tirto.id - Indonesia berkomitmen ikut ambil bagian dalam mewujudkan mimpi dunia memerangi dampak perubahan iklim. Komitmen itu disampaikan langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam ajang Konferensi Tingkat Tinggi Climate Change Conference (KTT COP26).
Upaya yang ditempuh Indonesia demi mencapai komitmen tersebut dilakukan dengan mencanangkan target penurunan emisi atau net zero emission (netralitas karbon) pada 2060 atau lebih awal.
“Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita [Indonesia] berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada COP-26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, UK, Senin (1/11/2021).
Mengukuhkan komitmennya, sambung Arifin, Indonesia berencana mulai mengembangkan super grid pada 2025 untuk mengatasi kesenjangan antara sumber EBT dan lokasi di daerah yang memiliki permintaan listrik yang tinggi.
Super grid adalah konsep mentransmisikan listrik jarak jauh menggunakan tegangan tinggi arus searah (High Voltage Direct Current – HVDC).
Selain itu, pemerintah mendorong penerapan teknologi tepat guna, juga diperlukan tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan keandalan dan efisiensi pasokan, tetapi juga untuk mengintegrasikan sumber EBT dan mengantisipasi sifat intermitten EBT, seperti matahari dan angin.
“Teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan EBT termasuk jaringan pintar (smart grid), smart meter dan sistem penyimpanan energi termasuk pumped storage dan Battery Energy Storage System (BESS)," Arifin menambahkan.
Namun, ada yang perlu diperhatikan lebih cermat dari komitmen yang disampaikan pemerintah untuk mengurangi penggunaan batu bara dan menekan emisi gas buang dari pembangkit berbasis batu bara. Maklum saja, deklarasi Indonesia untuk mulai secara bertahap menggunakan energi bersih demi mencapai net zero emission diungkapkan saat produksi batu bara di dalam negeri tengah tinggi-tingginya.
Batu Bara Masih Dipuja
Berdasarkan Minerba One Data Indonesia, realisasi produksi batu bara Indonesia sepanjang 2021 mencapai 606,47 juta ton. Dari angka tersebut realisasi untuk kebutuhan domestik yaitu sebesar 213,92 juta ton, realisasi ekspor sebanyak 306,89 juta ton. Kemudian kewajiban domestic market obligation (DMO) yang khusus dijual kepada PLN yaitu sebesar 63,47 juta ton.
Adapun angka produksi batu bara pada 2020 juga sama tingginya yaitu ada pada angka 565,69 juta ton. Kemudian di 2019 malah lebih tinggi lagi, yaitu ada di angka 616,16 juta ton.
Bila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, Indonesia menjadi negara ke-4 dengan produksi batu bara terbesar di dunia mengalahkan beberapa negara lain seperti Rusia dan Australia yang sama-sama punya cadangan besar. Melansir ABC Australia saking tingginya jumlah produksi batu bara di 2020, sebanyak 40 persen batu bara dunia disumbang dari hasil tambang di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia memang masih jadi primadona penyuplai batu bara dunia.
Di sisi lain, ketergantungan Indonesia sendiri terhadap batu bara juga masih sangat tinggi. Buktinya saja, perusahaan pembangkit listrik pelat merah, PLN sempat ketar-ketir manakala pasokan batu bara nasional menipis dan mengancam kelangsungan kelangsungan pembangkit-pembangkit listrik dalam negeri.
Maklum saja, pembangki listrik di tanah air didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bergantung pada ketersediaan batu bara untuk bisa beroperasi optimal. Menurut data Kementerian ESDM, hingga akhir 2017 porsi batu bara dalam bauran energi pembangkit listrik tercatat sebesar 57,22 persen.
Porsi tersebut merupakan yang terbesar di antara jenis bahan bakar lainnya. Selebihnya berasal dari gas bumi sebesar 24,82 persen, bahan bakar minyak (BBM) sebesar 5,81 persen dan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 12,15 persen.
Lalu bagaimana dengan saat ini? Apakah porsi batu bara mengalami penurunan?
Sumbangan energi fosil dari seluruh pembangkit listrik Indonesia saat ini masih mencapai 60.485 MW atau setara 85,31 persen dari total kapasitas terpasang nasional. Di posisi pertama ada batu bara yang menjadi sumber listrik utama di Indonesia. Jumlah kapasitas pembangkit listrik terpasang dari PLTU misalnya mencapai 35.216 MW setara 49,67 persen dari total kapasitas nasional 70.900 MW.
Melihat fakta itu, wajar kiranya bila pemerintah langsung ambil langkah kilat menyetop ekspor batu bara kala melihat pasokan batu bara yang sedianya dipasok lewat Domestic Market Obligation (DMO) mulai lampu kuning.
Tepat pada 1 Januari 2022 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan surat Menteri ESDM Nomor B- 1605/MB.05/DJB.B/2021 tanggal 31 Desember 2021 yang pada intinya berisi perintah tegas pemerintah Indonesia melarang ekspor batu bara dari 1 Januari hingga 31 Januari 2022 demi Pemenuhan Kebutuhan Batubara untuk Kelistrikan Umum.
Langkah ini diambil dengan penuh kesadaran bahwa bila kebutuhan batu bara untuk pembangkit-pembangkit listrik yang dikelola PLN gagal dipenuhi maka ada risiko aliran listrik untuk 10 juta pelanggan PLN terancam padam.
Kala itu, persediaan batu bara yang aman di PLTU PLN adalah di atas 20 hari operasi. Tapi dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari pemerintah, hingga 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1 persen.
Dari situ, terlihat jelas seberapa besar ketergantungan Indonesia terhadap komoditas emas hitam yang konon mau dibabat habis dan digantikan oleh energi baru terbarukan itu.
Tak Hanya Indonesia yang Ketergantungan pada Batu Bara
Bicara soal ketergantungan terhadap batu bara, Indonesia tampaknya bukan satu-satunya negara yang perlu mendapat sorotan. Aksi Indonesia yang sempat menutup keran ekspor secara tak langsung membuka mata khalayak bahwa ternyata banyak negara dunia yang juga masih sangat bergantung pada batu bara. Tak terkecuali Jepang yang selama ini dikenal dengan penyediaan listrik lewat pembangkit tenaga nuklir yang diklaim lebih ramah lingkungan.
Jepang rupanya juga jadi satu dari sekian banyak negara dunia yang belum bisa lepas dari ketergantungan terhadap batu bara. Buktinya, Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia sampai mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia agar batu bara kalori tinggi yang tak banyak digunakan untuk pembangkit listrik di Indonesia tetap bisa dikirim ke negeri sakura itu.
Mengutip data dari Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2020, Indonesia mengekspor 26,97 juta ton batu bara ke Jepang pada 2020. Jumlah ini terbesar ketiga setelah ekspor ke China sebesar 127,79 juta ton dan India 97,51 juta ton.
Bukan hanya Jepang, Korea Selatan lewat Menteri Perdagangan Yeo Han-Koo juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut larangan ekspor. Maklum, Korea Selatan merupakan negara tujuan ekspor batu bara RI terbesar keempat setelah Jepang. Jumlah ekspor batu bara RI ke Korea Selatan pada 2020 tercatat mencapai 24,78 juta ton.
Belum lagi sejumlah negara tetangga dan mitra dagang RI yang turut menyampaikan protes terhadap kebijakan larangan ekspor tersebut. Hasilnya, baru sebelas hari larangan ekspor berjalan, Pemerintah Indonesia sudah memutuskan untuk membuka kembali ekspor batu bara pada 12 Januari 2022 secara bertahap.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, mulai 10 Januari 2022, proses pengapalan mulai akan dilakukan oleh sejumlah perusahaan tambang.
“Sudah ada beberapa belas kapal yang sudah diisi batu bara telah diverifikasi malam ini, besok akan dilepas. Kapan mau dibuka ekspor secara bertahap kita lihat Rabu,” ujar Luhut kepada wartawan, Senin (10/1/2022).
Dari situ terlihat bagaimana saat ini dunia masih sangat bergantung terhadap komoditas energi tak ramah lingkungan yang disebut batu bara itu.
Tingginya kebutuhan batu bara juga terlihat dari pergerakan harganya yang terus mengalami peningkatan, bukan hanya domestik, tapi juga secara internasional. Kenaikan harga ini juga yang menjadi alasan mengapa pengusaha batu bara Indonesia lebih pilih ekspor dibanding menjual komoditasnya ke dalam negeri.
Sederet fakta di atas menjadi bukti nyata yang tak terelakkan bahwa mimpi dunia menghirup udara bersih tanpa polusi batu bara masih sangat panjang. Itu juga termasuk komitmen Indonesia yang sesumbar ingin menghapus batu bara dari bauran energi nasional.
Terkendala Biaya
Bukan hanya panjang, komitmen Indonesia beralih ke energi baru terbarukan yang disebut lebih ramah lingkungan juga terbilang mahal.
Pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, jalan Indonesia untuk beralih ke energi bersih masih panjang. Untuk beralih ke green energy, setidaknya Indonesia membutuhkan biaya sekitar Rp5.000 triliun untuk menurunkan emisi karbon sampai 29 persen hingga 2030.
Bahkan, biaya untuk menekan emisi karbon lebih besar yaitu mencapai $479 miliar atau Rp6.734 triliun jika ingin menurunkan emisi karbon sebesar 41 persen di tahun yang sama.
“APBN kita saja itu hanya kisaran Rp2 ribu triliun per tahun sementara kebutuhannya lebih dari 2 kali lipat. Saya kira ini yang perlu dipersiapkan kalau kita memang benar-benar komitmen menuju ke arah sana,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/12/2021).
Biaya tersebut digunakan untuk membuat PLTU perlahan pensiun dini agar digantikan dengan energi yang lebih ramah lingkungan. Berdasarkan perhitungan Komaidi, denda untuk menghentikan PLTU dihitung biayanya per gigawatt. Untuk satu giga watt yang disetop dari hasil PLTU pemerintah harus membayar Rp5 triliun/tahun.
“Kalau mau mempensiunkan harus bayar dendanya. Sementara memang kapasitas PLTU itu nyumbang 70 persen dari total produksi listrik nasional. Hitungan dendanya per giga itu sekitar Rp5 triliun ya. Artinya karena sudah terkontrak dengan pihak pengembang dan pengembangnya harus dipaksa tutup otomatis PLN melalui pemerintah nanti harus membayar paling tidak masing masing setiap giga itu Rp5 triliun per tahun,” jelas dia.
Perhitungan belum selesai sampai di sana, Komaidi menjelaskan jika kontrak dengan PLTU itu masih ada 30 tahun, berarti denda per giganya Rp5 triliun kemudian dikalikan 30 tahun, maka hasilnya adalah Rp150 triliun per giga sampai dengan kontrak PLTU itu selesai. Baru setelah ditemukan hitungan sampai kontrak selesai, angka kemudian dikali lagi dengan total energi yang disumbangkan yaitu 40 gigawatt.
“Ini salah satu angka [hitungan] dari teman-teman di Kementerian keuangan sekitar Rp4.000 triliun- 5.000 triliun,” jelas dia.
Biaya untuk membuat sektor energi bersih seperti tenaga surya, angin dan air tentu belum masuk ke dalam anggaran itu. Komaidi menjelaskan, belum ada sektor energi lain yang bisa menggantikan batu bara. Komoditas batu bara hingga saat ini merupakan sumber energi yang paling murah dan stoknya melimpah.
Adapun solusi dari sumber lain yang dimiliki Indonesia, yaitu geothermal atau energi panas bumi, namun sumber ini masih terkendala dari sisi infrastruktur.
“Masalahnya ada di infrastruktur. Jadi produksi kita ada di Indonesia Timur, sementara sebagian penggunannya termasuk pembangkit itu ada di Indonesia barat di Jawa dan Sumatera. PR-nya ada di infrastruktur. Tapi secara ketersediaan itu masih cukup besar,” jelas dia.
Selain masalah-masalah yang ada di atas, keseriusan RI melaksanakan komitmen transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan semakin diragukan lantaran industri batu bara RI masih jadi salah satu penyumbang terbesar terhadap pendapatan negara dari ekspor.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hasil Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di 2021 dari SDA non-migas mencapai Rp52,8 triliun. Penerimaan ini mayoritas mencakup hasil produksi batu bara kemudian sisanya baru disusul tembaga, dan nikel.
Kondisi ini tak lepas dari posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan batu bara terbesar di Dunia. RI masih memiliki cadangan batu bara sebanyak 38,84 miliar ton. Dengan rata-rata produksi batu bara sebesar 600 juta ton per tahun, maka umur cadangan batu bara masih 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
Dengan kondisi seperti itu, akan semakin sulit bagi RI untuk lepas dari ketergantungannya terhadap batu bara.
Optimisme Si Emas Hitam
Kuatnya dorongan beberapa negara untuk beralih ke green energy tidak membuat pengusaha batu bara di Indonesia pesimistis. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menjelaskan, permintaan ekspor batu bara setiap tahun masih tinggi.
“Selama permintaan masih ada siap suplai, fakta menunjukkan permintaan terus meningkat. Coba lihat apakah impor batu bara Cina turun? Naik terus. India? meningkat terus. Jadi yang turun Eropa, Amerika. Tapi kan kita gak ekspor ke Eropa. Pasar kita Asia Pacific, demand ada dan terbukti masih tinggi. Jadi kenapa harus ditinggalkan,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (6/1/2022).
Hendra menjelaskan, para pengusaha batu bara menyadari adanya kemungkinan komoditas ini redup seiring munculnya jenis energi baru yang lebih ramah lingkungan. Namun, permasalahan itu mungkin hanya difikirkan oleh para pengusaha yang memiliki stok batu bara 30 sampai 100 tahun ke depan seperti PT Bukit Asam. Untuk beberapa pengusaha tambang batu bara yang hanya memiliki stok 5 sampai 10 tahun, kata dia, masih akan terus mensuplai kebutuhan selama ada permintaan di pasar.
“Ya memang dalam jangka panjang akan ditinggalkan tapi kalau seberapa panjang? Ada yang bilang 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, kalau kita bahas dalam waktu dekat ini 2-3 tahun masih tinggi, kenapa harus ditinggalkan sekarang? Semua bertahap, perusahaan yang punya cadangan 10 tahun emang dipikirin toh demand 5-10 tahun masih tinggi ya sudah kita produksi saja terus,” jelas dia.
Kekhawatiran terhadap turunnya kuota ekspor batu bara belum terasa. Adapun terkait rencana gasifikasi, Hendra pun tidak banyak menjawab perihal rencana ini. Namun, jika pemerintah memiliki program gasifikasi untuk mengganti LPG ke DMO para pengusaha belum menghitung proyeksi dari bisnis baru.
“Sekarang kita melihatnya apakah sudah siap untuk investasi dengan berbagai infrastruktur yang sudah diberikan oleh pemerintah. Rasanya belum, karena ini tetap saja masih mahal ya. Tapi jujur ini positif dari sisi penambang juga untuk memberikan kepastian,” beber dia.
Masa Depan Batu Bara
Pertanyaannya, mau sampai kapan Indonesia bergantung pada batu bara? Mengutip kajian yang dilakukan Greenpeace, besarnya cadangan batu bara tak akan selamanya memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Dalam jangka panjang, Indonesia akan dihadapkan pada rendahnya nilai keekonomian batu bara itu sendiri.
Dalam kajian berjudul "Menimbang Urgensi Transisi Menuju Pembangkit Listrik Energi Baru Terbarukan di Indonesia" itu, Greenpeace mengungkap seiring berjalannya waktu, biaya eksploitasi atau penggalian tambang batu bara akan mengalami peningkatan. Tingginya biaya eksploitasi ini hanya bisa diimbangi bila harga batu bara berada pada tingkat harga tertentu.
Hal yang jadi masalah, sektor produksi batu bara rentan menghadapi volatilitas/fluktuasi harga. Sebagai gambaran sederhana, harga acuan batubara (HBA) pernah tercatat mencapai US$127/ton pada Februari 2011 lalu ambles ke level terendah di posisi US$51,2/ton.
Fluktuasi harga batu bara bak roller coaster kembali terjadi pada 2021. Mengutip data Kementerian ESDM, HBA pada Maret 2021 berada di posisi US$84,47/ton lalu naik menyentuh level tertinggi di level US$215,01/ton pada November 2021 lalu anjlok lagi jadi US$159,79 pada desember 2021.
Singkatnya, kenaikan harga batu bara mungkin bisa jadi angin surga bagi penerimaan negara dari ekspor, tapi di saat bersamaan jadi neraka dalam hal biaya penyediaan energi listrik pembangkit berbasis batu bara yang pada akhirnya bisa meningkatkan beban negara.
Fluktuasi harga batu bara pernah bikin keuangan PLN berdarah-darah. Tercatat, PLN pernah mencetak rugi sebelum subsidi sebesar Rp20,18 triliun pada 2017. Di tahun yang sama, PLN mencatat volume kebutuhan batubara naik 8,22% menjadi 54.711,8 ribu ton dari 50.556,4 ribu ton di 2016.
Di sisi lain, perkembangan teknologi pemanfaatan batu bara untuk tenaga listrik juga diyakini tak akan cukup efektif mengurangi laju polusi udara yang timbul dari pembakaran batu bara.
Research and Program Manager Trend Asia Andri Prasetiyo mengatakan, sekalipun muncul teknologi mutakhir untuk mereduksi jumlah polusi yang dilepaskan pembangkit batu bara ke udara, tingkat polusi yang timbul diyakini tak akan berkuran terlalu signifikan mengingat jumlah pembangkitnya sendiri yang terbilang terlalu banyak.
“Ke depan kalau ada green coal teknologi itu sebenarnya tidak cukup mengurangi karbon secara signifikan. Jumlah karbonnya besar. Kalau kita mau capai skenario supaya laju persoalan krisis iklim itu di bawah 1 ½ derajat maka clean coal teknologi itu gak cukup,” kata dia kepada Tirto, Selasa (28/12/2021).
Ia lantas menyinggung keberadaan teknologi ultra supercritical (USC) pada pembangkit listrik batu bara generasi modern, salah satunya seperti yang diterapkan pada PLTU Jawa 7. Dalam laman resmi PLN, teknologi USC adalah teknologi yang mampu meningkatkan efektifitas pembakaran batu bara pada sebuah pembangkit.
Teknologi ini digadang-gadang mampu menghasilkan energi listrik hingga 15 persen lebih besar dari pembangkit biasa dan mampu menekan jumlah polusi yang lebih rendah dan lebih ramah lingkungan.
Namun, sekali lagi Andri Prasetiyo menegaskan, itu tak akan banyak memberi perbedaan pada tingkat polusi udara yang ditimbulkan dari PLTU berbahan bakar batu bara. Teknologi USC bukannya menghilangkan polusi sama sekali, karena tetap ada polusi dalam jumlah besar yang dilepaskan ke udara dari PLTU yang memanfaatkan panas dari pembakaran batu bara.
“Ultra supercritical yang diklaim bisa mereduksi emisinya sampai 35-40 persen gak jadi solusi, karena masih sekitar 60-65 persen emisi dan itu jumlahnya besar,” tegasnya.
Selain tak jadi solusi, teknologi ultra supercritical dinilai masih belum stabil dan masih membutuhkan penyempurnaan sana-sini sebelum diaplikasikan ke PLTU.
“Itu kan teknologi yang belum established. Jadi pengolahan batu bara dengan skema ultra critical tidak jadi solusi. Karena pada akhirnya PLTU nya harus terhenti dan transform ke sumber energi terbarukan,” terang dia.
Melihat prospek batu bara terhadap ekonomi dan lingkungan, Andri memandang, pemerintah sudah harus mulai memikirkan alternatif atau jalan keluar dari ketergantungan terhadap batu bara ini.
Komitmen Tumpul
Lebih jauh, komitmen pemerintah menekan penggunaan batu bara kian terasa tumpul bila melihat kebijakan yang ada saat ini. Pemerintah tampaknya tak sepenuh hati menghapuskan pemanfaatan batu bara. Buktinya, pemerintah masih berencana mengoptimalisasi pemanfaatan batu bara untuk menekan impor energi melalui gasifikasi dan likuifaksi batu bara.
Inisiasi itu lahir sebagai upaya menyelamatkan industri batu bara dari kekhawatiran 'kepunahan' di masa depan seiring dengan komitmen dunia mengurangi pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik. Hasil likuifikasi batu bara yang diberi nama Dimetil Eter (DME) ini rencananya akan digunakan sebagai komponen pengganti energi rumah tangga yang ada saat ini, liquefied petroleum gas (LPG).
Strategi ini dibalut oleh kajian pemerintah yang menyebut DME akan membantu pemerintah menekan biaya impor LPG yang menurut data Kementerian ESDM mencapai Rp80 triliun per tahun.
Pemerintah cukup serius untuk merealisasikan strategi tersebut. Teranyar, pemerintah menandatangani nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dengan Air Products and Chemicals, Inc (APCI) di Dubai pada pertengahan November 2021.
Nota kesepahaman proyek gasifikasi batu bara itu ditandatangani Menteri Investasi merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia dengan disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo.
Gabungan perusahaan ini memastikan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME terus berlanjut untuk mengurangi ketergantungan pada impor LPG. Hal ini sejalan dengan upaya mewujudkan ketahanan energi dan penguatan green economy di Indonesia sesuai arahan Jokowi.
Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan kontrak di 2021, pada 24 Januari 2022 proyek pembangunan hilirisasi batu bara menjadi DME sudah mulai dilakukan. Presiden Jokowi secara langsung melakukan groundbreaking pada akhir Januari lalu di Muara Enim, Sumatera Selatan.
Proyek pembangunan hilirisasi ini akan digarap oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bersama dengan PT Pertamina dan Air Products & Chemicals Inc. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menjelaskan, total investasi untuk membangun proyek ini mencapai Rp33 triliun yang bersumber dari PMA dari Amerika Serikat.
“Proyek ini seharusnya bisa selesai 36 bulan, tetapi kami rapat dengan Air Product, kami minta 30 bulan. Investasi ini ful dari Amerika Serikat, bukan dari Korea Selatan, bukan dari Jepang, bukan juga dari Tiongkok. Jadi sekaligus penyampaian bahwa tidak benar ada penyampaian negara kita ini hanya fokus investasi dengan satu negara,” jelas dia dalam konferensi pers, Senin (24/1/2022).
Bahlil menjelaskan, proyek ini akan menyerap lapangan pekerjaan 12.000 sampai 13.000 dari konstruksi yang dilakukan Air Products, kemudian sekitar 11.000 sampai 12.000 dilakukan di hilir oleh Pertamina. Ia menambahkan, total realisasi investasi DME ini merupakan yang terbesar setelah Freeport pada 2022.
"Lapangan pekerjaan disiapkan yang tetap 3.000. Itu yang langsung. Kalau yang tidak langsung, kontraktornya, subkontraktornya, multiplier effect, itu bisa tiga sampai empat kali lipat dari yang ada,” terang dia.
Ia menjelaskan, dengan dibangunnya hilirisasi batu bara pemerintah Indonesia akan bisa mengurangi impor gas. Pasalnya proyek ini akan LPG dengan produk olahan lokal yaitu DME.
“Impor gas elpiji rata-rata 1 tahun 6-7 juta, subsidi kita cukup besar. Di dalam perhitungan kami, setiap 1 juta ton hilirisasi, kita bisa melakukan efisiensi sekitar Rp 6-7 triliun dari subsidi. Jadi tidak ada alasan lagi untuk kita tidak mendukung program hilirisasi,” tandas dia.
Sayangnya, langkah ini semakin membuat komitmen pemerintah untuk beralih ke energi hijau ramah lingkungan semakin dipertanyakan.
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Cheny Wongkar menilai, kebijakan gasifikasi batu bara menjadi DME menjadi bukti pemerintah tak serius membawa Indonesia menuju energi bersih. Kebijakan DME jelas-jelas bertentangan dengan komitmen clean energy dan transisi energi.
“Masalahnya Legislasi di Indonesia masih kurang matang dan akomodatif dalam menyokong percepatantransisi energI. Kita lihat saat ini pengaturan, pengaturan terkait energI baru dan terbarukan masih dalam level peraturan menteri yang sering berubah dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi investor,” kata dia dalam sebuah diskusi online yang digelar pada 21 November 2021.
Alasannya jelas, dalam konteks energi baru terbarukan, DME sebagai gasifikasi batu bara bukanlah energi baru karena masih merupakan produk turunan batu bara. Tentu juga bukan energi terbarukan karena berbasis batubara yang cadangannya bisa habis.
“Energi turunan batu-bara ini tidak layak untuk kita eskalasi. Terlebih ada potensi kerugian negara dari hasil mensubsidi proyek gasifikasi yaitu sekitar $370 juta,” jelas dia.
Berdasarkan analisanya, jika produk turunan batu bara tetap masuk ke dalam RUU EBT, maka program pengembangan energi baru yang lebih ramah lingkungan akan terganggu.
Terlebih, DME tak akan benar-benar mampu membuat pemerintah berhemat. Mungkin pemerintah tak lagi terbebani dengan biaya impor LPG atau subsidi untuk menyediakan energi rumah tangga ini. Namun, tetap ada biaya dalam jumlah besar yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menyediakan DME.
Cheny Wongkar menjelaskan, kebutuhan anggaran untuk mendukung program gasifikasi batu bara menjadi DME bisa menggerus porsi belanja negara untuk membiayai program penyediaan energi ramah lingkungan. Artinya, bukannya menjadi solusi, penyediaan DME justru bisa mengganggu upaya transisi energi itu sendiri.
“Jadi alokasi dana atau insentif tidak hanya untuk energi [green] terbarukan saja, tapi lebih kepada energi baru [turunan batu bara] artinya dalam proses pendanaan ini yang seharusnya mengutilisasi energy terbarukan malah menutup kebutuhan energi baru," kata dia.
Sebetulnya perlu insentif yang khusus seluruhnya digunakan untuk pengembangan ke arah energi terbarukan. Namun jika produk turunan Batubara masih masuk ke RUU EBT membuat pembangunan menjadi terhambat.
“Jika energi baru masih masuk RUU EBT kemungkinan energi terbarukan akan kalah saing dengan energi lainnya. Sehingga tidak tercapai kemudian target-target untuk menekan emisi dan menciptakan energi terbarukan seperti apa yang kita inginkan," tegas dia.
Hal senada diungkapkan Peneliti dan Manajer Program Trend Asia Andri Prasetiyo. Ia mengatakan bahwa tak ada untungnya pemerintah tetap mempertahankan keberadaan batu bara lewat DME. Selain kontradiktif dengan komitmen transisi energi, penyediaan DME juga berpotensi menimbulkan masalah baru bagi keuangan negara.
“Gasified coal itu mahal harganya $470 per ton, sedangkan elpiji $365 per ton. Jadi secara produksi itu mahal. Kemudian untuk investasi awalnya pun mahal banget. Untuk bangun pengolahan gasified coal itu butuh biaya Rp28 triliun untuk satu proyek,” terang dia.
Adapun berdasarkan sebuah diskusi yang diselenggarakan pada akhir 2021, PT Bukit Asam sebagai salah satu perusahaan yang masuk dalam proyek gasifikasi meminta kepastian mengenai subsidi yang akan diberikan pemerintah untuk menggarap proyek tersebut.
“Sekarang itu yang menerapkan itu hanya Cina. Di sana banyak proyek yang harus tutup karena gasifikasi itu nilai keekonomiannya sangat tinggi. Dulu kan PT Bukit Asam bilang gasifikasi ini murah bisa untuk cover subsidi dan impor LPG tapi kenapa sekarang [akhir tahun 2021] malah minta kepastian subsidi,” terang dia.
Ia mengatakan, jika program DMO tetap dipaksakan sebagai proyek nasional, maka negara akan mengalami kerugian sampai $377 juta atau sekitar Rp15 miliar/tahun.
Kerugian tersebut berasal dari subsidi sana sini yang dilakukan pemerintah agar DMO bisa dibeli oleh masyarakat dengan harga yang lebih logis. “Akhirnya create demand di dalam negeri untuk selamatkan batu bara lewat gasifikasi. Tapi kalau nilai keekonomian tinggi ke depan kalah sendiri," jelas dia.
Andri menjelaskan, jika harganya mahal dan membebani keuangan negara lewat subsidi sana-sini, maka gasifikasi batu bara menjadi tidak relevan secara pasar. Maka dari itu di masa depan, batu bara tidak akan sukar untuk dihentikan.
Untuk itu, ia menyimpulkan, daripada pemerintah sibuk memikirkan strategi untuk memperpanjang 'umur' industri batu bara seperti pengadaan DMO, lebih baik fokus pada pembiayaan untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang lebih selaras dengan komitmen transisi energi.
"Karena batu bara juga akan kalah secara pasar. Gak ada demand, mau dikembangkan dengan produk turunan juga ongkosnya lebih besar, kemudian itu kan high political policy, kalau gak ada subsidi gak akan survive,” terang dia.
===============
Naskah ini terbit atas dukungan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Traction Energy Asia dan bagian dari fellowship Akademi Jurnalisme Ekonomi Lingkungan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz