Menuju konten utama

Dilema Indonesia soal EBT Hanya Bikin Transisi Energi Kian Suram

Indonesia semestinya tak perlu galau soal energi terbarukan meski Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris.

Dilema Indonesia soal EBT Hanya Bikin Transisi Energi Kian Suram
Teknisi sedang melakukan pemeriksaan instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (3/9/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menarik negara yang dipimpinnya dari Perjanjian Paris rupanya bikin Indonesia seolah kehilangan arah. Pada 2015, Indonesia bersama ratusan negara lainnya, termasuk AS, menandatangani perjanjian ini sebagai kesepakatan global dalam menghadapi perubahan iklim.

Namun demikian, pasca AS hengkang, Pemerintah Indonesia jadi kelimpungan. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, baru-baru ini mengatakan komitmen Indonesia terhadap transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) makin berada dalam kondisi penuh ketidakpastian.

“Kenapa? Karena energi baru terbarukan ini, kan, komitmen dari Paris Agreement. Yang menginisiasi Paris Agreement perlahan-lahan sudah mulai mundur. Amerika sudah mulai mundur dari itu setelah mengkaji ulang,” kata Bahlil di The Westin, Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Bahlil pun mempertanyakan keberlanjutan komitmen terhadap Paris Agreement usai mundurnya AS dari kesepakatan tersebut.

“Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur barang ini? Mundur daripada Paris Agreement, padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri,” ujarnya.

Kata Bahlil, AS merupakan negara yang memiliki peran besar dalam pembentukan dan pemeliharaan kesepakatan internasional terkait perubahan iklim. Maka, ketika negara pelopor mundur, meminjam kata Bahlil, “masak kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?”

Ketum DPP Partai Golkar tersebut mengakui kalau biaya atau ongkos untuk pengembangan EBT lebih besar ketimbang energi dengan emisi karbon yang masih tinggi.

Bahlil menjelaskan, mewujudkan kedaulatan energi tak harus berarti seluruh energi diganti menjadi EBT. Dia mengatakan, Indonesia masih melakukan perhitungan potensi energi hijau yang ada, seperti dari matahari, air, geothermal, batu bara, dan angin.

Sontak, pernyataan Bahlil menuai kritik, salah satunya dari pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi. Menurutnya, ungkapan ini bertentangan dengan visi Presiden Prabowo Subianto soal target zero emission, di mana syarat untuk mencapainya yakni seluruh pembangkit listrik harus menggunakan bahan energi terbarukan.

“Kendaraan bermotor itu harus beralih ke kendaraan listrik, pabrik itu harus ada pengolahan limbah tadi, asap juga harus dikurangi, sehingga akan mencapai zero carbon. Kalau Bahlil masih ingin mengembangkan fosil, artinya target zero carbon 2060 tidak akan tercapai,” kata dia saat dihubungi Tirto, Jumat (31/1/2025).

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menilai, di Indonesia sendiri memang masih banyak perdebatan mengenai energi terbarukan yang baik digunakan.

“Tapi kalau lihat risetnya sebenarnya sudah banyak bahwa Indonesia ini kan negara kepulauan dengan berbagai macam potensi yang ada di daerahnya. Harusnya melihat potensi apa yang ada di daerahnya tersebut. Jadi jangan dipaksakan misalnya mau geothermal, tapi sebenarnya ada potensi lain yang lebih less impacting, seperti solar panel atau gimana. Dan itu dari perhitungan. Kalau memang sedang perhitungan ya harapannya itu harusnya sejak lalu sudah dibuat,” ungkap Bondan kepada Tirto, Jumat (31/1/2025).

Bondan pun menggarisbawahi soal bagaimana energi terbarukan semestinya tidak berdampak kepada masyarakat di sekitarnya, alias menerapkan prinsip justice. Jadi, jangan sampai kemudian menggunakan energi terbarukan, tapi justru memunculkan konflik lahan, penggusuran, atau pemaksaan.

Fokus Energi Terbarukan dalam Negeri Makin Suram

Bondan menilai, dilema yang dirasakan negara berkembang seperti Indonesia atas hengkangnya AS dari Perjanjian Paris sebenarnya merupakan hal yang wajar. Menurutnya, hal ini barangkali juga dirasakan oleh sejumlah negara lainnya.

Meski begitu, keluarnya AS dari Perjanjian Paris bikin perjanjian global yang seharusnya bisa menjadi tekanan besar untuk membuat aksi nyata dalam menghadapi perubahan iklim menjadi lemah.

“Terus yang kedua adalah, artinya kan selain aksi iklim, yang diharapkan atas Paris Agreement itu artinya harusnya ada aksi nyata, solusinya apa. Saya mendukung energi terbarukan, termasuk pendanaan dan segala macam. Jadi kalau udah keluar dari situ, artinya kan itu akan berdampak pada semuanya. Artinya juga pendanaan, kita salah satunya berharap dari negara luar,” kata Bondan.

Bondan beranggapan, fokus energi terbarukan di Indonesia bakal semakin suram, mengingat semakin longgarnya tekanan global dan kebijakan di Tanah Air yang masih semrawut.

“Bahkan, undang-undang energi terbarukannya adalah menempatkan nuklir dalam energi baru, termasuk juga yang lainnya gitu. Jadi, ini dilema-dilema yang sebenarnya di global sudah enggak jelas, di Indonesia tuh kebijakannya makin terlihat gak jelas,” lanjut Bondan.

Kebijakan energi terbarukan di Indonesia sendiri termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Terkhusus energi terbarukan, UU tersebut mengamanatkan bahwa penyediaan EBT wajib ditingkatkan oleh pemerintah nasional dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pemerintah bersama DPR RI mengamanatkan penyusunan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang jelas dan terukur, sebagai pedoman dalam pengelolaan energi nasional dengan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional.

KEN dirancang dan dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Lewat persetujuan DPR RI, KEN ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. KEN menargetkan pemanfaatan EBT setidaknya mencapai 23 persen dari bauran energi primer nasional pada 2025 dan mencapai 31 persen pada 2050.

Sayangnya, per akhir 2023, DEN menyatakan kalau capaian bauran EBT dalam bauran energi nasional hanya di level 13,29 persen, masih jauh di bawah target. Bukan malah mengupayakan untuk menyentuh target, KEN baru justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025.

Laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul “Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025” bahkan mengungkap bagaimana bauran energi fosil terus naik, pasokan listrik dari PLTU mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir, sedangkan pertumbuhan energi terbarukan jauh lebih rendah.

IESR pun menilai transisi energi di Indonesia berada di persimpangan jalan antara tetap mengakomodasi kepentingan ekonomi dan politik dari industri fosil, atau segera beralih ke energi terbarukan dan membangun ekonomi rendah karbon.

Jadi, keraguan dalam menentukan arah ini sebenarnya sudah terpotret sejak sebelum keluarnya AS dari Perjanjian Paris. Seperti kata Bondan, momen ini pada akhirnya malah bikin fokus EBT di Tanah Air makin kelam.

Perlu Gerakan Revolusioner agar Tak Hanya Jadi Omon-Omon

Meski Bondan menilai kebimbangan Indonesia setelah AS keluar dari Perjanjian Paris wajar, tapi ia mengungkap kalau Indonesia bisa memilih opsi untuk bekerja sama dengan negara-negara lain. Ke depan, Indonesia bisa fokus untuk meninggalkan energi fosil.

“Jadi ya tinggalkan itu energi-energi fosil, batu bara, dan segala macam yang masih terus dipakai. Dan lagi-lagi, udah pakai hashtag fokus di terbarukan itu kan sebagai bentuk nyata yang harusnya solusi palsu enggak dipakai lagi,” kata Bondan.

Sementara itu, menurut Fahmy, Indonesia perlu melakukan gerakan revolusioner untuk penerapan energi terbarukan. Misalnya, memaksa PLN melalui regulasi untuk meninggalkan batubara secara bertahap. Kemudian wajib untuk mengembangkan EBT dengan cara tertentu.

“Kemudian ada regulasi yang memaksa juga bagi penambang, misalnya 40% produksi itu harus dikembangkan menjadi EBT tadi melalui karstifikasi atau apa itu ya. Penambang tadi bisa melalui perorangan, bisa juga melalui konsorsium untuk melakukan hilirisasinya tadi, jadi harus dipaksa dengan regulasi itu ya kalau dibiarkan sukarela, ya mereka pilih mending batubara, dijual dengan sangat mudah,” jelas Fahmy.

Tanpa gerakan revolusioner, kata Fahmy, kegagalan periode Jokowi dalam transisi energi akan terulang pada era Prabowo. Dan apa yang dipidatokan Prabowo soal target bebas emisi tidak lebih dari sekadar omon-omon.

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Abdul Aziz