tirto.id - Pertanian di Indonesia terutama di sektor makanan pokok mengalami masa suram. Tercatat semenjak 2017 hingga 2023 telah terjadi penurunan produksi padi di Indonesia. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi di 2017 sebesar 59,7 juta ton, sementara di 2023 menurun menjadi 53,9 juta ton.
Turunnya produksi padi di Indonesia juga berpengaruh pada sektor ekonomi. Kerugian ekonomi yang akan ditanggung dari hilangnya nilai produksi padi sebesar Rp42,4 triliun per tahun pada 2051–2080, dan kemungkinan meningkat pada 2081–2100.
Menurunnya produksi pangan di Indonesia juga diperkuat oleh riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Kepala Center of Food, Energy, Sustainable Development Indef, Abra Talattov, menyebut sejak 2014 hingga akhir 2023, pertumbuhan sektor pertanian tercatat turun 294 basis poin (bps).
“Kontribusi sektor pertanian terus merosot, dengan pertumbuhan turun dari 4,24 persen pada 2014 menjadi 1,3 persen pada 2023 dan pangsa sektor pertanian terhadap PDB menyusut menjadi 12,53 persen,” kata Abra dalam keterangan resmi dikutip Senin (23/9/2024).
Tergerusnya angka produksi akibat serangan hama, penyakit, hingga fenomena perubahan iklim seperti El Nino masih belum ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut adanya krisis iklim sehingga mempengaruhi produksi beras Indonesia.
Menghadapi krisis iklim tersebut, Kementerian Pertanian sendiri telah mengatur sejumlah strategi. Di antaranya dengan program perluasan areal tanam (PAT). Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman kerap berkeliling ke sejumlah daerah lumbung padi untuk mensosialisasikan konsep tersebut dan menargetkan setahun dapat dua kali panen dengan produktivitas 5 ton per hektare.
“Kita sedang menghadapi ancaman perubahan iklim ekstrem, jadi kita harus bersama-sama bergerak, jika seluruh provinsi bisa mencapai target PAT dan menghasilkan minimal dua kali panen dengan produktivitas 5 ton per hektare, maka masalah defisit pangan dapat kita atasi” ucap Andi Amran dalam keterangan pers di Bali, Sabtu (28/9/2024).
Selain dengan konsep PAT, Kementerian Pertanian juga gencar melakukan cetak sawah di wilayah Kalimantan dan Papua. Program cetak sawah ini berbeda dan diklaim sebagai pengganti program food estate sebelumnya.
Direktur Perbenihan Hortikultura Kementan, Inti Pertiwi Nashrawi, menjelaskan jika program cetak sawah tersebut merupakan upaya pemanfaatan lahan yang bisa dikembangkan menjadi area pertanian. Dia membantah jika ada deforestasi saat melakukan cetak sawah, karena menurutnya cetak sawah dilakukan di area rawa yang kemudian dioptimalisasi.
"Kegiatan kami itu optimalisasi lahan rawa tadi," kata Inti Pertiwi di Kantor Staf Presiden, Rabu (2/10/2024).
Dirinya mengakui bahwa cetak sawah dan PAT adalah upaya untuk meningkatkan produksi dari pertanian agar dapat memenuhi target di kala krisis iklim yang tak bisa diprediksi. Pihaknya lebih memilih upaya peningkatan produksi melalui perluasan areal lahan sawah dibanding mengubah sistem pertanian menuju pertanian cerdas iklim. Sistem pertanian ini sendiri rekomendasi Bank Dunia untuk mengatasi krisis iklim di bidang pertanian.
"Itu juga menjadi concern khusus bagi kita, cuma agak sedikit ada perbedaan begini, kalau itu membutuhkan anggara cukup tinggi," jelas Inti.
Anggaran yang tinggi itu, dijelaskan oleh Inti, digunakan untuk membangun green house, dan pengaturan air yang bersifat otomatis dengan bantuan teknologi dan pemilihan benih tahan krisis iklim. Inti mengeklaim Kementerian Pertanian telah menjalankan sejumlah pilot project sistem pertanian cerdas iklim di beberapa wilayah Indonesia.
"Kita sih ada beberapa pilot project, tapi nggak terlalu banyak juga," kata Inti.
Asisten FAO Representative Program in Indonesia, Ageng Herianto, menambahkan bahwa kebijakan cetak sawah merupakan solusi jangka menengah untuk meningkatkan produksi pangan di tengah krisis iklim. Menurutnya, selain karena krisis iklim, sawah di Indonesia juga banyak yang dialihkan jadi lahan perumahan atau industri, sehingga solusi cepatnya adalah cetak sawah.
"Tetapi itu semua juga tergantung pada APBN," tutur Ageng.
Dia juga mengakui bahwa pertanian cerdas iklim sulit dilakukan karena kendala biaya. Di tengah segala kesulitan, pihak FAO masih mengapresiasi pertanian Indonesia yang berada di peringkat kedua di Asia.
"Nah sekarang pertanyaannya bagaimana mempertahankannya bahkan kalau bisa meningkatkannya," imbuh Ageng.
Krisis Iklim Tersebab Konversi Lahan
Upaya konversi lahan hutan maupun rawa untuk digunakan menjadi cetak sawah baru menjadi potensi gas rumah kaca akibat perubahan tata guna lahan. Policy Manager di Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Dian Yuanita Wulandari, menjelaskan bahwa proses cetak sawah kerap kali dilakukan deforestasi yang berimbas pada hilangnya keanekaragaman hayati dan pada akhirnya memperburuk krisis iklim.
Menurut Dian, saat ini sudah ada 150.000 hektare sawah di Indonesia telah hilang dalam tiga tahun terakhir akibat konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri, infrastruktur, dan perumahan. Namun hingga saat ini, pemerintah belum ada upaya kebijakan untuk mencegah alih fungsi lahan dari pertanian ke perumahan.
"Saya khawatir, cetak sawah satu juta hektare ini kelak justru berakhir jadi kepentingan tertentu alih-alih untuk ketahanan pangan," kata Dian.
Dian menegaskan jika upaya memperkuat ketahanan pangan seharusnya dilakukan tidak hanya dengan mengandalkan pembukaan cetak sawah baru. Sebaliknya, diperlukan transformasi sistem pangan dari hulu ke hilir yang berkelanjutan dan adaptif untuk menghadapi perubahan iklim.
"Sistem pangan mencakup seluruh rantai nilai pangan, mulai dari produksi hingga distribusi, termasuk input, pemrosesan, transportasi, dan retail," terang dia.
Ada banyak yang harus dibenahi oleh Kementerian Pertanian jika hendak serius membenahi produksi pertanian di tengah krisis iklim. Dian berharap pemerintah menguatkan aspek pasca panen dan tak hanya berkutat pada sisi produksi.
"Lagi-lagi, saya menilai, pemerintah masih berfokus pada sisi produksi itu pun masih mengerucut pada program cetak sawah, food estate, ekstensifikasi dan intensifikasi. Penguatan aspek pasca panen, distribusi, pasar dan pemasaran, hingga pasca konsumsi masih jadi grey area," ucap Dian.
Dian juga menyebut pemerintah tak serius untuk menyemaikan metode pertanian cerdas iklim di Indonesia. Menurutnya, pertanian cerdas iklim yang kemudian dikenal dengan CSA di Indonesia masih berada di tataran ide yang belum terealisasi dengan optimal di lapangan.
Menurutnya dengan CSA, petani di Indonesia memiliki kemampuan adaptif dalam menghadapi krisis iklim dan juga penanganan pasca panen yang efisien. Sehingga kekhawatiran produksi panen yang menurun di musim panen berikutnya dapat diantisipasi.
"Pendapat pribadi saya. CSA dalam lingkup pemerintah masih di tataran gagasan, implementasi masih sangat minim. CSA pun masih dimaknai berkutat di level produksi - production minded," tutur dia.
Sementara itu, Chairwoman Koalisi Ekonomi Membumi, Gita Syahrani, mengatakan pemerintah perlu mendorong adanya peningkatan produktifitas pertanian yang sesuai dengan fungsi ekologis di masing-masing wilayah. Pemerintah dapat mendorong petani melakukan penanaman kembali di area lahan pasca panen dengan prinsip pertanian yang regeneratif dan agroforestri.
"Pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha penyuluh, kegiatan penyuluhan dan agro-input untuk mendorong peningkatan bahan baku komoditas termasuk hilirisasi," kata Gita.
Untuk menghadapi krisis iklim di sektor pertanian, Gita juga meminta pemerintah menyiapkan pendidikan untuk petani terutama regenarsi kelompok muda sehingga siap terjun ke dunia pertanian dengan baik.
"Karenanya, Indonesia perlu juga meningkatkan akses kesiapan tenaga kerja, baik lulusan sekolah kejuruan, vokasi, perguruan tinggu maupun peningkatan kapasitas tenaga kerja," pungkas dia.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fahreza Rizky