tirto.id - Presiden Joko Widodo boleh saja memiliki target ambisius untuk ketenagalistrikan sebesar 35.000 Megawatt. Di sisi lain, Perusahaan Listrik Negara yang memonopoli penyediaan listrik di seluruh Indonesia, harus putar cara menambah konsumsi di tengah surplus pasokan listrik terutama di Jawa dan Bali.
Ambisi Jokowi sejak 2015 itu ditopang oleh beragam pembangunan pembangkit listrik yang baru, dan masalah utama dari megaproyek itu menyerap sumber energi "kotor" terutama dari batu bara.
Hal itu tergambar dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2018-2027. Rencana bauran energi dari PLTU masih pada angka 54,4%, sementara Energi Baru Terbarukan 23%. Ia menunjukkan listrik Indonesia masih bergantung pada batu bara.
Dalam tren global, penggunaan batu bara telah menurun, salah satunya berkat desakan Persetujuan Paris 2015, telah dimulai sejak 2013. Di Tiongkok, pembangkit listrik batu bara menurun 3,7% pada kuartal pertama 2015. Sementara di Amerika Serikat, 24 perusahaan batu bara berhenti beroperasi dalam tiga tahun terakhir.
Tren itu berdampak pada iklim investasi batu bara. Sejumlah negara enggan membiayai energi kotor.
Di Indonesia, efek ini terlihat pada sejumlah proyek pembangkit listrik yang "mangkrak" lantaran masalah pendanaan, salah satunya PLTU 9 dan 10 Suralaya di Banten.
PLTU Suralaya 9 dan 10 dibangun pada 2019 dan direncanakan selesai pada 2024. Total keduanya berkapasitas 2.000 Megawatt. PT Indo Raya Tenaga, anak perusahaan Indonesia Power, memegang proyek senilai 33 miliar dolar AS itu bersama Doosan Heavy dan Korea Midland Power.
Berdasarkan data endcoal.org, pendanaan PLTU Suralaya 9 dan 10 oleh Korea Development Bank, Korea Export-Import Bank, dan Korea Trade Insurance Corporation berstatus "pending".
Proyek itu disorot oleh sejumlah organisasi lingkungan, termasuk dari WALHI, Greenpeace Asia Tenggara, dan Global Witness, yang mengirim surat kepada para investor seperti DBS Bank dan beberapa bank lain untuk mempertimbangkan kembali rencana menyuntik modal.
PT Indo Raya Tenaga, dalam jawaban tertulis kepada Tirto, menampik status penundaan tersebut. "Masih ada investor yang bersedia membiayai karena pembangkit kami didesain dan dilengkapi peralatan untuk memenuhi baku mutu lingkungan yang ditetapkan pemerintah,” tulisnya.
Sementara Wakil Presiden Humas PLN Dwi Suryo Abdullah berkata “PLTU bukan energi kotor." PLTU batu bara yang saat ini akan dibangun menggunakan teknologi ultra super critical, tambahnya. "Sangat cocok dikembangkan karena 99,999 persen fly ash tertangkap oleh peralatan yang terpasang di PLTU."
"Jadi, bukan energi kotor,” ucap Dwi kepada Tirto.
Ultra Super Critical yang dimaksud Dwi merupakan rekayasa teknologi yang beroperasi pada suhu dan tekanan di atas titik kritis air sehingga secara teori pembakarannya menjadi lebih efisien dan membutuhkan sedikit batu bara.
Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI Dawi Sawung berpendapat pemerintah Indonesia seharusnya tak perlu membangun pembangkit lagi, terutama di Jawa-Bali.
Meski begitu, pemerintah terus membangun pembangkit baru tanpa menghentikan pengoperasian pada pembangkit lama.
PT Indonesia Power, anak usaha PLN yang menjalankan usaha komersial pada bidang pembangkitan tenaga listrik, mengagunkan ketiga pembangkit dan empat pembangkit Suralaya lain.
Pada September 2017, PT Indonesia Power menawarkan aset-aset berharga lewat mekanisme EBA Danareksa Indonesia Power PLN 1-Piutang Usaha (EBA DIPP1). Pada tahap pertama, nilai EBA Suralaya 1-7 ditawarkan Rp4 triliun dari total target Rp10 triliun. Upaya mencari dana itu demi membiayai PLTU Suralaya 9 dan 10, bagian dari megaproyek 35 ribu MW.
Maka, dengan mekanisme seperti itu, PLTU Suralaya 1-3 tak bisa berhenti beroperasi. Padahal, idealnya masa beroperasi pembangkit listrik hanya sampai 25-30 tahun, sementara PLTU Suralaya 1 saja sudah beroperasi sejak 1985 atau 34 tahun.
Pembangkit tua seperti Suralaya 1-3, menurut Dawi Sawung dari WALHI, membutuhkan lebih banyak batu bara untuk menghasilkan listrik dibandingkan pembangkit baru yang sudah menggunakan teknologi ultra super critical.
"PLN sempat meminjam uang ke Jerman untuk memasang teknologi tertentu agar pembangkit itu lebih ramah lingkungan. Tapi, tetap tidak mengejar juga emisinya. Memang seharusnya dipensiunkan,” imbuh Sawung.
Tirto meminta tanggapan kepada Wakil Presiden Humas PLN Dwi Suryo Abdullah untuk mengklarifikasi model pencarian dana yang dilakukan PLN di Suralaya tersebut, tapi ia belum menjawab hingga laporan ini dirilis.
99 Pembangkit Listrik Ditunda
Proyek-proyek pembangkit listrik ditunda tak cuma di PLTU Suralaya 9 dan 10. Sebagian karena masih sulit mencari sumber pendanaan. Meski begitu, proyek-proyek itu tidak dihilangkan dari daftar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang disusun PLN.
Berdasarkan RUPTL PLN 2018-2027, setidaknya ada 99 pembangkit listrik yang ditunda, termasuk PLTU, PLTA, PLTG, PLTMG, dan PLTP. Seluruh 99 pembangkit itu tersebar Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua.
Di Sumatera, ada sekitar 62 pembangkit listrik yang ditunda, empat di antaranya PLTU Bangka-1B, PLTU Nias, PLTU Tanjung Balai Karimun-1, PLTU MT Sumatra 1 MT. Alasan dalam keterangan resminya, proyek-proyek ini ditunda karena proyeksi permintaannya rendah sehingga akan dilanjutkan pada 2027.
Sementara di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, ada 26 pembangkit yang ditunda dengan alasan yang sama, termasuk PLTU Jawa 5 dan 6, PLTU Lombok 3, dan PLTU Timor 2.
Di Kalimantan, ada empat proyek PLTU yang ditunda dengan alasan "kebutuhan sistem" tetapi tanpa penjelasan terperinci. Di Sulawesi, PLTU Sulbagut 2 ditunda dengan alasan yang sama.
Dawi Sawung dari WALHI berpendapat alasannya "cenderung politis" karena mungkin takut dibilang megaproyek 35 ribu Megawatt itu gagal.
Ia menyebut penundaan itu memang imbas dari "salah asumsi" sedari menargetkan proyek listrik 35 ribu Megawatt.
"Banyak ahli sudah mengutarakan Indonesia tidak membutuhkan suplai sebesar itu. Maksimal paling besar 31 ribu Megawatt,” ujarnya.
==========
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam