Menuju konten utama

Menelusuri Penyebab Minyak Goreng Langka & Apa yang Perlu Dilakukan

Satgas Pangan Polri sebut penyebab stok minyak goreng langka karena terlambatnya pengiriman dan tingginya antusias warga membeli minyak goreng.

Menelusuri Penyebab Minyak Goreng Langka & Apa yang Perlu Dilakukan
Karyawan melayani pembeli minyak goreng kemasan di salah satu pusat perbelanjaan di Kudus, Jawa Tengah, Rabu (19/1/2022). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/hp.

tirto.id - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menentukan harga ecer tertinggi (HET) minyak goreng ditetapkan dalam tiga kategori, yaitu: Rp11.500/liter untuk minyak goreng curah, kemasan sederhana Rp13.500/liter, dan kemasan premium Rp14.000/liter. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Februari 2022 di ritel modern dan pasar tradisional.

Kebijakan yang dikeluarkan Kemendag tersebut sejatinya sebagai solusi atas meroketnya harga minyak goreng sejak Natal 2021 dan tahun baru 2022. Awalnya pemerintah hanya memberlakukan kebijakan minyak goreng satu harga di ritel modern dengan HET Rp14 ribu per liter. Namun, realisasinya justru stok minyak goreng kosong di pasaran.

Sejumlah warga yang diwawancara Tirto mengaku kesulitan mencari minyak goreng di ritel modern. Sebagai solusinya, warga membeli minyak goreng di pasar tradisional dengan harga lebih mahal, bahkan dua kali lipat dari HET Rp14 ribu. Lengkapnya bisa dibaca di artikel ini.

Hal yang sama terjadi setelah Kemendag memberlakukan kebijakan minyak goreng satu harga di ritel modern dan pasar tradisional mulai 1 Februari 2022. Berdasarkan observasi Tirto, jika sebelumnya warga selalu kehabisan stok minyak goreng murah di ritel modern, maka usai kebijakan baru ini warga juga kesulitan mendapatkan minyak goreng di pasar tradisional dan warung biasa.

Kelangkaan minyak goreng ini diakui Satgas Pangan Polri. Saat mereka mengecek ketersediaan, distribusi dan harga minyak goreng pada ritel modern di wilayah Jabodetabek, Satgas Pangan Polri menemukan fakta soal kelangkaan stok ini.

“Penyebab kekosongan stok karena terlambatnya pengiriman minyak goreng dari distributor dan tingginya antusias masyarakat untuk membeli minyak goreng. Untuk mengendalikan (stok), dibatasi pembelian sebanyak satu liter,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigjen Pol Whisnu Hermawan Februanto ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (8/2/2022).

Temuan lainnya yaitu pada ritel-ritel modern besar seperti Lotte Mart dan Hypermart, ketersediaan minyak goreng masih mencukupi atau aman, penyaluran dari distributor lancar dan harga penjualan sesuai dengan harga eceran tertinggi sebesar Rp14.000/liter.

Sementara ritel-ritel modern kecil seperti Indomaret dan Alfamart, mayoritas ketersediaan kosong, distribusi dilaksanakan 2-4 hari sekali, harga penjualan mengikuti harga eceran tertinggi yakni Rp14.000/liter.

“Konsumen memilih membeli minyak goreng di ritel modern karena harganya mengikuti kebijakan pemerintah sesuai harga eceran tertinggi sebesar Rp14.000/liter, lebih murah dari harga di pasar tradisional,” sambung Whisnu.

Pada operasi pengecekan ini, Satgas Pangan Polri mengetahui stok dan harga minyak goreng berdasarkan beberapa hal, antara lain mewawancarai kepala toko dan pembeli, observasi aktivitas jual-beli di ritel modern, dan membeli minyak goreng.

Upaya lanjutan yang akan dilakukan Polri ialah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan guna mengetahui hambatan dalam implementasi kebijakan harga minyak goreng sesuai jenis, kebijakan terkait domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO), serta kebijakan refaksi. Kepolisian pun masih akan melakukan operasi serupa di pasar tradisional kawasan Jabodetabek.

Penanganan Jangka Pendek

Pemerintah bisa memberdayakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk digunakan dalam kepentingan domestik dahulu. Upaya itu dibantu dengan subsidi, agar harga tak terlalu jatuh. Namun harus ada prioritas dari BUMN tersebut yakni minyak goreng dikhususkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Yang paling mudah adalah minyak goreng kemasan sederhana atau curah agar biaya tak terlampau tinggi. Kalau kemasan premium, terlalu mahal, nanti sulit (target prioritas itu) untuk diimplementasikan. Itu untuk jangka pendek,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, kepada reporter Tirto, Selasa (8/2/2022).

Penanganan jangka pendek selanjutnya, meskipun berat, yakni menagih komitmen industri-industri minyak sawit mentah yang terintegrasi seperti yang mempunyai kebun, fasilitas pemurnian, dan pabrik minyak goreng. Korporasi yang terintegrasi biasanya sistem produksi dan target bisa dikendalikan dari hulu ke hilir. Pemerintah punya dapat perusahaan-perusahaan tersebut, kata dia.

“Dari dua (upaya) itu saja bisa memenuhi kebutuhan paling tidak 5,7 juta ton, tidak harus 10 persen dari total produksi,” sambung Tauhid.

Sebab produksi minyak di Indonesia mencapai 53 juta ton, kalau memproduksi 10 juta ton itu masih tergolong tinggi. “Dikurangi sesuai kebutuhan. Kebutuhan sekitar 5,7 juta ton untuk minyak goreng bagi masyarakat maupun industri.”

Pemerintah pun bisa menurunkan level DMO agar tak memberatkan para pelaku usaha. Perihal temuan Satgas Pangan Polri ihwal keterlambatan pengiriman minyak goreng, Tauhid berpendapat keterlambatan itu hal tersendiri. Di kalangan industri minyak sawit mentah, korporasi terlanjur membeli bahan tandan buah segar dengan harga yang mengikuti standar internasional.

Sehingga jika itu dijual kepada industri minyak goreng dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah, maka perusahaan menelan kerugian lantaran biaya produksi tinggi, kata Tauhid. Itu yang menyebabkan keterlambatan.

“Keterlambatan bukan karena faktor distribusi, distribusi sudah biasa mereka lakukan puluhan tahun. Tapi ada pengaturan harga yang masih belum dirasionalkan,” tutur Tauhid. Implikasinya akan menekan harga tandan buah segar.

Tandan buah segar, dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/KB.120/1/2018, menginduk kepada harga minyak sawit mentah. Namun tidak ada regulasi yang mencantumkan bahwa tandan buah segar menginduk kepada harga DPO.

Kekosongan regulasi ini dapat diisi, kata dia, misalnya Kementerian Pertanian mengatur soal harga penyangga agar harga tak jatuh karena kebijakan DPO. Peraturan Menteri Pertanian dapat direvisi. Kemudian, pemerintah dapat menerbitkan regulasi terkait tata niaga.

“Produksi minyak goreng, apa pun kebijakannya, sangat sensitif dengan harga (minyak) dunia. Indonesia bukan hanya negara produsen, tapi juga konsumen. Karena produk minyak goreng dan turunannya yang lain mengikuti standar internasional. Kebijakan yang dihasilkan harus hati-hati,” terang Tauhid.

Kendala Pedagang di Pasar Tradisional

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Sudaryono menyatakan isu kelangkaan minyak goreng telah menjadi isu sejak Januari 2022. Ada tiga hal kendala bagi pedagang. Pertama, para pedagang kesulitan meretur barang yang kadung ditebus mahal; kedua, pedagang tidak bisa mendapatkan barang sesuai dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah; ketiga, minyak goreng sulit ditemukan di lapangan.

“Tidak semudah yang diutarakan Kementerian Perdagangan,” ucap dia kepada reporter Tirto, Selasa (8/2/2022).

Menurut dia, APPSI mendukung program pemerintah, namun asosiasi tak dilibatkan oleh pemerintah. Malah sebaliknya, asosiasi yang aktif melaporkan temuan kepada instansi yang berkelindan dengan urusan minyak goreng.

“Kalau kementerian tak mengindahkan laporan asli lapangan, selalu klaim sudah dibutuhkan sekian juta liter, tapi kenyataan di lapangan (seperti) tiga poin itu tadi,” kata Sudaryanto.

Pekan lalu, kata dia, APPSI juga telah menjalankan operasi distribusi minyak goreng curah di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Operasi pasar itu jualan minyak goreng curah ke pedagang, bukan ke konsumen karena APPSI menilai operasi pasar jangan menjadi saingan pedagang. Justru operasi pasar itu jadi kepanjangan tangan para pedagang. Hari ini pun asosiasi merencanakan berkoordinasi dengan ID Food untuk mengeksekusi di titik lain.

Meski asosiasi bergerak, tapi Sudaryono merasa masih ada kendala. “Kami merasa masukan-masukan yang kami berikan kepada pemerintah, mampet. Kementerian Perdagangan memiliki cara pandang tersendiri. Kemudian, APPSI berinisiatif menghubungi semua pemangku kepentingan sebisa mungkin,” kata Sudaryono.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan buka suara mengenai sulitnya masyarakat mendapatkan minyak goreng. Dia bilang stok minyak goreng bukan langka, namun saat ini publik sulit untuk mendapatkan minyak goreng sesuai dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah.

Kesulitan masyarakat ihwal minyak goreng akan hilang seiring lenyapnya pembelian karena kepanikan seperti yang dilakukan saat ini.

Guna mengatasi kelangkaan minyak goreng murah di pasar, Oke memastikan ada 40 juta liter minyak goreng murah mulai didistribusikan di pasar retail dan tradisional di seluruh Indonesia. "Saya sudah dapat laporan 180 ribu ton sudah berangkat. Jadi ada sekitar 36-40 juta liter sudah mulai didistribusikan," ucap dia.

Khusus minyak goreng di pasar ritel, Kemendag mempersiapkan 12 juta liter yang harganya sesuai dengan HET. Pemerintah mencoba menstabilkan harga minyak goreng di pasar dengan DMO dan DPO bagi eksportir minyak goreng untuk menjual 20 persen kuota ekspornya khusus untuk kebutuhan dalam negeri. Kebijakan DPO juga diterapkan dengan penetapan harga yaitu Rp9.300 per kilogram untuk minyak sawit kasar dan Rp10.300 per kilogram untuk olein.

Baca juga artikel terkait MINYAK GORENG atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz