tirto.id - Transisi energi menjadi salah satu fokus jangka panjang Indonesia. Hal ini dianggap bisa menunjukkan komitmen Indonesia untuk memperluas penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan dan terjangkau.
Pada 2023 silam, Airlangga Hartarto, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan pemerintah sudah meningkatkan target komposisi Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) menjadi 23 persen pada 2025, dan 31 persen pada tahun 2050.
Sejalan dengan komitmen itu, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Target jangka panjangnya: net zero emissions pada 2060.
Salah satu yang digadang-gadang menjadi sumber energi andalan Indonesia adalah panas bumi. Indonesia diberkati energi terbarukan satu ini karena letak geografisnya yang berada di atas cincin api (ring of fire) pasifik.
Merujuk definisi dari lembagaSurvey Geologi Amerika Serikat (USGS), cincin api adalah kawasan Lempeng Pasifik yang bertemu dengan lempeng tektonik, membuat kawasan ini sebagai “...zona dengan seismik dan secara vulkanik paling aktif di dunia.” Panjang cincin api ini merentang membentuk zona seperti tapal kuda, dengan panjang lebih dari 40.000 kilometer, dari Amerika Selatan hingga mencapai Selandia Baru.
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya, potensi panas bumi di Indonesia ini diperkirakan mencapai 23,7 gigawatt (GW), atau sekitar 40 persen cadangan panas bumi dunia. Namun hingga saat ini, Indonesia masih dalam proses mengoptimalkan panas bumi sebagai sumber energi.
“Geotermal di indonesia itu memang besar, kapasitas yang terdata itu sekitar 23-24 GW. Tapi kalau mau detail lagi, secara kasar dan sederhana biar gampang, panas bumi kualitas bagus yang temperatur tinggi itu mungkin setengahnya,” ujar Ali Ashat, peneliti di Laboratorium Geotermal Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Tapi melihat pemanfaatannya, baru tiga ribu megawatt (MW) kurang sedikit, sekitar 2,4 GW,” tambah pengajar yang juga menjadi advisory board di S2 Teknik Geotermal ITB ini.
Ini juga tercermin dari jumlah PLTP di Indonesia. Saat ini, melansir data dari Handbook Of Energy & Economic Statistics Of Indonesia 2023 yang dirilis oleh Kementerian ESDM, baru ada 18 PLTP di seluruh Indonesia.
Mulai dari yang terbesar, yakni Sarulla di Tapanuli Utara yang punya kapasitas total 418 MW, hingga yang baru seperti PLTP Ulumbu dan PLTP Sokoria di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Bandingkan dengan PLTU yang jumlahnya mencapai 253 unit, atau PLTA yang jumlahnya sekitar 162 unit.
Dalam kesempatan lain, Pri Utami, peneliti energi panas bumi dari Fakultas Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), juga segendang sepenarian dengan Ali. Menurut keterangan Pri yang dikutip oleh situs berita Antara, saat ini Indonesia baru memanfaatkan sekitar 11 persen potensi panas bumi. Menurut Pri, ada beberapa pekerjaan rumah terkait pemanfaatan panas bumi ini.
"Ada dua hal mendasar yang harus dilakukan yaitu peningkatan kualitas data eksplorasi dan peningkatan pemahaman masyarakat," ujarnya.
Berbagai Misinformasi dan Salah Paham
Edukasi terkait panas bumi memang penting – jika tak mau dikatakan darurat. Sebab, energi panas bumisering menjadi sasaran misinformasi dan miskonsepsi yang berakibat banyak orang menolak keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Menurut Ali, hal ini wajar, karena hampir semua program pasti akan mengalami penolakan. Begitu pula di sektor energi. Batu bara ditolak karena kotor, tenaga air ditolak karena dianggap merusak, tenaga angin dianggap mengganggu, begitu pula panas bumi yang dianggap mengganggu ekosistem.
“Tapi intinya masyarakat, akademisi, dan pemerintah bersama-sama mengedukasi mereka yang memang belum paham,” kata Ali.
Salah satu misinformasi yang sering beredar adalah energi panas bumi ini tak ramah lingkungan dan menghasilkan emisi tinggi, bahkan sama seperti emisi yang dihasilkan oleh energi fosil. Soal emisi, memang benar bahwa PLTP akan menghasilkan emisi, tapi angkanya jauh di bawah pembangkit listrik dengan tenaga fosil.
Lembaga Energy Information Admission Amerika Serikat (EIA) menyebut bahwa emisi yang dihasilkan oleh PLTP rendah. Menurut mereka, emisi yang dihasilkan PLTP ini sekitar 99% lebih rendah karbon dioksida ketimbang pembangkit listrik tenaga fosil.
Department Energi Amerika Serikat juga menulis hal serupa. Menurut departemen yang mengurus serba-serbi energi ini, PLTP menghasilkan emisi rendah, dan sebagian besar hanya melepas uap. Hal ini, ujar mereka, membuat PLTP merupakan sumber energi bersih untuk listrik.
“Kalau kita memeriksa jurnal ilmiah, rata-ra ta kandungan emisi dari panas bumi itu kurang dari 100 gram per kWH dibanding dengan batubara yang 1 kg per kWH. Itu kondisi alamiahnya seperti itu. Bahkan sebagian besar di Indonesia itu angkanya mungkin malah cuma 60-70 gram per kWH,” tutur Ali.
Misinformasi lain adalah soal PLTP bisa menghasilkan sulfur yang berbahaya. Menurut Ali, ini juga pemahaman yang salah. Sebab secara alamiah, tanpa dimanfaatkan sekalipun, sulfur itu pasti ada. Dalam penjelasan Ali, dia menyebut bahwa ini adalah apa yang disebut manifestasi panas bumi.
Secara sederhana, manifestasi panas bumi adalah gejala yang muncul di permukaan bumi sebagai tanda potensi energi panas bumi. Manifestasi ini bisa beraneka rupa, mulai dari air panas, uap, hingga sulfur seperti yang bisa ditengok di Kawah Ijen.
Jika kemudian di tempat dengan manifestasi panas bumi itu dibangun PLTP, maka sulfur akan ikut ke dalam air dan uap yang diproduksi. Biasanya, tambah Ali, konsentrasi sulfur ini tidak akan besar. Selain itu, sulfur akan dimodelkan –diolah sedemikian rupa, termasuk melewati proses penyaringan– hingga memenuhi ketentuan pemerintah.
“Kalau tidak memenuhi syarat, ya tidak akan diizinkan oleh pemerintah,” kata Ali.
Perkara lahan dan air juga kerap menjadi sasaran misinformasi. PLTP sering dianggap mengambil lahan luas dan akan menyedot sumber air tanah milik warga sekitar. Menurut Ali, ini kurang tepat. Soal tanah, misalnya. Menurutnya, kita harus bisa membedakan wilayah kerja dan fasilitas.
Wilayah kerja PLTP memang luas, tapi luas fasilitas kerjanya relatif kecil. Sebab fasilitas kerja ini tidak melebar melainkan masuk ke dalam bumi. Di luar fasilitas, ujar Ali, maka tanah akan dibiarkan sebagaimana mulanya.
Ini juga berhubungan dengan soal air. PLTP adalah pembangkit listrik yang paling sedikit menggunakan air jika dibandingkan dengan PLT lain. Jika melansir berbagai sumber geothermal energy 101, kedalaman sumur untuk energi panas bumi ini mencapai 1.500 hingga 2.000 meter di bawah permukaan tanah. Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh peneliti Kementerian ESDM dan ITB, disebutkan bahwa sebagian besar kedalaman sumur PLTP di Indonesia adalah 1.200 meter hingga 2.800 meter.
“Kalau air tanah kan biasanya kan belasan sampai 150 meter di dalam bumi. Dan lagi, air tanah itu memang tidak boleh mencampuri air geotermal. Sebab kalau tercampur, ya jadi dingin. PLTP ini memang perlu air, tapi hanya ketika ngebor saja, tidak setiap saat,” kata Ali.
Edukasi terkait panas bumi, maupun energi terbarukan lain, memang harus terus menerus dilakukan. Sebab Indonesia memang punya target untuk kelak memakai lebih banyak bauran energi terbarukan, baik dari panas bumi, air, angin, maupun tenaga matahari. Demi masa depan yang lebih bersih, demi kehidupan cucu-cicit yang lebih baik. Selain itu, sumber energi yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, bisa menjadi harapan agar ketimpangan sumber listrik bisa teratasi.
Cincin api menjadikan Indonesia punya mara dan berkah. Serupa keping uang perak yang berlawanan, hal ini mengharuskan kita senantiasa waspada dan bersiap terhadap gempa dan bencana lain, sekaligus membuat kita harus bisa memanfaatkan potensinya sebaik mungkin.
Editor: Tim Media Service