat dari sistematis dan sudah berbulan-bulan, maka yang terjadi ini pasti aktornya bisa jadi terorganisir dan bisa jadi lebih banyak. Jadi kita dukung penyidikan lanjutan dilakukan oleh kejaksaan," kata Erasmus.
Penjelasan Kejagung soal Pasal Tipikor
Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedama mengakui, kejaksaan memang sengaja belum menetapkan pasal korupsi karena masih pendalaman.
“Kami sengaja tidak pasang tipikornya karena kami masih mengonstruksikan. Mungkin nanti kami terapkan Pasal 2 (atau) Pasal 3 terkait dengan kerugian perekonomian negara. Mungkin juga nanti kalau berkembang lagi bisa dikenakan Pasal 5, Pasal 11, Pasal 12, tapi kami masih menunggu rekan-rekan di sana bekerja dulu,” kata Ketut dalam keterangan kepada Tirto.
Ketut juga menunggu perkembangan penanganan perkara. Mereka masih memvalidasi apakah tersangka dikenakan pasal penyuapan atau gratifikasi.
Ketut mengaku, kejaksaan sudah melakukan penggeledahan di 8 lokasi. Dalam penyelidikan, mereka sudah memeriksa 19 saksi dan memeriksa 596 dokumen serta mendengar keterangan ahli. Namun mereka belum menghitung soal kerugian negara.
“Hampir 8 lokasi kami lakukan penggeledahan. Tapi untuk kerugian negara, nanti kami pertimbangkan kalau misalnya ada yang mau dikembangkan lagi, masih dalam tahap penyidikan umum memungkinkan. Semua masih didalami," kata Ketut.
Namun, Ketut enggan berkomentar soal kemungkinan tersangka bertambah atau penetapan tersangka korporasi. Ia hanya menegaskan, "Saya tidak berbicara kemungkinan. Semua masih di penyidikan dan masih jalan. Apa pun bisa terjadi.”
Pasal Korupsi Tergantung Perkembangan Perkara
Ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga, Iqbal Felisiano menilai, pasal korupsi tidak diterapkan dalam kasus ini karena melihat perkembangan perkara terlebih dahulu. Namun, kata dia, pasal tipikor masih terbuka untuk diterapkan dalam perkara minyak goreng ini.
“Mungkin dari awalnya dugaannya adalah sebatas Undang-Undang Perdagangan. Akan tetapi pada saat bergulir izin ekspor dari CPO yang kemudian dikeluarkan diduga tidak sah dan melawan hukum oleh salah satu pejabat negara, maka kemudian dikembangkan dan akhirnya ada kesimpulan ada dugaan tindak pidana korupsi," kata Iqbal kepada Tirto, Rabu (20/4/2022).
Ia menuturkan, keterangan Kejagung bahwa perkara sudah masuk tahap penyidikan pada 4 April 2022. Ia menduga, penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bisa dilakukan, tetapi masih menunggu penghitungan kerugian negara. Ia mengingatkan, kerugian negara hanya bisa dihitung oleh BPK atau BPKP sehingga butuh waktu.
“Kalau insist pakai Pasal 2, Pasal 3, kemungkinan kendalanya di penetapan kerugian negara. Itu butuh proses, apalagi kemudian tindak pidana ini tidak cuma 1-2 hari, tapi kalau dari kronologi jaksa, kan, dari 2021," kata Iqbal.
Iqbal enggan berbicara lebih lanjut soal penerapan pelanggaran dengan Undang-Undang Perdagangan. Akan tetapi, Kejaksaan Agung bisa melanjutkan perkara selama kasus masih berkaitan korupsi.
“Kalau saya lihatnya secara positive thinking ini kemungkinan Kejaksaan Agung sampai sekarang masih menunggu BPK atau BPKP mengeluarkan statement kerugian keuangan negara yang dilakukan para pelaku," kata Iqbal.
Iqbal pun bingung penyidik kejaksaan bisa menetapkan dan menahan tersangka dengan pasal non-UU Tipikor. Ia memandang bahwa penetapan tersangka kasus tipikor harus dengan pasal tipikor.
“Kalau dia melakukan penahanan atas dasar Undang-Undang Tipikor dalam kondisi yang bersangkutan belum ditetapkan tersangka, sebelum ada kerugian negara kalau ditetapkan pakai Pasal 2 atau Pasal 3, ya salah," kata Iqbal.
Iqbal menambahkan, “Tapi kalau mereka pakai Pasal 5, Pasal 11, nggak ada masalah kalau diketahui dalam proses pembuatan kebijakan itu ada uang, ada janji atau sesuatu yang diberikan kepada pejabat negara oleh si penyuap," tegas Iqbal.
Akan tetapi, kejaksaan selaku penegak hukum punya kewajiban untuk segera mengumumkan dan penetapan tersangka bila ada tindak pidana dan ada tersangka dalam perkara tersebut. Ia mengingatkan perkara perdagangan dengan tipikor memiliki peradilan berbeda, yakni perkara pelanggaran perdagangan di pengadilan umum, sementara korupsi disidang di pengadilan tipikor. Namun pengembangan perkara dimungkinkan bila ditemukan tindak pidana korupsi.
Ia juga menilai jaksa bisa tidak mengungkap angka kerugian negara maupun pasal kepada publik. Hal itu hanya sebagai fungsi kontrol perkara. Ia menilai sebaiknya perkara tetap berjalan hingga terang benderang.
“Kalau saya iya, tapi kalau nanti ada yang aneh, contohnya tiba-tiba hilang pasal korupsinya, kita sebagai masyarakat kritis terhadap hal itu," kata Iqbal.
Menurut Iqbal, “Tapi kalau kemudian penyidik tidak merilis berapa jumlahnya atau kemudian pasal itu apa saja, saya rasa tidak ada masalah karena konstruksinya adalah ini masih dalam tahap penyidikan dan itu sebenarnya adalah rahasia penyidikan. Kalau diungkapkan malah justru menghambat proses penyidikan, malah yang salah.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz