tirto.id - Kenaikan harga cabai yang kembali terjadi di awal Ramadhan bukanlah peristiwa baru atau di luar prediksi. Fenomena ini sebetulnya menjadi pola tahunan yang mestinya bisa dicegah dengan kebijakan pangan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Terlebih, musim hujan sejak Desember hingga Maret adalah siklus tahunan yang seharusnya tidak menjadi alasan bagi pemerintah bersikap seolah-olah terkejut dan kecolongan.
Namun, pemerintah masih menggunakan alasan klasik: musim hujan menghambat produksi. Tentu saja musim hujan menghambat produksi tanaman cabai yang berkategori komoditas mudah rusak (perishable goods). Akan tetapi, apabila tiap awal tahun dalih ini dikemukakan saat harga cabai meroket, ini bukan cuma menunjukkan kegagalan memahami kompleksitas sistem pangan, tetapi mengindikasikan kelalaian membangun ketahanan pangan nasional.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, di Gedung DPR, Kamis (6/3/2025), menyatakan bahwa curah hujan yang tinggi mengakibatkan alur distribusi cabai terganggu. Alhasil, harga cabai semakin mahal di awal Ramadhan. Hal ini disampaikan Amran menanggapi komoditas cabai rawit merah yang dipatok hingga Rp100 ribu per kilogram (kg) di pasar.
Amran menyatakan harga cabai sebelumya malah lebih meroket hingga Rp200 ribu per kg. Namun, Amran mengeklaim, harga cabai justru turun menjadi Rp100 ribu per kg. Amran meminta pihak terkait terus memperhatikan aspek distribusi guna menjaga stabilitas harga cabai.
Sehari sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), menyebut dalih yang sama. Zulhas terkejut harga cabai dapat meroket hingga Rp100 ribu lebih per kg. Hal itu diketahui Zulhas saat berbicara dengan pedagang ketika mengunjungi Pasar Johar Baru, Jakarta, untuk memantau harga pangan saat Ramadhan 2025, Rabu (5/3/2025).
Zulhas menyatakan harga cabai semakin mahal akibat curah hujan tinggi dan menghambat panen raya. Ia menjamin harga cabai akan menurun apabila musim hujan mereda.
“Yang pedas memang satu, cabai. Harganya pedas itu cabai. Tapi yang lain-lain sesuai dengan HET [harga eceran tertinggi] dan yang semua tadi saya tanya,” ucap Zulhas.
Setali tiga uang dengan Zulhas dan Amran, Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, mengeklaim harga komoditas pangan pada awal Ramadhan 2025 dalam kondisi relatif stabil kecuali komoditas cabai rawit merah. Budi mengungkapkan kenaikan harga pada komoditas cabai rawit merah di awal Ramadhan 2025 mencapai harga Rp81.700 per kg.
Terkait hal itu, Budi mengaku telah melakukan komunikasi dengan pusat produksi cabai di berbagai daerah untuk memonitor stabilitas harga cabai. Budi menyebut bahwa tingginya curah hujan menjadi biang kerok meroketnya harga cabai sehingga membuat pasokan cabai berkurang.
“Kami juga sudah berkomunikasi dengan center produksi cabai seperti di Magelang, Jawa Timur, dan Sulawesi karena prinsipnya adalah karena adanya pasokan yang berkurang, karena banyak hujan pada bulan ini,” kata Budi dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (3/3/2025).
Jika ditelaah lebih dalam, masalah ini tidak sekadar terletak pada cuaca atau pasokan. Ada persoalan mendasar dalam tata kelola rantai pasok cabai yang tidak pernah terselesaikan. Sebagai salah satu produsen cabai terbesar di Asia Tenggara, kita seharusnya tak mengalami lonjakan harga yang ekstrem hanya karena faktor musiman.
Produksi cabai pada beberapa wilayah sentra seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara memang mengalami gangguan faktor cuaca dan serangan hama. Namun, idealnya pemerintah bisa mengantisipasi ini dengan kebijakan yang lebih cermat. Di sisi lain, solusi yang diberikan pemerintah kerap tidak menyentuh akar persoalan dan mengada-ada.
Misalnya anjuran kepada masyarakat menanam cabai di pekarangan rumah ketika harga meroket. Meski menanam cabai menjadi upaya kemandirian pangan skala rumah tangga, ini bukanlah solusi lonjakan harga di tingkat nasional. Bukan tugas masyarakat merespons harga, pemerintah lewat kebijakan yang berpihak kepada petani dan konsumen seharusnya yang bermain peran.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai melonjaknya harga cabai musiman sudah dapat diprediksi jauh-jauh hari seharusnya. Apalagi Ramadhan disertai musim hujan, sudah hampir dipastikan harga cabai akan meningkat.
Menurut Huda, solusi yang ditawarkan pemerintah sangat konyol dengan anjuran menanam cabai di rumah. Bagi Huda, itu bukan kebijakan solutif karena kebutuhan cabai tidak sedikit. Maka itu seharusnya pemerintah mampu mendorong untuk inovasi pengawetan cabai.
Salah satunya melalui metode pengeringan. Dengan dikeringkan, cabai bisa jauh lebih awet dan tidak mudah busuk. Huda menyatakan, metode ini juga sudah diterapkan di beberapa negara.
Masalahnya, kata Huda, budidaya cabai di Indonesia tergolong skala kecil. Secara ekonomi belum masuk perhitungan menerapkan pengeringan cabai. Selain itu, cabai juga bisa diolah menjadi bubuk agar lebih tahan lama. Sayangnya, masyarakat Indonesia lebih menyukai komoditas cabai yang segar.
“Untuk beberapa jenis bumbu dapur, masyarakat masih memilih dalam bentuk ‘buah’ bukan bubuk,” ucap Huda.
Menanti Solusi Nyata
Ahli pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, membenarkan memang jika tidak ada kendala hujan, produksi cabai di Ramadhan seharusnya cukup. Faktor cuaca itu memang sangat berpengaruh dan bukan mengada-ada. Daerah sentra cabai akan mengalami kendala panen jika hujan terus menerus mengguyur.
Dalam jangka pendek, memang tidak mudah mengatasi persoalan ini. Namun untuk jangka panjang, kata Khudori, perlu dipikirkan sistem tanam cabai yang lebih tahan cuaca, misalnya dengan memakai rumah kaca. Dengan begitu, ketika hujan deras tak terjadi kendala. Tapi ini perlu modal yang besar dan di sinilah peran pemerintah dibutuhkan.
“Bahkan, saat hujan panen bisa gagal. Ketika itu terjadi produksi terbatas dan harga naik,” ucap Khudori kepada wartawan Tirto, Jumat (7/3/2025).
Pemerintah juga bisa mendorong petani cabai sudah mulai membangun gudang pendingin. Saat panen melimpah, produk hortikultura seperti cabai atau bawang merah dapat disimpan di gudang pendingin agar masa segarnya jadi lebih lama. Tentu, kata Khudori, pemerintah perlu melakukan intervensi dalam hal ini karena membutuhkan modal yang tak sedikit.
Pemerintah semestinya sudah dari jauh-jauh hari memiliki kebijakan yang mampu meredam lonjakan harga. Salah satunya adalah dengan memperkuat sistem penyimpanan atau buffer stock untuk komoditas mudah rusak seperti cabai. Teknologi pengeringan dan penyimpanan dingin seharusnya bisa dikembangkan lebih lanjut agar pasokan tetap stabil meski produksi terganggu. Saat ini, solusi semacam itu belum menjadi prioritas.
Selain itu, ketergantungan pada wilayah produksi tertentu juga memperparah situasi. Ketika daerah sentra gagal panen, daerah lain tidak bisa langsung menutup kekurangan tersebut. Sebab, pola tanam yang diterapkan masih bersifat sporadis dan belum ada perencanaan yang betul-betul matang dari pemerintah untuk diversifikasi produksi di berbagai wilayah.
Sementara itu, Pegiat Asosiasi Champion Cabai Indonesia (ACCI) Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Teguh Suprapto, optimistis harga berbagai jenis cabai khususnya cabai rawit merah berangsur turun dan tetap stabil saat momentum Lebaran 2025 mendatang.
Ia mengakui harga aneka cabai memang mengalami kenaikan pada awal Ramadhan. Terutama komoditasnya cabai rawit merah yang melonjak cukup signifikan. Ia mengatakan cabai rawit merah di tingkat petani pada awal bulan Ramadhan sempat mencapai kisaran Rp90.000 per kilogram, namun saat sekarang turun hingga kisaran Rp47.000-Rp55.000 per kilogram.
“Jadi, pasar kosong, harga naik, tapi sekarang turun drastis, tambah lagi kemarin terjadi banjir di Bekasi, sehingga pasarnya loyo. Cabai itu pergerakannya cepat banget, sehari saja enggak petik, harganya langsung naik, tapi kalau satu hari saja pasar enggak mau menerima, harganya langsung turun," kata Teguh dikutip dari Antara.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menyebut, pemerintah bersama pelaku usaha berupaya menjaga harga pangan pokok di tingkat konsumen tetap sesuai harga eceran tertinggi (HET) dan harga acuan penjualan (HAP) guna mengendalikan inflasi pangan.
Dia menuturkan bahwa cabai menjadi satu-satunya komoditas dengan harga yang meroket tinggi. Arief menilai hal itu dipengaruhi oleh kondisi pasokan yang bergantung pada cuaca dan faktor alam lainnya yang menyebabkan kegagalan panen.
Arief berharap penggunaan teknologi seperti cungkup atau green house akan membantu para petani cabai meningkatkan hasil panen dan menjaga harga agar tetap stabil di musim hujan. Arief menambahkan, tingkat inflasi pangan tahunan di Februari 2025 masih berada di angka positif yakni 0,56 persen. Ini harus terus dijaga pemerintah terlebih kondisi inflasi umum mengalami torehan -0,09 persen.
“Kita melihat di Pasar Johar, pasokannya baik, harganya juga baik, padahal ini pasar turunan. Jadi harganya saya lihat tidak ada yang di atas HAP dan HET, kecuali cabai. Memang tergantung sumber pasokannya, karena beda-beda,” kata Arief dalam keterangan tertulis, Kamis (6/3/2025)).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz