tirto.id - Keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan negara Paman Sam dari Perjanjian Paris 2015 seperti sebuah mimpi buruk yang berulang. Langkah serupa sempat dilakukan pada 2017 ketika memimpin AS pada periode pertamanya sebagai presiden. Trump kembali mengulangi retorika lawasnya soal ‘ketidakadilan’ yang menimpa AS apabila terikat pada perjanjian global dalam merespons perubahan iklim tersebut.
Pada Senin (20/1/2025) tepat di hari pelantikannya, Presiden Trump menandatangani inpres yang menandakan sikap AS kembali menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris 2015. Langkah ini merupakan pukulan terhadap upaya dunia memerangi pemanasan global. Trump menilai dengan keluar dari Perjanjian Paris 2015, AS bisa menghemat lebih dari satu triliun dolar.
“Saya segera menarik diri dari penipuan Perjanjian Iklim Paris yang tidak adil dan sepihak,” kata Trump yang disambut sorak sorai sekitar 2.500 pendukungnya yang memadati Capital One Arena di Washington DC, AS.
Trump turut mengumumkan darurat energi nasional dengan memperluas pengeboran pada produsen minyak dan gas terbesar dunia. Ia kembali mendengungkan slogan kebijakannya: Drill, baby, drill!.
Dilansir kantor berita AFP, Trump menghapus standar emisi kendaraan, berjanji menyetop ladang angin lepas pantai, dan menentang Undang-Undang Pengurangan Inflasi rancangan Joe Biden. Ia berjanji mencabut larangan pengeboran lepas pantai, melanjutkan izin fasilitas gas alam cair, dan meneruskan pengeboran di lahan lindung di Alaska.
Pengumuman keadaan darurat energi nasional Trump cukup aneh mengingat AS saat ini memproduksi lebih banyak minyak dan gas alam daripada negara lain. Menurut New York Times, Trump adalah presiden AS pertama yang mengambil langkah ini. Ia menilai deklarasi darurat energi nasional membantu mempercepat pengembangan jaringan pipa, kilang, tambang, dan fasilitas lain untuk bahan bakar fosil.
Kebijakan dramatis Trump yang ‘menggilai’ bahan bakar fosil dilakukan usai dunia mencatat suhu terpanasnya. Pada 2024, emisi pembakaran batu bara, minyak, dan gas membantu mendorong suhu global rata-rata melewati 1,5 derajat Celcius atau 2,7 derajat Fahrenheit, di atas tingkat pra-industri. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebut suhu global tahun lalu rata-rata selama melampaui 1,5° Celcius di atas garis dasar pra-industri untuk pertama kalinya. Kenaikan ini untuk sementara waktu melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris 2015
Para ilmuwan banyak mengatakan bahwa setiap angka derajat pemanasan di atas tingkatan itu membawa risiko lebih besar terkait gelombang panas yang mematikan, kebakaran hutan, kekeringan, badai, dan kepunahan spesies.
Pada 12 Desember 2015, dunia menyaksikan momen bersejarah ketika sekitar 196 negara berkumpul di Paris, Prancis untuk mengadopsi traktat global yang bertujuan menanggulangi perubahan iklim. Lahirlah perjanjian yang menetapkan komitmen bersama untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius dibandingkan tingkat pra-industri, dengan upaya lebih lanjut menekan hingga 1,5 derajat Celcius.
Setiap negara diharapkan menyerahkan rencana kontribusi nasional yang ditentukan sendiri (Nationally Determined Contributions/NDC) dan memperbaruinya setiap lima tahun dengan target yang lebih ambisius. Meskipun perjanjian ini mengikat secara hukum, target emisi yang ditetapkan bersifat sukarela dan tidak ada sanksi langsung bagi negara yang gagal memenuhi komitmennya. Indonesia sebagai salah satu negara penandatanganan Perjanjian Paris 2015, telah meratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.
Namun, AS di bawah kepemimpinan Donald Trump mendadak keluar dari Perjanjian Paris pada 2017. Sebagai negara emitter alias penghasil polusi terbesar, Trump berdalih bahwa perjanjian itu merugikan ekonomi Amerika dan memberikan keuntungan lebih besar kepada negara-negara seperti Tiongkok dan India. Keputusan Trump efektif pada 4 November 2020, menjadikan AS satu-satunya negara yang keluar dari perjanjian tersebut.
Pada 2017, penarikan diri AS dari Perjanjian Paris tak hanya berdampak pada upaya global menanggulangi perubahan iklim, tetapi ikut mempengaruhi dinamika geopolitik dan ekonomi global. Dengan mundurnya AS dari Perjanjian Paris saat itu, negara-negara lainnya seperti Cina dan Uni Eropa berpeluang mengisi kekosongan kepemimpinan dalam diplomasi iklim dan memanfaatkan peluang ekonomi dalam transisi menuju energi bersih.
Efek Domino Global
Setelah Trump lengser, Presiden AS berikutnya, Joe Biden, memasukkan kembali AS ke dalam Perjanjian Paris pada 2021. Keputusan ini adalah langkah penting untuk memulihkan posisi Amerika di panggung global setelah penarikan dari komitmen penanggulangan krisis iklim global yang dilakukan Donald Trump. Salah satu alasannya, menunjukkan komitmen AS untuk kembali mengambil peran utama dalam mengatasi krisis iklim global.
Dengan kembalinya Trump ke kursi pimpinan AS, agaknya memang ada niatan untuk terus menghapus jejak-jejak peninggalan kebijakan Biden. Termasuk kembali melempar AS keluar dari Perjanjian Paris 2015. Pasalnya, keputusan ini – sebagaimana pada 2017 – tidak cuma mempengaruhi arah kebijakan politik di AS, namun melahirkan efek domino yang panjang di tingkat global dalam mengahadapi ancaman krisis iklim.
Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional, Mads Christensen, menilai langkah kebijakan penolakan iklim tidak melindungi negara mana pun dari bencana yang dipicu iklim, seperti kebakaran hutan atau badai yang berulang. Tantangan global tidak hilang dengan menjauh dari kebijakan pro-iklim, misalnya kebakaran hebat di Los Angeles saat ini.
Christensen menilai, meninggalkan Perjanjian Paris cuma akan semakin mengobarkan risiko di masa depan. Padahal, krisis iklim perlu kerja sama internasional, bukan isolasionisme.
“Trump dan kroninya mungkin mendorong agenda pro-bahan bakar fosil di dalam negeri, tetapi mereka tidak dapat lepas dari momentum kemajuan global dan tingkat negara yang mendorong aksi iklim ke depan,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu.
Negara-negara yang berjudi pada ekstraksi minyak dan gas akan tertinggal jauh di belakang transisi energi bersih. Dunia, kata Christensen, bergerak jauh melampaui politik penolakan dan penundaan. Langkah Trump meninggalkan Perjanjian Paris hanya akan mengisolasi AS sementara negara-negara lain terus maju.
Perjanjian Paris tangguh dan kuat — perjanjian ini didorong oleh keinginan hampir setiap negara, didukung oleh masyarakat, bisnis, dan negara yang berkomitmen pada keadilan iklim dan mengakhiri bahan bakar fosil.
“Trump dan pemerintahan AS yang baru tidak hanya mengabaikan masa depan, tetapi juga mengabaikan komunitas global dan mengingkari tanggung jawab moral kepemimpinan,” ujar dia.
Perubahan iklim adalah isu global yang mendesak. Berbagai laporan menyoroti dampak signifikan perubahan iklim dan pentingnya tindakan kolektif. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change pada 2023 menegaskan, bahwa aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca, menyebabkan pemanasan global yang signifikan. Dampak yang diamati meliputi peningkatan frekuensi dan intensitas peristiwa cuaca ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan gangguan ekosistem.
Laporan ini juga menekankan bahwa tanpa tindakan mitigasi yang substansial, suhu global diproyeksikan meningkat lebih dari 1,5 derajat Celcius dalam dekade mendatang. Hal ini memperburuk risiko terhadap keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, diperlukan pengurangan emisi gas rumah kaca secara drastis dan transisi ke sumber energi terbarukan.
Kerja sama internasional menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini. Perjanjian Paris 2015, yang ditandatangani oleh lebih dari 190 negara adalah komitmen yang membutuhkan kolaborasi global dalam implementasi kebijakan, transfer teknologi, serta pendanaan untuk mitigasi dari negara emitter dan adaptasi perubahan iklim. Keluarnya AS dari perjanjian itu berdampak cukup signifikan, karena negara adidaya itu seharusnya mengambil tanggung jawab besar.
Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios), Zakiul Fikri, menilai mundurnya AS sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar global, berpeluang melemahkan upaya global. AS memiliki peran strategis dalam mendukung transisi energi global melalui pembiayaan, teknologi, dan pengaruh diplomatik.
Tanpa keterlibatan AS, ada risiko bahwa negara-negara lain juga akan mengurangi ambisi mereka, menciptakan efek domino yang negatif terhadap pencapaian target mitigasi perubahan iklim. Terlebih, negara berkembang seperti Indonesia sangat bergantung pada komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim, baik dalam bentuk dukungan finansial maupun teknologi.
Jika komitmen global melemah, ada dua konsekuensi utama. Pertama, pembiayaan untuk proyek adaptasi dan mitigasi, seperti energi terbarukan atau perlindungan ekosistem, akan berkurang. Dan kedua, Indonesia dan negara berkembang lainnya juga dapat menghadapi tantangan diplomatik karena kurangnya dorongan kolektif untuk meningkatkan ambisi iklim mereka.
“Akibatnya, negara-negara berkembang menjadi lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti bencana alam dan ketahanan pangan yang semakin terancam.” ucap Fikri.
Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani, menilai keluarnya AS kemungkinan akan mempengaruhi proses negosiasi iklim khususnya di COP 30 nanti di Brazil. Pada COP 29, Baku, Azerbaijan sebelumnya, salah satu faktor belakang mentoknya negosiasi pendanaan iklim global untuk meningkatkan angka pembiayaan dilatar belakangi oleh menangnya Presiden Trump di AS, yang sudah hampir pasti menghentikan pendanaan iklim global.
Akan tetapi, menurut Syaharani, keluarnya AS dari Komitmen Paris juga bisa dilihat sebagai momentum perjuangan baik bagi kesempatan negosiasi. Dikarenakan beberapa blok negara maju seperti Uni Eropa (EU) mungkin mencoba meningkatkan pengaruh politiknya. Selain itu, negara-negara belahan Bumi selatan atau Global South dapat memperkuat kolaborasi mendorong kerja sama global yang lebih kuat untuk aksi-aksi iklim.
“Khususnya untuk Indonesia yang saat ini sedang fokus menunjukkan posisi dan pengaruh di kepemimpinan global, momen ini harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menunjukkan leadership Indonesia dalam kolaborasi global dalam mengatasi krisis iklim,” ucap Syahrani.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang