tirto.id - Narasumber dalam artikel ini meminta untuk berkomentar secara anonim demi keamanan dan privasi mereka.
Daniel (bukan nama sebenarnya) mengaku mulai berhati-hati dalam mengekspresikan sikap dan aktivitasnya yang berkaitan dengan politik. Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang berkuliah di Amerika Serikat (AS), ia mengaku khawatir kasus yang menimpa Aditya Harsono, sewaktu-waktu bisa menimpa dirinya atau teman-teman sesama pelajar asal Indonesia lain.
Mahasiswa Indonesia bernama Aditya Harsono ditangkap agen ICE (U.S. Immigration and Customs Enforcement) di Marshall, Minnesota, AS, akhir Maret 2025 lalu. Dia ditangkap diduga gegara pandangan politiknya yang mendukung gerakan Black Lives Matter sebagai aksi protes atas kematian warga kulit hitam George Floyd pada 25 Mei 2020.
Aditya ditangkap oleh Homeland Security dan Immigration and Customs Enforcement (ICE) pada 27 Maret 2025. Penangkapan ini terjadi hanya empat hari setelah visa pelajar F-1 miliknya dicabut tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Berdasarkan keterangan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), pada tahun 2022, Aditya tercatat mendapat gugatan hukum karena melakukan tindak perusakan properti (fourth degree offense) saat melakukan aksi demonstrasi terkait kematian George Floyd, yang memantik gerakan Black Lives Matter. Akibat tuduhan itu, ia ditahan di Kandiyohi County Jail, Marshall, Minnesota.
“Di tempat kuliahku sudah ada puluhan mahasiswa dari negara lain yang dideportasi karena aktivitas politik, khususnya demonstrasi pro-Palestina. Jadi, kekhawatiran ini sudah muncul dari bulan lalu,” ujar Daniel pada Selasa (15/4/2025) malam waktu Amerika Serikat.
Tindakan pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi memang terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Trump di AS akhir-akhir ini, usai politisi Partai Republik itu mengeluarkan perintah eksekutif bertajuk “Additional Measures to Combat Anti-Semitism” yang bertujuan untuk memerangi antisemitisme, tak terkecuali di kampus-kampus AS.
“Kepada semua penduduk asing yang bergabung dalam protes pro-jihadis, kami memberi tahu Anda: mulai tahun 2025, kami akan menemukan Anda, dan kami akan mendeportasi Anda," tandas Tump dalam lembar fakta yang diterbitkan Gedung Putih sehari setelah keluarnya perintah eksekutif, seperti dikutip Al Jazeera.
Perintah ini menyatakan bahwa mahasiswa internasional, yang terlibat dalam kegiatan yang mendukung kelompok seperti Hamas, dapat dikenakan tindakan hukum, termasuk deportasi. Tak hanya itu, pemerintah AS juga dikabarkan mendorong institusi pendidikan tinggi untuk memantau dan melaporkan aktivitas mahasiswa internasional yang dianggap melanggar hukum federal, seperti mendukung terorisme.
"Saya juga akan segera membatalkan visa pelajar semua simpatisan Hamas di kampus-kampus yang telah dipenuhi dengan radikalisme, yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Trump.
Ketakutan untuk Mengekspresikan Dukungan pada Palestina
Senada, Dinda (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil studi doktoral di AS, bercerita bahwa sejak ada peralihan kepemimpinan AS ke tangan Trump, kampusnya sudah memberikan arahan kepada mahasiswa internasional terkait hal apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan.
“Saat saya berdiskusi dengan profesor di sini, ia baru menyadari bahwa ternyata bukan hanya menyuarakan isu saat ini, tetapi riwayat pernah bersuara, atau melakukan pelanggaran, seperti pelanggaran lalu lintas juga bisa berakhir dengan penangkapan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (15/4/2025) malam waktu Amerika Serikat.
Imbas kebijakan politik itu, Dinda bercerita, ia dan beberapa kolega mahasiswa internasionalnya merasa perlu membatasi diri. Sama seperti Daniel, sedikit banyak ia khawatir kasus yang menimpa Aditya terjadi pada dirinya atau sesama kolega mahasiswa Indonesia di AS.
“Mengalami kekhawatiran tentang kasus serupa adalah hal yang wajar dialami. Hal yang dapat dilakukan adalah mengikuti imbauan KJRI [Konsulat Jenderal Republik Indonesia] setempat dan menjaga komunikasi dengan international office di kampus,” ujarnya menambahkan.
Kepada Tirto, Dinda juga menunjukan poster imbauan dari salah satu KJRI di luar negeri yang berisi beberapa poin imbauan kepada mahasiswa Indonesia di AS, salah satunya untuk mengelola media sosial dengan bijak.
“Kelola media sosial dengan bijak--hindari unggahan yang bisa disalahartikan dan berdampak hukum,” bunyi salah satu poin imbauan dari KJRI tersebut
Kembali ke Daniel, ia menilai adanya kebijakan Trump ini menurutnya cukup berhasil membungkam suara-suara kritis dari mahasiswa asing terhadap isu-isu sosial dan politik yang diperjuangkan.
“Represi terhadap gerakan pro-Palestina ini cukup berhasil, karena sudah berurusan dengan deportasi sepihak, kami sangat takut dan demonstrasi di kampus juga menurun (tadinya hampir setiap hari dengan jumlah ratusan demonstran, sekarang hanya seminggu sekali dan hanya puluhan),” ujarnya .
“Sekarang most of the international students, even yang sudah dapat green card jadi jauh lebih diam. Gerakannya hanya dilakukan US citizen saja sekarang ini,” ujarnya menambahkan.
Ia bercerita, sebelum masa kepemimpinan Trump, praktik-praktik pembungkaman terhadap suara mahasiswa beberapa kali memang telah terjadi, namun tidak semasif sekarang pada masa kepemimpinan Trump.
“Kalau pembungkaman pasti ada tapi nggak semasif sekarang sih, Kak. Dulu yang direpresi itu encampment di kampus, NYPD sampai masuk kampus. Tapi tidak ada yang dideportasi. Jadi biasa ditangkap lalu langsung dibebaskan,” ujarnya.
Meski tak secara langsung menyuarakan isu soal politik dalam negeri AS maupun Palestina, Daniel, yang belakangan ini bersama beberapa kelompok mahasiswa di AS mulai aktif menyoroti isu-isu sosial dan politik yang terjadi di tanah air, turut was-was.
“Untuk membicarakan politik Indonesia juga cukup waswas karena beberapa kali kami berkumpul, ada belasan orang yang mengontak teman-teman kami menanyakan, 'siapakah yang menginisiasi perkumpulan ini?' dan 'dimana perkumpulannya?'. Saat hari H pun akhirnya ada orang-orang tak diundang yang datang,” ujarnya.
“Walaupun saat acara mereka tidak menganggu, tapi kami duga mereka memfoto semua yang ikut acara dari tindak-tanduknya, ini kami tafsirkan sebagai pesan bahwa kegiatan kami membicarakan politik di Indonesia selalu diawasi,” tutup Daniel.
Tirto juga terhubung dengan Tyo (juga bukan nama sebenarnya) salah satu diaspora Indonesia yang sebelumnya mengaku cukup aktif menyuarakan dukungannya terhadap Palestina.
“Pernah sekali disini ada aksi soal Palestina, ikut aksi itu spontan aja sih gak direncanain sebelumnya. Sekarang udah nggak berani lah, even nge-upload di medsos soal Palestina aja mikir-mikir,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (16/4/2025) pagi waktu Amerika Serikat.
Ancaman deportasi turut menjadi penyebab utama ketakutan Tyo. Pasalnya, ia juga mesti menyelesaikan studinya yang telah sampai pada tahap akhir. Meski begitu, ketika studinya telah selesai ia berniat untuk bergegas segera pulang ke Indonesia dan tidak berniat untuk melanjutkan karir di negara Paman Sam tersebut.
“Enggak. Mending pulang aja, gak enak juga disini gak bebas,” ujarnya.
Kebijakan Deportasi Jadi Senjata Trump
Pada akhir Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, telah mengonfirmasi bahwa setidaknya 300 visa mahasiswa telah dicabut. Mereka dinilai terlibat dalam aksi protes pro-Gaza.
Ada beberapa universitas yang menjadi bidikan yaitu Universitas Columbia, Universitas Tufts, dan Universitas Alabama, karena universitas-universitas tersebut diduga gagal melindungi mahasiswa Yahudi dari diskriminasi. Sebagian mahasiswa dari kampus tersebut sudah ditangkap dan visanya dicabut. Mereka terancam dideportasi dari AS.
Salah satu dampak signifikan dari perintah ini adalah pencabutan lebih dari 400 juta dolar AS dana federal untuk Universitas Columbia pada 14 Maret 2025, yang sebagian besar berasal dari hibah National Institutes of Health (NIH).
Selain itu, pada 15 Maret 2025, Mahmoud Khalil, seorang aktivis mahasiswa Palestina di Columbia, ditangkap oleh ICE dan menghadapi ancaman pencabutan status green card-nya. Tindakan ini menuai kritik luas karena dianggap melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS yang melindungi kebebasan berbicara.
Perintah eksekutif ini juga memicu tantangan hukum dari kelompok pembela hak sipil, seperti American Civil Liberties Union (ACLU) atau Serikat Kebebasan Sipil Amerika Serikat, yang menilai bahwa kebijakan ini dapat membatasi kebebasan berekspresi di kampus-kampus AS. Imbas kebijakan ini, beberapa universitas di Kanada melaporkan peningkatan jumlah aplikasi dari mahasiswa AS yang mempertimbangkan untuk melanjutkan studi mereka di luar negeri sebagai respons terhadap kebijakan imigrasi yang semakin ketat di AS, menukil Reuters.
Per April 2025, belum ada jumlah pasti mengenai mahasiswa asing yang dideportasi dari Amerika Serikat secara khusus karena berpartisipasi dalam protes pro-Palestina. Namun, perintah eksekutif pemerintahan Trump yang menargetkan aktivisme semacam itu telah memicu perkembangan hukum dan politik yang signifikan.
Menurut Reuters, lebih dari 4.700 mahasiswa internasional telah dihapus dari sistem Student and Exchange Visitor Information System (SEVIS) sejak pelantikan Presiden Trump. Meskipun sebagian dari penghapusan ini terkait dengan pelanggaran ringan atau tuduhan yang akhirnya dibatalkan, sebagian lainnya menimbulkan kekhawatiran terkait proses hukum yang adil dan transparansi.
Berdasarkan catatan Tirto, bukan kali pertama Trump menggunakan kebijakan imigrasi yang membuat mahasiswa internasional ketar-ketir.
Pada kepemimpinan periode pertamanya tahun 2021 lalu, Bea Cukai dan Imigrasi Amerika Serikat atau Immigration and Customs Enforcement (ICE) mengeluarkan kebijakan baru yang menyebutkan bahwa jika kampus menyelenggarakan kuliah online secara penuh--akibat pandemi COVID-19--semester depan, mahasiswa yang memegang visa berjenis F-1 "harus meninggalkan Amerika Serikat" dan pulang ke negara masing-masing.
Jika menolak, "mereka mungkin menghadapi konsekuensi imigrasi termasuk, tetapi tidak terbatas pada, inisiasi proses penghapusan" alias deportasi.
Kontradiksi Modern
Pakar politik internasional yang juga menjabat sebagai Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Riau (UIR), Agung Wicaksono, menilai ada semacam kontradiksi dalam situasi yang terjadi di dalam negeri AS yang terkenal sebagai pelopor negara demokrasi modern..
“Di satu sisi kebebasan berpendapat dijamin, tapi disisi lain, jika kebebasan itu dipandang mengancam stabilitas atau kepentingan nasional, pemerintah bisa saja menggunakan kebijakan imigrasi untuk membatasi ruang ekspresi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (16/4/2025).
Agung melihat Trump memang menggunakan cara yang lebih represif terhadap kelompok yang dianggap berseberangan dengan agenda nasional pemerintah, terutama dalam soal imigrasi dan kebebasan berpendapat. Salah satunya, mahasiswa internasional yang aktif di demo atau pergerakan protes—misalnya terkait Palestina—jadi sangat rentan, bahkan bisa jadi sasaran untuk deportasi.
“Ini lebih dari sekadar soal kebebasan berbicara; ini soal bagaimana kebijakan imigrasi digunakan untuk menekan suara-suara yang berseberangan,” ujarnya
Agung yang juga pernah menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Hungaria periode tahun 2021 mengaku paham betul atas kekhawatiran diaspora termasuk para mahasiswa Indonesia di AS terkait kebijakan ketat Trump ini.
Ia menambahkan, di luar negeri apalagi di negara seperti AS yang sedang sangat sensitif soal politik dalam beberapa tahun terakhir, perasaan diawasi memang bisa muncul, terutama ketika kita membicarakan isu-isu yang cukup sensitif.
“Tapi, yang penting adalah, kita bisa tetap bersuara, hanya saja perlu lebih hati-hati dan cermat dalam memilih cara kita menyampaikannya,” ujarnya
Agung menambahkan ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk tetap menyuarakan pendapat tanpa harus khawatir. Misalnya, dengan cara menggunakan ruang akademik, forum-forum diskusi di kampus, tulisan di jurnal, atau bahkan opini di media.
“Itu semua bisa jadi saluran efektif untuk berkontribusi tanpa harus terlibat langsung dalam aksi yang berisiko. Kalau kita berbicara dalam ranah yang lebih intelektual dan berbasis data, itu akan lebih sulit dibendung,” ujarnya.
Pemerintah Mesti Beri Perlindungan
Anggota Komisi I DPR Junico Siahaan sempat menyoroti penahanan Aditya Harsono di AS. Ia Kemlu dan seluruh jajaran perwakilan diplomatik Indonesia di AS untuk secara aktif memastikan terpenuhinya hak-hak WNI yang ditangkap itu dalam menjalani proses peradilan di negara asing.
"Kami mendesak Kemlu dan KJRI Chicago untuk terus memberikan pendampingan maksimal terhadap WNI kita yang ditangkap di Amerika Serikat. Ini bukan hanya soal kasus hukum perorangan, tetapi menyangkut marwah negara dalam melindungi warganya di luar negeri," kata Junico Siahaan, melalui keterangan yang diterima Tirto, Rabu (15/4/2025).
Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu menilai, kasus ini merupakan pengingat bahwa dinamika sosial-politik di negara seperti AS sangat kompleks. Untuk itu ia mengimbau WNI yang bermigran untuk cermat melihat situasi di negeri orang.
"Kami mengimbau WNI, khususnya pelajar dan diaspora di AS, untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan menyuarakan opini. Ini bukan soal membatasi kebebasan berekspresi, tetapi lebih kepada memahami konteks politik dan hukum yang berlaku di negara tempat tinggal masing-masing,” ungkap Nico.
Menurut Nico, kebebasan berekspresi itu merupakan hak setiap orang, apalagi dalam menyangkut hal-hal kemanusiaan.
“Saya hanya mengimbau untuk lebih berhati-hati. Bukan kita mengesampingkan sisi kemanusiaan dan juga solidaritas, tapi ketika kita menyampaikan isu hari ini di Amerika, saya harap bisa berpikirlah seribu kali untuk itu, apalagi dengan posisi sebagai pendatang,” sebutnya.
Secara khusus, anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan luar negeri itu menyoroti tantangan yang dihadapi WNI di negara seperti AS, yang sistem hukumnya sering kali kompleks dan tidak selalu mudah dipahami. Menurut Nico, ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai pelanggar oleh otoritas di sana, maka proses hukum bisa menjadi sangat sulit apalagi bagi warga negara asing.
“Maka kehadiran negara sangat diperlukan. Kita tahu Amerika Serikat ini negara yang unik. Kalau mau dibilang aneh juga bisa. Terutama dengan pemimpinnya yang sekarang, peraturannya sering berubah-ubah," ucap Legislator dari Dapil Jawa Barat I tersebut.
Untuk itu, Nico mengingatkan betapa pentingnya agar Indonesia segara mengisi posisi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat yang sudah kosong selama 2 tahun. Ia mengatakan kehadiran Dubes RI untuk AS sangat diperlukan, utamanya untuk menangani berbagai kasus terkait WNI yang berada di negeri Paman Sam itu.
"Tanpa kehadiran duta besar, respons terhadap kasus-kasus seperti ini bisa menjadi lebih lambat dan tidak maksimal. Kita butuh wakil yang mampu membuka dialog langsung dengan pemerintah AS demi melindungi kepentingan warga kita,” ujar Nico.
Kemenlu melalui pernyataan Direktur Perlindungan WNI dan BHI, Judha Nugraha, mengatakan saat ini pihaknya bersama KJRI Chicago telah memberikan pendampingan kepada Aditya.
"KJRI Chicago telah berkomunikasi dengan AWH dan istri yang bersangkutan yang berwarga negara AS. Selama proses hukum, yang bersangkutan telah didampingi pengacara," kata Judha, dalam keterangan pers, Selasa (15/4/2025).
"Namun Department of Homeland Security mengajukan banding yang dijadwalkan diadakan pada tanggal 17 April 2025. Saat ini AWH ditahan di Kandiyohi County Jail, Marshall, Minnesota," kata dia.
Dirinya memastikan ke depan, AWH akan mendapatkan haknya untuk pendampingan hukum hingga putusan inkrah.
"Kemlu dan KJRI Chicago akan terus melakukan pendampingan hukum untuk memastikan terpenuhinya hak-hak AWH dalam proses hukum di AS," tutur Judha.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty