tirto.id - Pengembangan energi ramah lingkungan di Indonesia adalah sebuah keharusan. Tapi di Indonesia, perkaranya jadi pelik karena energi sudah jadi perkara politik. Setidakya itu lah yang dilihat oleh Riki Ibrahim, Dirut PT Geo Dipa Energi (Persero)—operator pembangkit listrik geothermal (PLTP) wilayah Dieng dan Patuha.
Meski perusahaanya bekerja dengan jaminan dari pemerintah, Riki paham betul apa yang dirasakan oleh para pengusaha listrik energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Salah satunya, soal formula tarif harga jual listrik yang lebih rendah ketimbang energi fosil dinilai tak ramah investasi.
Harga jual listrik EBT yang dipatok maksimal 85 persen dari biaya pokok produksi (BPP) itu menurutnya memberatkan, terutama karena BPP itu dipukul rata dengan pembangkit listrik bahan bakar fosil seperti batu bara. Padahal, investasi pembangkit EBT butuh biaya lebih besar ketimbang pembangkit fosil.
Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, memang sudah berkomitmen untuk memberikan insentif. Tapi perbaikan tak boleh berhenti di situ.
“Pembangunan pembangkit model bisnisnya juga harus diperjelas, dan memudahkan investor. Jangan sampai proses lelang ini jadi mainannya PLN. Apalagi mereka sendiri sudah yang sekarang paling bisa menentukan harga,” kata dia.
Banyak hal yang disampaikan Riki saat kami mewawancarainya pada Rabu sore (6/11/2019) di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pria yang mendapat gelar Doktor di bidang Reservoir Engineering dari Standford University, California, Amerika Serikat itu sangat antusias dan bersemangat.
Kami meminta pandangannya sebagai professional di bidang EBT, sekaligus perwakilan pemerintah, untuk mengetahui prospek dan tantangan pengembangan energi bersih di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:
Sebagai Dirut Geodipa, salah satu operator pembangkit listrik geothermal, bagaiamana Anda melihat prospek energi baru terbarukan di Indonesia?
Di Indonesia sektor energi ini sangat kental politiknya. Makanya saya bertanya, siapa yang bisa membemperi sektor energi ini di depan. Saya enggak tahu juga apakah Arifin Tasrif bisa.
Itu sebab investasi energi terbarukan di Indonesia tak menarik?
Energi fosil sudah mengakar menjadi komoditas politik. Dipolitisasi. Kenapa? Batu bara, migas dan sebagainya itu harga beli listriknya sudah harga pasar. Mereka jual listrik mahal. PLN beli untuk dijual dengan harga lebih murah ke masyarakat, dapat subsidi selisih harga dari pemerintah. Berlindunglah mereka di situ. Dan dibiarkan saja, cenderung didukung.
Otomatis energi baru dan terbarukan enggak bisa bersaing. Ini proyek baru, sementara batu bara, minyak bumi dan lain-lain proyek lama. Kalau harga kita harus mengikuti produksi batu bara, tidak bisa.
Kalau proyek lama gampang, pembangkit dan sebagainya sudah selesai. Bahan bakarnya ada dari dalam negeri. Sudah ada semua di sini. Kita geothermal, misalnya, enggak dikasih subsidi. Enggak dikasih apa-apa. Disuruh bersaing dengan mereka. Enggak bisa.
Kalau proyek, yang menarik itu adalah yang operation cost-nya kecil. Jadi begitu investasi, proyek selesai dan mulai beropersi, pengusaha mau yang operation cost kecil. Itu yang disenangi. Itu apa? Ya, Energi terbarukan.
Jadi alasannya karena enggak disubsidi? Atau ada yang lain?
Ya karena biaya awalnya, kan, memang mahal. Karena dia baru di Indonesia, jadi perlu modal awal yang mahal. Tapi apakah kita enggak mau pakai karena mahal? Sementara banyak negara di dunia sudah tidak mau lagi pakai fosil. Mereka bikin free fossil 2030, 2045. Karena mereka sadar, dengan energi fosil harganya akan semakin tinggi, dan merusak iklim.
Makanya investasi lebih menarik itu ke teknologi bersih dan efisien, yaitu energi baru terbarukan. Karena energi itu terus saja ada dan terbarukan. Panas bumi juga begitu. Bisa dijaga, terus menerus.
Untuk geothermal, proyek-proyek seperti Geo Dipa, apakah enggak dikasih subsidi dari pemerintah? Pengusaha sudah minta?
Sudah ada. Saya bilang begini bukan untuk ngalem-ngalemi Kementerian Keuangan. Tapi mereka memang komitmen sekali untuk melindungi sektor energi. Saya malah sedih kementerian sektor energi tidak seperti itu leadership-nya.
Apa komitmen kemenkeu?
Itu tadi, subsidi energi terbarukan. BKF (Badan Kebijakan Fiskal) sudah komitmen. Mereka panggil saya. Buka-bukaan lah kami, berapa sih harga produksinya, harga jualnya, keuntungannya. Mereka bilang, ini harus disubsidi. Tapi enggak bisa 30 tahun. Hanya cukup lima atau sampai sepuluh tahun.
30 tahun permintaan siapa?
Industri. Jadi, BKF bilang cukup. Lima tahun aja. Atau sepuluh tahun. Selesai. Karena apa? Panas bumi proyek yang sangat menarik. Ia butuh subisidi agar bisa untung dan untuk pengembalian modal awal.
Di Turki, misalnya, sudah melakukan itu. Energi terbarukan dikasih subisidi. Harga jual bisa dua sen per Kwh, sisanya disubsidi untuk menutupi biaya produksi dan margin. Perusahaan listriknya beli listrik mereka. Tapi lima tahun, saja. Setelah selesai mereka bussines as usual.
Di geodipa, produksi setahun harga listriknya $2,5-2,6 sen per kwh. Murah banget, kan.
Kenapa murah sekali, untuk Geo Dipa sudah sesuai skala keekonomian?
BPP, Biaya pokok penyedian atau produksi, entah bagaimana rumusannya saya enggak tahu harus diperbaiki. Ada harga di pulau Jawa 6.9 sen itu juga perlu diaudit. Benar enggak sih harga keekonomiannya segitu. Taruh lah bener segitu.
Kalau kami, harga paling tinggi 85 persen seperti dalam aturan kan harusnya bisa-bisa di atas $2,5 sen. Kita memang enggak boleh rugi, tapi kita dijamin pemerintah, karena itu kita kasih biaya lebih murah.
Kita mau bangun 400 megawatt dan harus diselesaikan. Setelah itu selesai bussinis as ussual. Unit II Dieng Pahuta itu harganya sekitar 350-370 juta dolar AS kita pinjam sama ADB. Sekitar 80 persen dari total investasi. Harapan saya mudah-mudahan bisa murah 350-325 dolar AS.
Untuk pembangkit energi baru terbarukan yang lain bagaimana, mereka kan belum ada kepastian subsidi atau insentif?
Makannya harus ada solusi. BPP-nya mau diubah, atau harganya mau disubsidi dengan waktu yang berbeda tergantung masing-masing proyek. Misalnya kita pinjam uang, harus selesai pengembaliannya lima sampai sepuluh tahun, ya sudah disubsidi lima sampai sepuluh tahun. Asalkan investasi awalnya sudah selesai, jangan minta lagi lah disubsidi.
Setelah subisidi selesai, sisanya gimana?
Setelah sudah enggak disubsidi harus jelas lah, BPP-nya harus kompetisi dengan energi fosil. Disamakan. Walau pun mereka dapat subsidi juga dari pemerintah dan lebih untung.
Saya enggak tahu bagaimana penghitungannya. Makanya harus terbuka variabelnya. Untuk pengembang yang baru termasuk IPP dapat subsidi berapa, kemudian pemain baru batu bara dapat berapa, kita harus lihat. Dari sana bisa dirumuskan bagaimana perlakuan yang adil buat produsen EBT. Harus dikaji betul, itu. Setelah itu baru lah bisa ditentukan, berapa sih subsidinya.
Pembangunan pembangkit model bisnisnya juga harus diperjelas, dan memudahkan investor. Jangan sampai proses lelang ini jadi mainannya PLN. Apalagi mereka sendiri sudah yang sekarang paling bisa menentukan harga.
Banyak orang-orang yang tetap mau main di energi kotor beralasan kalau EBT itu mahal. PLN juga begitu. Kalau diskusi alasannya “susah pengembangannya, Pak. Panas bumi atau yang lain, lima tahun tujuh tahun baru bisa jalan. Kalau batu bara, bapak beli aja semuanya sudah ada. Mau bangun paling tiga tahun sudah jadi, mesin ambil saja dari cina. Langsung 1000 megawatt. Kalau panas bumi, plts, surya, paling banter 100 MW.” Ngomongnya kayak gitu.
Makanya komitmen itu penting. Kalau mau, ya beri insentif. Misalnya panel surya kasih insentif supaya semua gedung bisa dikasih itu. Nah PLN bagaiamana tuh, mereka protes enggak, Listrik batu bara diesel jadi enggak laku?
Nah, karena itu, PLN itu juga harus mengcreate demand. Jangan bilangnya sekarang enggak ada yang mau pakai EBT. Terus maunya apa? Ah kita pakai fosil aja deh. Yang sudah ada. Itu permainan siapa? Ya ada mafianya lah di sana. Banyak caranya.
Bagaimana PLN ciptakan demand?
Ya dibuatlah yang bisa pakai EBT. Duduk bareng lintas kementerian. Misalnya daerah mana yang feasible panas buminya? Ya dibuat dong di sana sentra wisata, listriknya pakai geothermal. Atau air, misalnya. Di dekat sumber itu, dibuat lah daerah industri yang pakai listrik tenaga air.
Daerah smelter misalnya, ya disediakan, tempatnya. Dan nanti pembangkit listrik EBT. Dan subsidi larinya ke sana.
Karena tergantung daerah potensi EBT-nya, pasti ada derah yang enggak punya sumber EBT masih pakai fosil...
Kalau enggak bisa ya pakai transmission line. Kan bisa. Connectivity antar daerah itu gampang lah, ada aja caranya. Bisa aja lah kalau mau kerja. Nah, ini enggak ada.
Hal-hal seperti itu harusnya awalnya dari kementerian ESDM. RUKN-nya bagaimana, nanti baru diikuti RUPTL. Tapi ya boleh dikatakan kementerian ESDM selama ini masih lemah perjuangkan ini. Memangnya panas bumi ada di setiap kota, nah itu pasti jadi alasan kan nanti. Harusnya kan balik lagi, kalau kita komitmen, dikasih prioritas lah.
BUMN, PLN, harus memikirkan how to create demand. Kalau misalnya di sumber EBT enggak ada, mereka harus koordinasi dengan kementerian atau lembaga lainnya untuk menciptakan pasarnya.
Kita ini mau menjadikan energi sebagai titipan atau warisan? Kalau sebagai warisan, pakai fosil aja, sisa-nya ya enggak usah peduli. Tapi kan enggak. Harus dititipkan ke anak-cucu.
Ke mana energi fosil ke depan digunakan?
Fosil kan bisa tetap dimanfaatkan, misalnya buat petrokimia, hilirisasi, kan bisa. Tetap dipakai. Tapi prioritas energi bersih, energi baru dan terbarukan.
PLN ya enggak bisa disalahkan juga. Tapi lihat atasannya, menteri BUMN-nya siapa. Kalau misalnya ini sudah diatur oleh ESDM, menteri BUMN enggak mau kan repot. Makannya harus duduk bersama atasan-atasan ini. Jangan sampai energi jadi terus-terusan komoditas politik. Maunya energi kotor terus karena pemainnya besar-besar.
Semua tergantung ESDM. Sekarang kan di daerah-daerah baru pakainya minyak, harganya kan mahal. Apa enggak gila.
Perbankan dinilai sudah mulai enggan mendanai proyek energy kotor, apa ini betul?
Ya itu, benar. Negara mana yang mau investasi buat fosil. Cina mau, tapi khusus, dia mau pakai yang teknologi tinggi.
Ini jadi salah satu penyebab pendanaan untuk PLTU di Indonesia susah?
Ya karena itu, enggak banyak yang mau pembangunan seperti itu. Masyarakat kan juga pasti menolak. Tantangannya luar biasa. Kecuali yang berteknologi tinggi. Karena itu harus di-switch cepat ke EBT.
Panas bumi potensial tapi eksplorasinya beresiko bagaimana?
Pana bumi Indonesia itu terbesar di dunia. Potensinya 29.000 MW. Kami sudah dapat penugasan. Geo Dipa akan lakukan eksplorasi potensi panas bumi di seluruh Indonesia, setelah selesai kita berikan hasilnya ke pemerintah. Nanti Dirjen EBTKE akan lakukan tender setelah eksplorasi selesai. Jadi investor makin tertarik dan mendapatkan kepastian soal adanya cadangan.
Kita kan kepanjangan pemerintah, dan penugasan kita misalnya drilling, eksplorasi, nanti kalau sudah selesai tinggal swasta yang masuk.
Kita ini SMV. Melakukan penugasan yang unik. Engga profit oriented sepenuhnya. Jadi sekarang orientasinya bagaimana membangun listrik ini dan bisa dimanfaatkan di daerah. Jadi kita hanya memberikan sarana dan prasarana saja. Sisanya swasta.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mawa Kresna