tirto.id - Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdulah, menilai bahwa aturan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah salah satu cara untuk mengatasi backlog (kesenjangan angka kebutuhan) perumahan. Sebab, fenomena backlog perumahan terjadi karena lemahnya akses pembiayaan.
“Jumlah backlog rumah semakin naik salah satu hambatannya adalah kekuatan pembiayaan yang lemah. Dalam hal ini, perlu support dari semua pihak,” kata Junaidi saat dihubungi Tirto, Rabu (29/5).
Menurut Junaidi, iuran Tapera dapat memperkuat akses pembiayaan bagi masyarakat, khususnya kelompok Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR). Namun, penerapan iuran Tapera bukanlah satu-satunya cara mengatasi backlog perumahan.
Selain itu, Junaidi menekankan bahwa iuran Tapera bukanlah merupakan bentuk subsidi.
“Bukan subsidi dari yang mampu. Akan tetapi, ini salah satu memperkuat pembiayaan khususnya untuk masyarakat MBR mendapatkan rumah,” imbuh dia.
Junaidi berharap penerapan Tapera dapat membantu masyarakat untuk lebih mudah mendapatkan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi. Meski begitu, BP Tapera masih punya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, antara lain menyosialisasikan lagi Tapera kepada masyarakat.
Masyarakat masih perlu mendapat penjelasan lebih detail terkait siapa saja yang dikenakan iuran Tapera, untuk apa iuran tersebut, manfaat apa yang akan didapatkan para peserta Tapera, kapan iuran berakhir, dan apa saja dana yang dikembalikan.
Sementara itu, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, berpendapat bahwa iuran Tapera belum cukup untuk mengatasi masalah backlog perumahan. Bahkan, Bank Tabungan Negara (BTN) yang telah disuntik penyertaan modal negara (PMN) jumbo, belum mampu menurunkan tingginya angka backlog di Indonesia.
Sebagai informasi, menurut data Susenas 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), backlog kepemilikan rumah yang sebelumnya ada di angka 12,75 juta, telah turun menjadi 9,9 juta. Angka itu masih jauh dari target nol backlog pada 2045.
“Persentase dan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian yang layak juga masih tinggi. Meskipun mengalami penurunan dari tahun 2020 sebesar 29,4 juta jadi 26,9 juta,” kata Nailul.
Tidak hanya itu, aturan iuran Tapera anyar tersebut juga belum memiliki kejelasan—apakah memang menyasar para pekerja yang belum memiliki rumah atau hanya untuk investasi. Namun, jika untuk investasi, iuran Tapera bagi pekerja dan pekerja mandiri bukanlah pilihan yang tepat.
Oleh karena itu, Nailul berharap agar pemerintah mengevaluasi kebijakan yang baru rilis pada 20 Mei 2024 tersebut.
“Karena kalau diwajibkan, juga justru akan memberatkan. Jadi, mungkin bisa dengan menerbitkan Perppu dari UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat,” ujar Nailul.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi