tirto.id - Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (AS) alias United States Trade Representative (USTR) dalam laporan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers [PDF] menyoroti perdagangan barang-barang imitasi atau tiruan, baik yang diperdagangkan secara langsung maupun online di sejumlah platform e-commerce. Dalam laporan yang dirilis pada 1 Maret 2025 itu menjelaskan, Indonesia tetap berada dalam the Priority Watch List in the 2024 Special 301 Report atau Daftar Prioritas Pantauan dalam Laporan Khusus 301 tahun 2024.
Pada laporan ini, pembajakan hak cipta dan pemalsuan dagang yang meluas di Indonesia menjadi perhatian utama negara adidaya tersebut.
“Pasar Mangga Dua di Jakarta terus tercantum dalam Tinjauan Pasar Terkenal untuk Pemalsuan dan Pembajakan Tahun 2024 (Daftar Pasar Terkenal), bersama dengan beberapa pasar daring Indonesia,” tulis laporan tersebut, dikutip Senin (21/4/2025).
Menurut Gedung Putih, maraknya perdagangan barang bajakan di Indonesia terjadi karena lemahnya penegakan hukum, baik oleh pemerintah maupun aparat. Sebagai contoh, barang-barang dari merek mewah seperti Louis Vuitton, Gucci, Prada, dan lain sebagainya masih dengan mudah ditemui di kios-kios di Pasar Mangga Dua, ketika pemerintah telah membentuk gugus tugas penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan meningkatkan upaya untuk mengatasi pembajakan daring.
Amerika telah mendesak Indonesia untuk melakukan amandemen yang lebih komprehensif terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, mengklarifikasi patentabilitas penemuan yang menggabungkan program komputer dan mengklarifikasi bagaimana pemohon dapat mematuhi persyaratan pengungkapan penemuan terkait pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik.
Namun, baik pemberantasan barang bajakan melalui Gugus Tugas Penegakan HKI maupun UU Cipta Kerja dinilai tak cukup. Pemerintahan Presiden Donald Trump meminta agar Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan Rencana Kerja Hak Kekayaan Intelektual bilateral dan terus berkoordinasi dengan AS melalui Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi antara Indonesia dan AS atau Trade & Investment Framework Agreement (TIFA Amerika Serikat–Indonesia).
Amerika Serikat juga terus mendorong Indonesia untuk menyediakan sistem perlindungan yang efektif terhadap produsen asli yang mengalami ketidakadilan karena pembajakan.
“Selain pengungkapan yang tidak sah, atas pengujian yang tidak diungkapkan atau data lain yang dihasilkan untuk mendapatkan persetujuan pemasaran bagi produk kimia farmasi dan pertanian. Amerika Serikat juga tetap khawatir dengan hukum Indonesia terkait indikasi geografis,” tulis USTR.
Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) mengakui, memang terdapat kios-kios yang menjajakan barang-barang imitasi di Pasar Mangga Dua. Namun, porsinya kecil, hanya sekitar 5-7 persen dari total jumlah pedagang yang menjajakan barang dagangannya di pusat perbelanjaan yang terletak di Jakarta Utara itu.
Ketua Umum Ikappi, Abdullah Mansuri, pun menyayangkan Kantor Perwakilan Dagang AS yang hanya menyoroti perdagangan barang ilegal. Padahal, kian hari semakin banyak jumlah kios-kios yang tutup karena tidak mampu lagi bersaing, khususnya dengan barang-barang impor berharga murah.
“Ini yang kami ingin dorong agar kita fair dalam melihat persoalan yang lebih luas. Di manapun negaranya, saya meyakini bahwa ada segmentasi, walaupun kecil untuk kepentingan produk-produk ilegal. Produk-produk seperti tas, jam. Tapi, itu pun lebih kecil,” jelas dia, dalam keterangan video yang diterima Tirto, Senin (21/4/2025).
Sebagai perwakilan pedagang, Abdullah melihat permintaan untuk menutup atau memusnahkan para pedagang yang menjajakan barang-barang tiruan sebagai suatu hal yang tidak adil. Pasalnya, baik di Indonesia maupun negara-negara di dunia lainnya, barang tiruan memiliki segmen pasarnya sendiri.
“Jadi, kami berharap agar kantor dagang Amerika Serikat lebih luas melihat persoalan, tanpa melihat segmentasi yang kecil tersebut dan itu tidak perlu dibesar-besarkan,” imbuhnya.
Ketimbang menutup kios-kios yang menjual barang tiruan, kata dia, seharusnya pencegahan peredaran barang ‘KW’ dilakukan sejak dari hulu industri.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ikappi, Reynaldi Sarijawan, pintu masuk barang-barang tiruan dari luar negeri sangat banyak dan bisa dari mana saja. Sehingga, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) dan Kementerian Perdagangan harus secara ketat melakukan proteksi terhadap pintu-pintu masuk tersebut.
“Kenapa bisa lepas barangnya (dan) masuk ke dalam negeri, sehingga tidak ada filter dan akhirnya menjadi komoditas yang dilarang. Fokus saja pemerintah terhadap pembinaan pedagang pasar,” tuturnya, saat dihubungi Tirto terpisah.
Selain itu, tak kalah penting bagi pemerintah untuk mempermudah dan memperluas akses permodalan bagi pedagang pasar. Kata Reynaldi, salah satu sebab masih banyaknya penjualan barang-barang tiruan di pasar tradisional adalah karena minimnya akses permodalan para pedagang pasar.
“Ini kan eranya pasar bebas, ya. Walaupun kita enggak berharap kebablasan. Tentu peranan penting pemerintah untuk menata niaga kembali,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menilai maraknya perdagangan barang tiruan di platform e-commerce merupakan tantangan global, tidak hanya di Indonesia. Sebab, hampir semua negara yang memiliki pasar digital besar juga menghadapi masalah serupa.
Perusahaan-perusahaan e-commerce di Indonesia pun terus berupaya memperkuat mekanisme kontrol, termasuk sistem pelaporan (notice and takedown), kerja sama dengan pemilik merek, serta penerapan teknologi untuk mendeteksi produk bermasalah, termasuk barang tiruan. Kemudian, banyak juga platform besar yang sudah memiliki kebijakan khusus untuk menindak akun penjual yang ketahuan menjual barang palsu.
"Perlu diingat bahwa platform e-commerce berperan sebagai penyedia tempat (marketplace), sehingga tanggung jawab utama terhadap keaslian barang tetap berada di pihak penjual. Namun, platform tetap memiliki tanggung jawab untuk proaktif menjaga kualitas ekosistemnya,” jelas Budi, kepada Tirto, Senin (21/4/2025).
Alih-alih penyedia platform, tantangan terbesar justru terletak di pengawasan dan penegakan hukum di tingkat penjual dan distributor. Dalam hal ini, pengawasan dan penegakan hukum untuk memberantas barang tiruan tidak hanya terletak di pundak e-commerce saja, melainkan juga memerlukan kerja sama dari stakeholder terkait.
“Memerlukan kerja sama erat antara platform, pemilik merek, dan aparat penegak hukum,” tambah Budi.
Respons Pemerintah
Amerika memang rutin mengeluarkan laporan terkait masalah HKI dari negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Tujuannya, agar situasi dan kondisi terkait pelaksanaan kebijakan HKI di berbagai negara dapat dipantau dengan jelas. Sehingga, peredaran barang-barang tiruan dapat dimusnahkan.
“Jadi kita tidak luput dari itu. Pemerintah juga tetap berkomitmen, kita menerapkan kebijakan HKI, kawan-kawan di Dirjen HKI juga terus melakukan tindakan-tindakan untuk penegakan hukum, itu tetap dilakukan,” tutur Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (PPI Kemendag), Djatmiko Bris Witjaksono, dalam media briefing, di Kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).
Selain itu, upaya untuk mengatasi masalah perdagangan barang tiruan ini juga selalu dijelaskan pemerintah dalam forum-forum internasional, mulai dari yang dihelat Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) hingga Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia atau World Intellectual Property Organization (WIPO).
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, mengatakan, penegakan HKI penting dilakukan, tidak hanya untuk mengatasi hambatan perdagangan dengan AS, melainkan juga dengan negara-negara lain di dunia. Karenanya, selama ini pun sidak ke Pasar Mangga Dua juga terus dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap peredaran barang-barang bajakan atau ilegal.
“Sebenarnya kalau kita pengawasan kan reguler, rutin harus dilakukan ya. Kemarin dua hari yang lalu kan kita juga ada penyitaan barang-barang [illegal] ya. Jadi terus berjalan,” ungkap Budi.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Kemendag, Moga Simatupang, dalam kesempatan yang sama pun menjelaskan bahwa pihak yang memiliki hak untuk melaporkan terkait HKI adalah produsen atau pemegang merek. Sebab, masalah tersebut sudah masuk dalam delik aduan.
“Kalau merek, itu harus produsennya atau pemegang merek yang melaporkan ke pihak berwenang. Di Dirjen (Direktorat Jenderal) HKI,” ujar Moga.
Sementara itu, melalui keterangan resmi, Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Arie Ardian Rishadi, mengungkapkan, saat ini tren pelanggaran kekayaan intelektual banyak terjadi di platform perdagangan daring. Produk yang dipalsukan pun beragam, mulai dari obat hingga masker.
Terbukti, sejak awal 2025 hingga 16 April 2025, DJKI mencatat telah menangani 4.949 situs ilegal yang melakukan pelanggaran kekayaan intelektual. Jumlah ini menunjukkan perlunya langkah strategis dan kolaboratif lintas instansi dalam menanggulangi persoalan yang kian kompleks dan masif secara daring.
Salah satu contoh, sepanjang 2024, Direktorat Siber Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sebanyak 25.302 tautan penjualan produk yang melanggar ketentuan. Komoditas yang paling banyak ditemukan adalah obat sebanyak 9.408 link, dengan Tokopedia sebagai platform marketplace terbanyak yang memuat pelanggaran. Berdasarkan jenis pelanggaran, sebagian besar merupakan produk obat dan makanan tanpa izin edar.
Di sisi lain, DJBC melaporkan telah melakukan 17 kali penegahan-tindakan menunda pengeluaran, pemuatan, atau pengangkutan terhadap barang kena cukai dan/atau barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai terhadap barang-barang yang melanggar kekayaan intelektual sepanjang tahun berjalan di 2025. Penegahan dilakukan terhadap berbagai komoditas seperti ballpoint, amplas, pisau cukur, kosmetik, hingga masker dengan total jumlah jutaan unit barang.
“Melalui rapat koordinasi ini, Satgas IP Task Force berkomitmen untuk terus meningkatkan efektivitas penegakan hukum di bidang kekayaan intelektual, khususnya dalam merespons pelanggaran yang terjadi di platform digital secara terstruktur dan berkelanjutan,” sambung Arie.
Mengapa Barang Ilegal Sulit Diberantas?
Barang bajakan masih sulit diberantas, karena pintu masuk barang ilegal di perbatasan cukup banyak. Selain itu, terdapat permasalahan pengawasan pada barang bajakan yang di produksi di dalam negeri.
Di sisi lain, konsumen dengan daya beli yang terbatas juga banyak memilih barang bajakan dibanding barang asli. Alasannya, jelas karena harga barang tiruan jauh lebih murah ketimbang barang asli yang dapat mencapai ratusan ribu hingga ratusan juta. Belum lagi, dengan pendapatan terbatas, barang tiruan menjadi jalan pintas untuk memenuhi keinginan bergaya seseorang.
“Kemudian, tidak ada sanksi bagi konsumen yang beli barang palsu serta masih masifnya penjualan barang palsu di marketplace dan toko fisik,” jelas Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Tirto, Senin (21/4/2025).
Pada 2022, ada sekitar Rp291 triliun barang palsu yang beredar di seluruh wilayah Indonesia. Porsinya setara 10 persen dari total produk domestik bruto (PDB) sektor perdagangan besar dan eceran yang sekitar Rp2.077,42 triliun di tahun yang sama.
Karenanya, untuk memberantas peredaran barang bajakan, pemerintah harus memperketat pengawasan masuknya barang impor ilegal di kawasan pabean hingga perbatasan atau jalur tikus. Pada saat yang sama, sanksi kepada pedagang dan produsen barang palsu di dalam negeri, seperti dengan pencabutan izin usaha hingga pidana juga perlu dilakukan.
Laporan USTR terkait peredaran barang bajakan, khususnya Pasar Mangga Dua dan platform e-commerce dalam daftar ‘Notorious Markets’ adalah kritik keras yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, dengan masuknya ke dalam daftar tersebut, Indonesia dianggap gagal menertibkan peredaran barang palsu dan bajakan, serta tidak cukup melindungi hak kekayaan intelektual.
Tidak seperti Cina yang merupakan negara dengan volume produksi barang palsu terbesar di dunia -mencakup lebih dari 70 persen barang bajakan secara global diproduksi Cina. Namun, fokus laporan USTR bukan semata-mata pada negara produsen, melainkan pada titik-titik distribusi dan pasar akhir.
“Dalam hal ini, Indonesia dengan pasar fisik seperti Mangga Dua dan ekosistem digital e-commerce yang longgar regulasinya, menjadi titik temu antara produksi luar dan konsumsi domestik,” terang Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kepada Tirto, Senin (21/4/2025).
Tentu AS punya kepentingan strategis: melindungi brand dan industri mereka dari erosi nilai akibat pemalsuan. Sebab, ketika barang palsu yang meniru merek-merek Amerika masuk dan dijual bebas di Indonesia, mereka tidak hanya kehilangan potensi penjualan, tetapi juga menghadapi degradasi reputasi merek.
“Ini yang mendorong AS untuk menekan negara seperti Indonesia agar memperkuat perlindungan HKI, meski negara asal produksi seperti Tiongkok tidak disentuh secara frontal karena kompleksitas hubungan dagang yang lebih besar,” tuturnya.
Namun, terlepas dari itu, Achmad melihat penegakan hukum terhadap barang palsu di Indonesia, khususnya di ranah digital, masih jauh dari kata optimal. Baik pemerintah maupun penegak hukum, selama ini cenderung bergerak setelah ada laporan dari pemegang merek.
Padahal, pendekatan ini hanya menimbulkan kesan bahwa negara bersikap pasif terhadap pelanggaran hukum yang jelas. Sebagai langkah proaktif, pemerintah bisa menggunakan pendekatan berbasis data dan teknologi untuk mengidentifikasi titik-titik distribusi barang ilegal, termasuk menerapkan kebijakan sanksi administratif terhadap pasar atau platform yang terbukti membiarkan perdagangan ilegal berlangsung.
“Di sisi lain, kampanye edukasi publik tentang pentingnya membeli produk asli dan dukungan kepada brand lokal juga perlu ditingkatkan. Penting untuk dipahami, bahwa tidak semua pelaku di Pasar Mangga Dua atau pelapak online adalah pelaku niat buruk. Sebagian besar adalah UMKM yang mencari nafkah di tengah persaingan ketat,” imbuh Achmad.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz