Menuju konten utama

Kisah Pemanfaatan Panas Bumi & Semangat Warga Kamojang

Dalam sejarahnya, PLTP Kamojang memberi banyak manfaat bagi warga sekitar, mulai dari perkebunan kopi hingga pembuatan keripik.

Kisah Pemanfaatan Panas Bumi & Semangat Warga Kamojang
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang yang berlokasi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. FOTO/Istimewa

tirto.id - PLTP Kamojang adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi tertua di Indonesia. Dimulai dari eksplorasi perdana oleh para geolog Belanda di titimangsa 1926, baru pada 1978 PLTP ini bisa menghasilkan energi listrik sebesar 0,25 MW.

Pembangkit listrik yang berada di kawasan Kamojang, perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut, ini kemudian terus menambah skala produksi listriknya. Saat ini, PLTP Kamojang bisa menghasilkan energi listrik sebesar 140 MW.

Dalam sejarahnya, PLTP Kamojang memberi banyak manfaat bagi warga sekitar. Terbaru, pada 2024, mereka mendapat anugerah di kategori CSR dan Pengembangan Desa Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Indonesia Social Sustainability Forum.

Mereka banyak melakukan pendampingan dan pemberdayaan sehingga warga bisa memanfaatkan potensi lokal, terutama dalam komoditas kopi. Kopi adalah salah satu sektor usaha yang sejak beberapa tahun lalu menjadi andalan warga di sekitar PLTP Kamojang.

Salah satu kelompok tani yang mengelola lahan kopi di kawasan ini adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) Kamojang yang berlokasi di Desa Laksana, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Ada beberapa KTH di desa Kamojang. Sejak enam tahun lalu, mereka rutin menerima pendampingan serta pemberdayaan terkait kopi yang dilakukan oleh PT PLN Indonesia Power.

Di desa ini, kopi memang menghidupi warganya. Saat ini, KTH di Desa Laksana beranggotakan 33 orang, dengan tambahan dua orang petani muda yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan. Selain pendampingan dan transfer ilmu, hingga pemberian fasilitas. Mulai dari sekretariat, mesin pengupas kulit kopi, hingga alat roasting.

“Baru saja, tahun lalu, kami mendapatkan pelatihan roasting kopi. Dari kelompok tani kami, dikirim tiga orang ke Yogyakarta,” ujar Sudarman, ketua KTH Kamojang Desa Laksana.

Seiring pengetahuan yang bertambah, harga kopi buatan mereka juga ikut naik. Dulu, sebelum paham mengenai tata kelola dan tata niaga kopi, harga biji kopi mereka hanya dibeli Rp5.000 per kilogram oleh para tengkulak. Sekarang, harga biji kopi mereka mencapai Rp120 ribu per kilogram.

Yang menarik lagi, KTH ini juga mendapat ilmu pemanfaatan limbah kopi. Setiap tahun, ujar Darman, ada limbah kopi seberat 9 ton. Awalnya limbah ini dibiarkan saja, ditaruh di tanah hingga terurai. Mereka tak sadar kalau limbah itu bisa dijadikan produk bernilai ekonomi.

Ambil contohnya, hand sanitizer dan desinfektan kopi. Produk mereka laris manis. Omzetnya ketika itu mencapai Rp17 juta per tahun. Bukan angka yang fantastis, memang, tapi ini adalah bukti keberhasilan pemanfaatan limbah yang awalnya tak berharga.

Tak hanya itu, para anggota KTH ini juga membuat cookies dari limbah kopi, yang bisa menghasilkan omzet hingga Rp21 juta, pelet ikan dengan omzet Rp2,4 juta, dan juga teh celup dengan omzet Rp26 juta per tahun.

“Ini tentu peningkatan. Dulu, di desa kami kopi itu cuma dipakai sebagai tanaman penghijau. Karena murah, biji kopi merah itu gak dipetik. Sekarang jadi sumber ekonomi untuk warga sekitar,” kata Darman.

Saat ini, di tengah perkembangan industri kopi, Darman masih punya cita-cita panjang. Dalam bayangannya, kegiatan ekonomi di desanya harus seperti siklus. Dalam hal ini, ia membayangkan ada peternakan domba. Dari sana, kotorannya bisa diolah menjadi pupuk organik untuk perkebunan kopi.

Selain itu, Darman juga membayangkan ada wisata edukasi yang menyeluruh. Konsep desa wisata pun terasa cocok untuk mimpi Darman ini. Ada edukasi peternakan domba, wisata petik kopi, hingga wisata kuliner kopi dan kuliner lokal Kamojang.

“Jadi kebayang kalau ada peternakan domba. Ada nilai ekonominya, dan kotorannya pun bisa jadi pupuk. Jadi kami tidak usah lagi mencari atau menerima bantuan pupuk. Dan nanti wisata edukasi juga bisa berkembang,” tuturnya

Semangat Kelompok Wanita Tani

Dampak nyata kehadiran aktivitas pemanfaatan panas bumi melalui PLTP juga disampaikan oleh Yeti, pengurus Kelompok Wanita Tani (KWT) Rengganis 76 yang juga berada di Desa Laksana.

Menurut Yeti, PT Indonesia Power Kamojang, selalu memberikan dukungan kepada masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Salah satunya mendapatkan izin untuk mengelola lahan tidur dan rumah-rumah dinas yang terbengkalai. Izin diberikan dan saat ini KWT Rengganis 76 pun resmi mengelola 5 greenhouse.

“Rumah-rumah kosong itu kami beri plastik, dijadikan greenhouse. Selain greenhouse, lahan tidur juga kami manfaatkan untuk peternakan dan perikanan,” kata Yeti saat dihubungi reporter tirto.id, Sabtu (25/1/2025).

Di greenhouse, anggota KWT Rengganis 76 menanam aneka sayur dan buah-buahan seperti kol, pakcoy, sosin, daun bawang, dan stroberi dengan teknik hidroponik. “Kami baru saja panen. Ke depannya, kami juga sudah menyiapkan greenhouse untuk ditanami anggur,” ungkap Yeti.

Sementara untuk perikanan, Yeti menambahkan, kelompoknya menerapkan sistem bioflok dan kolam terpal biasa. “Lahannya dari Indonesia Power, sedangkan bibitnya sebanyak dua kwintal kami dapat dari bantuan Dinas Perikanan Kabupaten Bandung.”

Yeti bercerita, motivasi ibu-ibu anggota KWT Rengganis 76 memanfaatkan aset Indonesia Power Kamojang dilandasi keinginan mereka mengisi waktu luang dan melakukan healing, jalan-jalan. KWT Rengganis 76 sendiri pertama kali menjalin kerjasama dengan PT Indonesia Power Kamojang sejak 2017.

Kala itu, program Posyandu mengharuskan adanya lini usaha yang berkaitan dengan Pusat Pelatihan Klinik Sekunder (P2KS) berupa Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Program tersebut dilombakan dari tingkat kecamatan hingga nasional. Berkat dukungan PT Indonesia Power Kamojang, KWT Rengganis 76 melenggang hingga tingkat provinsi, memenangi juara kedua.

“Pada 2022, ibu-ibu terpanggil untuk menggiatkan kembali kerjasama dengan PT Indonesia Power Kamojang. Alhamdulillah kami sangat terbantu. Agustus tahun lalu, istri Pak Dirut Edwin Nugraha datang kemari meresmikan sekretariat kami,” sambung Yeti.

Saat ini, KWT Rengganis 76 menjalin kerjasama dengan banyak pihak, antara lain dengan Koperasi Pemasaran Desa Baru Sejahtera Kamojang dan PT KSIP Agro yang berlokasi di Lembang, Bandung Barat. Lewat kerjasama ketiganya, KWT Rengganis 76 dipercaya mensuplai kebutuhan ekspor buncis baby Kenya ke Prancis.

Sekali panen, KWT Rengganis 76 bisa mengirim 4 kuintal buncis. Atas capaian tersebut, KWT Rengganis 76, yang anggotanya terdiri atas 20 orang ibu dan 5 orang bapak, bisa mempekerjakan 20 orang ibu-ibu lainnya saat panen.

“Dulu, ketika menanam tanaman obat keluarga, pendapatannya sedikit. Setelah menanam buncis, baru hasilnya kelihatan. Ibu-ibu pun semakin termotivasi. Bagi mereka, yang penting adalah bisa healing. Tahun lalu, kami healing tiga kali, ke Bandung, Pangandaran, dan Yogyakarta,” terang Yeti.

Menyadari kekayaan potensi daerahnya–Kampung Kamojang berada di ketinggian 1.500 mdpl– anggota KWT Rengganis 76 pun mengembangkan usahanya ke jasa pariwisata. “Ke depannya, kami juga akan membuka jasa wisata edukasi,” pungkas Yeti.

Senada dengan Yeti, Dede Sutisna, warga Kamojang, mengakui dampak positif kehadiran PLTP di wilayahnya. Melalui UMKM Bina Panas Bumi, Dede mendapatkan banyak dukungan dari PT Indonesia Power Kamojang mulai dari pembinaan, pelatihan, hingga permodalan dan bantuan peralatan.

“Kerjasama kami dimulai sejak 2009. Awalnya budidaya jamur, kemudian dikembangkan dalam macam-macam produk turunan: keripik, sate, hingga baso jamur. Dari hulu ke hilir, kami dibantu,” ungkap Dede kepada reporter tirto.id, Sabtu (25/1/2025).

Saat ini, UMKM yang Dede kelola bisa menghasilkan 50-100 kg keripik jamur sekali produksi. Keripik itu kemudian dijual langsung ke wisatawan yang berkunjung ke kawah Kamojang atau dititip ke toko oleh-oleh. Alat produksi, vacuum frying, juga didapat Dede dari PT Indonesia Power Kamojang. “Alat ini juga kami gunakan membuat tape krispi. Tape kan lembek, tapi dengan vacuum frying bisa dibikin renyah. Ini alat yang sama dengan yang digunakan teman-teman di Malang dalam membuat keripik apel,” terang Dede.

Propaganda Negatif PLTP Tak Laku

Disinggung soal dampak buruk panas buni, Dede menggelengkan kepala. “Seumur-umur saya menjadi orang sini, saya tidak merasakan dampak buruk apa pun. Aktivitas pemanfaatan uap panas bumi di Kamojang sendiri berlangsung sejak 1928. Selama itu pula kehidupan kami di sini baik-baik saja. Sekarang, usia saya 46 tahun,” kata Dede.

Dede mengakui bahwa ia kerap mendengar informasi mengenai dampak buruk panas bumi, mulai dari uap beracun hingga defisit air. Namun begitu, Dede yakin hal tersebut tidak berlaku di kampung halamannya. Satu-satunya dampak buruk yang ia rasakan–kalaulah hal ini bisa dikatakan dampak buruk–adalah kebisingan yang timbul saat pengelola PLTP Kamojang melakukan pengeboran. Namun begitu, kata Dede, pengeboran tidak dilakukan setiap hari dan setiap kali ada pengeboran pihak pengelola selalu memasang peredam.

“Kalau melihat aktivitas PLTP di sini, dampak buruk geothermal itu sama sekali tidak kami rasakan. Kampung kami masih hijau dan subur. Pemanfaatan panas bumi mah aman, bahkan berkelanjutan. Berdasarkan pengalaman, yang sering mengajak warga melakukan penolakan itu biasanya LSM. Tapi di sini, LSM dan penolakan-penolakan semacam itu tidak laku,” pungkas Dede. []

Baca juga artikel terkait PLTP atau tulisan lainnya dari Tim Media Service

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Tim Media Service
Editor: Tim Media Service