tirto.id - Bank Indonesia mengakui bahwa rasio kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia masih tergolong rendah. PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) mencatat, pada triwulan IV 2023, rasio KPR terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia ialah sebesar 3,16 persen—naik tipis dari posisi triwulan sebelumnya yang sebesar 3,10 persen.
Menurut Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI), Solikin M. Juhro, rendahnya rasio KPR itu berkaitan dengan tingginya tingkat backlog—kesenjangan antara jumlah rumah yang terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat, termasuk rumah yang tidak layak huni.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), angka backlog tercatat masih sebesar 9,9 juta unit di 2023. Kondisi ini mengalami perbaikan dari tahun sebelumnya, saat backlog masih tercatat sebanyak 10,51 juta unit.
“Ada backlog di berbagai daerah. Kalau kita lihat, di Sumatra dan Jawa. Yang banyak itu di Jawa. Kalau di Bali dan Nusa Tenggara, yang enggak ada [backlog] itu di Papua. Enggak ada karena orangnya enggak banyak,” ujar Solikin dalam Taklimat Media di Kantor Pusat BI, Jakarta Pusat, pada Rabu (26/3/2025).
Soal kepemilikan rumah, KPR sampai saat ini masih didominasi oleh rumah tapak nonsubsidi. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN, misalnya, di sepanjang 2024 menyalurkan KPR bersubsidi mencapai Rp173,84 triliun—naik 7,5 persen secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan 2023. Sementara itu, penyaluran KPR nonsubsidi tercatat sebesar Rp105,95 triliun—tumbuh 10,2 persen hingga akhir 2024.
“Kalau kita lihat juga, sementara dari rasio KPR kita juga masih rendah. Nah, inilah kita yang memang harus [tingkatkan]. Jadi, secara kontrafaktual pun kita melihat, ini ya concern dari Bapak Presiden,” jelas Solikin.
Rendahnya rasio KPR disebut Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, juga disebabkan oleh penurunan minat dan kemampuan masyarakat untuk membeli rumah, baik itu rumah tapak maupun hunian vertikal.
Kondisi tersebut tak lain disebabkan adanya tren penurunan daya beli masyarakat dan juga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif terjadi belakangan.
Selain masyarakat, pengembang pun tengah menghadapi tantangan dari kondisi ketidakpastian ekonomi domestik saat ini. Hal ini semakin diperparah oleh banyaknya protes dan demonstrasi terkait penolakan Undang-Undang TNI hingga pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
“Kemudian, yang internal sendiri adalah harganya juga yang bisa ditawarkan [oleh pengembang]. Supaya harga itu tetap terjangkau [konsumen], tapi kami bisa tetap juga ikut berpartisipasi [menyediakan rumah murah],” ujar Bambang saat dihubungi Tirto, Kamis (27/3/2025).
Skema KPR Masih Terlalu Berat
Sebagai pengembang, REI sadar bahwa solusi untuk menutup backlog adalah dengan meningkatkan hunian, utamanya bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR). Namun, seiring dengan perlambatan ekonomi nasional yang sedang terjadi, hanya sedikit pengembang yang bersedia menyediakan rumah murah.
Sayangnya, harga yang ditawarkan pemerintah kepada pengembang jauh lebih rendah dari biaya konstruksi. Sehingga, jika pengembang nekat mengambil peran dalam penyediaan rumah bersubsidi, tak ada untung yang masuk kantong.
“Kuncinya, tentu kalau REI sebagai mitra, kami berharap ada satu harga yang fair sehingga win-win, ya. Pemerintah bisa memenuhi target, kami juga ada sedikit profit margin yang memungkinkan kami terus bisa membangun. Kalau harga sekarang ini kan patokannya lebih rendah dari biaya konstruksi, itu kan enggak mungkin lah,” sambung Bambang.
Saat ini, yang mampu dikerjakan REI adalah membantu pembangunan rumah subsidi dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sedangkan, program 3 juta rumah yang digadang-gadang pemerintah sebagai jalan keluar untuk permasalahan backlog masih belum jelas skema pendanaannya sehingga belum banyak pengembang yang berani ambil peran.
Di sisi lain, jika program 3 juta rumah ingin terserap dengan maksimal, pemerintah juga harus memberikan fasilitas keringanan atau subsidi kredit kepada masyarakat. Sebab, skema KPR yang saat ini ditawarkan oleh perbankan nasional masih terlampau berat (ada yang di atas 7 persen) untuk diakses oleh kalangan MBR.
“Kalau MBR, sudah pasti harus bentuknya adalah subsidi. Sedangkan, kalau hunian vertikal itu, yang sekarang ini berkembang lebih ke hunian vertikal komersial. Nah, hunian vertikal komersial kan tergantung dari daya beli. Dan kebetulan memang untuk saat ini, hunian komersial agak sedikit terhambat karena memang harganya makin tinggi, daya belinya berkurang,” terang Bambang.
BPS dalam laporan Indeks Harga Properti Perumahan (IHPP) 2024 merangkum bahwa harga properti telah meningkat 10,90 persen sejak 2019. Kenaikan harga rumah dalam kurun waktu lima tahun tersebut ialah sebesar 11,19 persen dan kenaikan harga apartemen mencapai 5,52 persen.
IHPP 2024 juga menunjukkan bahwa harga properti baru pada Maret 2024 meningkat sebesar 2,76 persen dibandingkan Maret 2023—harga rumah meningkat sebesar 2,97 persen, sedangkan harga apartemen turun sebesar 1,03 persen.
Kenaikan harga properti tersebut sedikit melambat dibandingkan dengan peningkatan harga properti pada 2023.
Kenaikan harga properti tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti kenaikan harga material bangunan, kenaikan harga tanah, serta masih tingginya permintaan terhadap hunian.
“Di Indonesia, itu harga tanah kita bisa saja melihat, katakanlah ada satu wilayah ingin membangun IKN, dengan itu kan langsung meningkat harga tanah di sekitaran situ. Belum lagi juga harga bahan bangunan yang inflasinya juga cukup tinggi. BPS memperkirakan sekitar 4 persen kalau enggak salah,” jelas peneliti kebijakan sosial dari The Prakarsa, Darmawan Prasetya, kepada Tirto, Kamis (27/3/2025).
Meski begitu, masalah ketersediaan rumah di Indonesia utamanya terjadi karena in-silo policy—sistem kebijakan yang terjadi ketika lembaga bekerja secara independen dan tidak berbagi informasi. Sehingga, kebijakan yang dirilis antara satu kementerian/lembaga (K/L) dengan K/L lainnya saling tumpang tindih.
Selain itu, jumlah dan konsep MBR yang juga tidak jelas membuat kebijakan pemerintah yang sedianya dirilis untuk masyarakat kalangan bawah sering kali tidak tepat sasaran. Hal ini kemudian diperparah dengan tumpang tindih kebijakan yang membuat data penduduk miskin berbeda-beda antar-K/L.
“Bahkan, kategori mereka juga itu fakir miskin yang masuk dalam DTKS [Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dari Kementerian Sosial] yang itu, sudah berbeda dengan kategori MBR yang digunakan oleh Kementerian PUPR,” imbuh Darmawan.
Di sisi lain, minimnya stimulus atau pembiayaan untuk pengembang juga sering membuat rumah susun sewa (rusunawa) atau rumah subsidi yang diperuntukkan bagi MBR didirikan di lokasi-lokasi pinggiran daerah dengan akses terhadap transportasi umum juga sulit dijangkau.
Akibatnya, banyak MBR yang sebelumnya menyewa unit-unit di rusunawa atau membeli rumah subsidi di pinggiran kota tak ingin kembali lagi dan membiarkan hunian tersebut kosong.
“Nah, itu yang menjadi konsepnya bahwa baik regulasi, aktor, maupun teknis ini tidak pernah tersinkronisasi dengan baik. Hasilnya apa? Backlog itu tadi,” ujar Darmawan.
Menggenjot Jumlah Hunian
Untuk mengatasi masalah backlog perumahan, pemerintah mau tak mau harus menggenjot ketersediaan hunian, baik itu yang berbentuk rumah tapak maupun hunian vertikal. Tak cukup itu saja, subsidi juga harus diberikan kepada masyarakat miskin yang belum pernah memiliki hunian.
Di sisi lain, untuk meningkatkan rasio KPR terhadap PDB, pemerintah tak bisa dengan mudahnya meminta perbankan nasional menurunkan suku bunga KPR mereka. Sebab, baik di himpunan bank milik negara (Himbara) maupun perbankan swasta, bunga KPR akan dikembalikan kepada mekanisme pasar, kendati Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan.
“Kalau suku bunga lagi tinggi, ya KPR juga nyesuain. Benar-benar enggak cuma bank swasta, bank [milik] pemerintah juga sama. BNI, BRI, Mandiri, BTN juga kan begitu. Namanya perbankan, dia kan ngikutin suku bunga,” tutur konsultan di AS Property Advisor, Anton Sitorus, kepada Tirto, Kamis (27/3/2025).
Dus, bunga KPR yang tergolong tinggi itu praktis sulit diakses oleh MBR. Hal ini jugalah yang kemudian melatarbelakangi dirilisnya program FLPP—memberikan diskon bunga KPR bagi MBR yang hendak membeli hunian pertama.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya juga bisa memasukkan FLPP ke dalam salah satu bagian dari program 3 juta rumah. Sebab, dampaknya sudah jelas terasa, alih-alih hanya berambisi untuk menjalankan program 3 juta rumah saja.
“Karena kan program 3 juta rumah ini kalau misalnya dijabarkan angkanya kan sangat spektakuler. FLPP 200 ribu [unit], tahun ini katanya mau dinaikin jadi 250 ribu (unit). Itu kan hanya 10 persen doang dari 3 juta. Itu sangat kecil. Yang lainnya gimana?” sambung Anton.
Namun, tak kalah penting, pemerintah juga harus menyediakan rumah murah. Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan kembali kerja Perum Perumnas yang, menurut Anton, saat ini lebih sering membangun apartemen ketimbang rumah tapak dengan harga miring.
“Mengenai KPR, yang juga enggak kalah penting adalah sebenarnya kalau harga rumah itu murah, terjangkau. Mulai dari situ dulu. Jadi, begini lho. Percuma juga kalau KPR murah, tersedia, gitu ya. Tapi, harga rumahnya juga mahal. Kan tetap sulit juga buat MBR,” ucap Anton.
Sebelumnya, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, mengatakan bahwa pemerintah masih terus menggenjot pelaksanaan program pembangunan 3 juta rumah untuk menyelesaikan masalah backlog perumahan. Sebab, menurutnya, hunian yang layak merupakan hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi pemerintah.
Karenanya, untuk mempercepat implementasi program ini, Kementerian PKP juga telah menggandeng Perumnas sebagai salah satu mitra. Pada saat yang sama, dia juga tengah merancang kebijakan yang dapat menuntaskan masalah perumahan.
“Kita harus memastikan bahwa kebijakan perumahan bersifat holistik, mencakup supply dan demand, serta didukung oleh percepatan regulasi yang diperlukan. Artinya, Program 3 Juta rumah ini sudah tepat untuk dilaksanakan. Saat ini yang mesti kita lakukan adalah percepatan pembangunan perumahan dan menyiapkan regulasi-regulasi percepatannya untuk mengurangi backlog perumahan,” kata Fahri, dikutip Antara, Kamis (27/3/2025).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi