tirto.id - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menepis anggapan masyarakat bahwa Indonesia sedang dalam kondisi krisis, seperti yang dinarasikan oleh tagar #IndonesiaGelap, yang kini ramai digemakan warganet di berbagai platform media sosial. Menurut Luhut, sejauh ini Indonesia sudah berkembang dengan cukup baik.
Bahkan, menurutnya, tidak ada masalah terkait kurangnya jumlah lapangan kerja. Pun, ia mengeklaim, kini sudah tidak ada lagi tunawisma di Indonesia, berbanding terbalik dengan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), yang katanya masih banyak pengangguran dan orang-orang yang tak punya hunian.
"Ada orang bilang di sini lapangan kerja kurang, di mana yang lapangan kerja enggak kurang? Di Amerika juga bermasalah, di mana aja bermasalah," kata Luhut, dalam acara dalam acara The Economic Insights 2025, di The Westin, Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi periode 2019-2024 itu menilai, seharusnya, masyarakat, khususnya generasi muda, bisa bangga menjadi warga negara Indonesia. Meski diakuinya, pengelolaan Indonesia oleh pemerintah masih punya berbagai kekurangan.
“Jadi, karena kita nggak bangga jadi orang Indonesia, kita hanya kira kurangnya. Di mana sih yang sempurna? Di Amerika tuh homeless juga banyak. Di kita nggak ada. Jadi, jangan kita hanya melihat yang jauh, yang kurang banyak,” ujar dia.
“Jadi, kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap ‘kau’, bukan Indonesia,” seru Luhut.
Sanggahan soal Indonesia Gelap pun sebelumnya juga telah disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi. Menurutnya, masyarakat bebas saja menyampaikan aspirasinya, namun tidak dengan membuat narasi yang tidak benar. Apalagi, narasi Indonesia Gelap sama sekali tidak mencerminkan kondisi Indonesia saat ini.
“Tolong sekali lagi, jangan membelokkan apa yang sebenarnya tidak seperti itu. Nggak ada Indonesia gelap,” kata dia, di Komplek Parlemen, Selasa (18/2/2025).
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa narasi Indonesia Gelap sudah cukup tepat menggambarkan keadaan Indonesia saat ini. Pasalnya, alih-alih ada ketersediaan lapangan kerja berlimpah, kini Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) justru terjadi di mana-mana.
Berdasar catatan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), di sepanjang 2024 telah terjadi Gelombang PHK sebesar 77.965 orang, naik dibanding tahun 2023 yang sebesar 64.855 tenaga kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024 pun melaporkan bahwa masih ada sebanyak 4,91 persen tingkat pengangguran terbuka (TPT). Meski menurun 0,41 persen poin dibanding Agustus 2023, TPT Agustus 2024 menunjukkan bahwa dari 100 orang angkutan kerja, terdapat sekitar 5 orang yang menganggur.
“Indonesia itu punya masalah serius soal pengangguran usia muda tertinggi se-ASEAN. Tingkat pengangguran usia mudanya tembus 13,1 persen dari total angkatan kerja muda. Sementara Thailand cuma 4,5 persen dan Vietnam 6,3 persen,” kata Bhima, kepada Tirto, Kamis (20/2/2025).
Menurutnya, anak-anak muda di Indonesia susah mencari kerja, seiring dengan terbatasnya lapangan pekerjaan. Kalaupun ada, mereka harus bersaing ketat dengan korban PHK atau pekerja serabutan di sektor informal.
“Banyak juga anak muda yang masuk kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training/orang yang tidak dalam Pendidikan, Pekerjaan, atau Pelatihan) sebanyak 20,3 persen dari total Gen Z,” imbuh dia, mengutip data BPS tahun 2024.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang berkesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi, banyak yang lebih memilih untuk mencari pendidikan dan bahkan rela mengadu nasib di negeri asing. Itulah yang menurut Bima mendorong gema tagar #KaburAjaDulu sampai sekarang.
“Karena hopeless dengan situasi lapangan kerja di Indonesia,” kata Bhima.
Peneliti The Prakarsa, Darmawan Prasetya, bahkan mempertanyakan pernyataan Luhut kalau Indonesia tak kekurangan lapangan pekerjaan. Jika benar demikian, tak seharusnya TPT berada dalam kisaran 5 persen selama tiga tahun terakhir.
Kendati, ia mengakui bahwa sebenarnya penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia sudah cukup tinggi. Jika didasarkan pada pernyataan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan P. Roeslani, dalam Anugerah Layanan Investasi (ALI) 2024, di Hotel Mulia, September lalu, pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Maju, telah tercipta penyerapan tenaga kerja sebanyak 7,19 juta. Artinya, ada rata-rata penyerapan tenaga kerja sebesar 1,44 juta per tahun.
“Cuma, yang menjadi concern banyak lembaga dunia, seperti World Bank maupun kami di lembaga riset adalah kita harusnya bergeser dari kuantitas ke kualitas gitu,” ujar dia, melalui rekaman suara kepada Tirto, Kamis (20/2/2025).
Sayangnya, meski Sakernas yang dirilis BPS telah mengkategorikan jenis pekerjaan berdasarkan sektornya, datanya tak mencakup kualitas ketenagakerjaan di Indonesia. Yang dimaksud dengan kualitas kerja adalah akses pekerja terhadap gaji yang layak, akses terhadap perlindungan sosial yang baik, serta kecukupan untuk kehidupan sehari-harinya.
Darmawan menyebut soal 7 status pekerjaan utama berdasarkan laporan Sakernas BPS. Ada dua yang ia soroti, yakni kategori berusaha dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar, serta kategori pekerja keluarga, yang jumlahnya masih cukup tinggi secara proporsi tenaga kerja.
Dalam Sakernas Agustus 2024, kategori pekerjaan berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar proporsinya masih sebesar 13,83 persen, turun dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebanyak 14,15 persen. Sedangkan untuk status pekerjaan pekerja keluarga masih ada sebanyak 13,34 persen, naik dari periode Agustus 2023 yang masih sebesar 12,93 persen.
“Artinya, ada banyak potensi pekerja-pekerja di Indonesia. Meskipun secara aktivitas mereka melakukan pekerjaan, tapi mereka belum mendapatkan pendapatan. Ini yang menurut kami di Prakarsa menjadi concern,” tambah Darmawan.
Menurut Darmawan, seharusnya penciptaan lapangan kerja tidak hanya berfokus pada jumlah saja, melainkan juga kualitas pekerjaan. Sebab, dari data BPS, jelas terlihat bahwa kategori pekerjaan yang tidak dibayar justru masuk ke dalam 5 pekerjaan dengan jumlah tenaga kerja terbanyak.
Kemudian, meski jumlah pekerja informal telah mengalami penurunan dari 59,11 persen di Agustus 2023 menjadi 57,95 persen pada Agustus 2024, namun jumlah pekerja berusia lanjut di sektor ini cukup besar. Kata Darmawan, untuk tenaga kerja berusia 20 tahunan memang masih banyak diserap oleh sektor formal. Hal inilah yang membuat persentase pekerja informal mengalami penurunan.
Namun, jumlah tenaga kerja informal mulai naik setelah masuk ke usia 40-60 tahun, angkanya mencapai 76 persen.
“Artinya, paling banyak adalah orang usia 60 tahun terserap di sektor informal. Artinya, bahwa suatu pekerjaan harus dikerjakan dengan kategori usia tertentu itu masih menjadi momok dan dampaknya real. Bahwa banyak orang yang akhirnya ketika umurnya sudah mulai 40, mereka tidak terserap di sektor formal,” jelas dia.
Padahal, sektor informal di Indonesia sudah jamak diketahui memiliki pendapatan rendah, serta tak terlindungi oleh perlindungan sosial dan jaminan pensiun. Bahkan, perlindungan hukum terhadap tenaga kerjanya pun seringkali lemah.
Darmawan juga meminta agar pemerintah lebih memperhatikan para pekerja tidak tetap dengan masa kontrak pendek atau bahkan tidak memiliki kontrak. Hal ini penting menjadi perhatian, karena saat pekerja pada kategori ini diputus kontrak, mereka praktis akan menjadi penganggur tanpa kepastian pekerjaan baru.
“Juga kepastian kepada investor bahwa mereka perlu membayar, ini jadi paketnya akan jelas. Kami kira ini menjadi pertimbangan banyak investor, ya. Ketika melihat bagaimana ketenagakerjaan di Indonesia,” kata dia.
Kemudian, bergeser ke pernyataan Luhut soal sudah tidak ada orang yang "homeless" atau tunawisma di Indonesia. Benarkah pernyataan ini?
Menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, bisa jadi yang dilihat Luhut hanya penampakan dari permukaan saja. Dalam hal ini, di jalan-jalan protokol yang memang sudah dapat dikategorikan bebas dari tunawisma.
Namun, sebenarnya tak jauh dari Istana Negara saja, Luhut masih bisa menjumpai banyak rakyatnya yang tidur di kolong jembatan atau di bawah jembatan penyeberangan orang (JPO).
“10 juta keluarga di Indonesia tidak punya rumah dan tinggal berpindah pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Pejabat sebaiknya punya basis data yang kuat sebelum menggiring opini ke publik,” tegas Bhima.
Sementara itu, Darmawan Prasetya dari The Prakarsa, menilai pernyataan soal tidak ada tunawisma di Indonesia sebagai pernyataan naif. Melansir data BPS, ia menyebut, masih ada sebanyak 3 juta tunawisma di Indonesia, 28 ribu di antaranya ada di Jakarta.
“Nah, ini hanya di DKI, belum di kota lain. Mungkin sebagai pendalaman saja yang baik sebagai insight, bahwa gelandangan ini juga kadang-kadang terjadi pada kelompok-kelompok minoritas. Jadi, kelompok disabilitas dan lansia,” ucap Darmawan.
Dalam hal tunawisma, yang menjadi masalah adalah negara belum bisa hadir maksimal, khususnya untuk menangani lansia terlantar yang hidup di jalan-jalan atau kolong jembatan. Memang, sampai saat ini, belum ada data komprehensif yang dapat menggambarkan dengan jelas jumlah dan kondisi lansia terlantar.
Kendati begitu, seharus negara dapat hadir melalui lembaga kesejahteraan sosial (LKS) untuk dapat menampung lansia-lansia terlantar ini. Darmawan mencontohkan, banyak dari tunawisma yang mencari penghidupan dan tempat berteduh sementara di area kumuh di sekitar Kuningan, Jakarta Selatan, terjaring oleh Dinas Sosial (Dinsos) sewaktu-waktu.
Namun, setelah mereka terjaring dan ditempatkan di LKS tertentu, mereka hanya dapat tinggal di sana dalam batas waktu tertentu saja dan tak jarang dipindahkan dari satu LKS ke LKS lainnya karena batas waktu tinggal itu.
“Ini satu contoh bahwa gelandangan dan tunawisma itu sebetulnya belum maksimal ditangani oleh pemerintah,” imbuh dia.
Di sisi lain, soal ketersediaan rumah, backlog atau ketersediaan rumah layak huni juga masih menjadi momok di Tanah Air. Bahkan, di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), backlog rumah masih sebesar 9,9 juta, dengan sekitar 93 persen kepemilikan backlog berasal dari masyarakat berpendapatan rendah (MBR).
“Penyediaan perumahan yang murah itu juga masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Ini sebetulnya tidak hanya pekerjaan pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah. Meskipun sudah ada Undang-Undang Perumahan di tahun 2017, menurut kami, pemerintah pusat tidak berhasil dalam mengkoordinasikan penyediaan perumahan dengan pemerintah daerah,” jelas Darmawan.
Apa yang Dilakukan Pemerintah untuk Mengatasi Kedua Masalah Ini?
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, memastikan tetap menjalankan tugasnya secara optimal meskipun terdapat kebijakan efisiensi anggaran. Tidak hanya itu, Kemnaker juga akan tetap fokus pada peningkatan kualitas SDM, produktivitas dan daya saing industri, perluasan kesempatan kerja, penempatan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial, serta perlindungan dan pengawasan ketenagakerjaan.
Pun, untuk meningkatkan kualitas ketenagakerjaan di Tanah Air, Kemnaker juga telah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga untuk berkolaborasi membuat program bersama, utamanya dalam pelaksanaan pelatihan vokasi dan sertifikasi profesi. Kemudian, kolaborasi juga dilakukan dengan swasta, lembaga filantropi, komunitas dan lain sebagainya.
"Dengan strategi yang tepat, efisiensi anggaran ini justru bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kolaborasi program dengan Kementerian/Lembaga, pihak swasta hingga berbagai komunitas lainnya dalam mendukung peningkatan kualitas dunia ketenagakerjaan," kata Yassierli, dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (20/2/2025).
Sementara itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, menjadikan program 3 juta rumah sebagai langkah konkrit untuk mengatasi masalah backlog. Selain backlog, Ara, sapaan Maruarar, mengakui kalau masih ada rumah tidak layak huni yang perlu direnovasi sebanyak 25 juta rumah.
“Untuk itu dibutuhkan kreativitas dan terobosan yang benar dan yang cepat. Benar artinya sesuai aturan, sesuai legalitas,” kata dia, dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Kamis (20/2/2025) malam.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memastikan bakal memperluas akses rumah murah untuk MBR melalui subsidi, yang disalurkan dari program fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Selain itu, agar tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bantuan pembiayaan untuk program 3 juta rumah akan diberikan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) ‘Perumahan’.
“Jadi dengan ini kita berharap akan meningkatkan lebih banyak lagi kemampuan untuk dari sisi demand, yaitu masyarakat yang mau membeli rumah, dengan fasilitas MBR ataupun yang komersial itu, akan digunakan melalui kerja sama,” jelasnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty