Menuju konten utama

Nestapa Buruh: Gaji Tak Seberapa, Masih Kena Potongan Tapera

Elly menilai Tapera bukan hal mendesak yang harus dipukul rata bagi semua pekerja atau buruh.

Nestapa Buruh: Gaji Tak Seberapa, Masih Kena Potongan Tapera
Foto udara kawasan pembangunan perumahan di Kelurahan Wanggu, Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (11/1/2023).ANTARA FOTO/Jojon/aww.

tirto.id - Putra melontarkan protes karena pemerintah tiba-tiba membebankan pekerja swasta dan freelancer wajib ikut program tabungan perumahan rakyat atau Tapera. Menurut pria berusia 29 tahun ini, skema Tapera yang bakal memotong gaji pegawai swasta tidak boleh dipukul rata dan harus memperhatikan keadaan masyarakat.

Ketentuan Tapera diteken lewat Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25/2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan 20 Mei 2024. Iuran peserta tapera sebesar 3 persen dari gaji atau upah bagi peserta pekerja dan penghasilan bagi pekerja mandiri. Besaran simpanan untuk peserta pekerja ditanggung bersama pemberi kerja, yakni sebesar 0,5 persen oleh perusahaan dan dari upah pekerja sebesar 2,5 persen.

“Ini berdampak kepada pekerja yang notabene gaji di bawah UMR atau pas-pasan. Mereka terpotong dengan berbagai iuran BPJS Ketenagakerjaan, Kesehatan, asuransi dan lain-lain. Ditambah dengan iuran [Tapera] sebesar 3 persen maka akan memberatkan,” keluh Putra kepada reporter Tirto, Selasa (28/5/2024).

Putra sendiri bekerja sebagai operator di sebuah pabrik kosmetik di daerah Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Dia menerima gaji bersih tiap bulan sebanyak Rp4,2 juta. Itu sudah dipotong dengan berbagai iuran wajib dan pajak. Bila ditambah beban iuran Tapera nantinya, Ayah dengan dua orang anak ini mengaku keberatan.

“Kebutuhan orang dengan gaji UMR berbeda-beda. Banyak pos-pos yang harus diisi,” tutur dia.

Putra memahami pemerintah memiliki niat baik sebab iuran yang dibayarkan oleh peserta Tapera bakal dimanfaatkan sebagai pembiayaan perumahan rakyat. Selain itu, bisa sebagai tabungan jika hasil pemupukannya setelah masa kepesertaan berakhir bisa dicairkan. Namun dia merasa aturan yang ada saat ini belum jelas, sehingga membuat para buruh resah.

“Kurang jelas dan tidak bisa dipahami. Karena banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai mekanisme pelaksanaanya. Apakah sifatnya wajib? Lalu bagaimana dengan pekerja yang sudah punya rumah?” tanya Putra heran.

Sementara itu, Fika, seorang penulis konten di sebuah perusahaan media swasta, mengaku tak keberatan dengan adanya ketentuan Tapera bagi pegawai. Perempuan berusia 26 tahun itu merasa Tapera mungkin bakal membantu bagi pekerja yang belum punya hunian. Di sisi lain, dia menyadari jika Tapera dipukul rata bagi semua pekerja rasanya akan memberatkan masyarakat.

“Orang yang sudah ambil KPR atau rumah, mungkin terbebani kena iuran dobel antara cicilan rumah tambah iuran Tapera,” kata Fika kepada reporter Tirto, Selasa (28/5/2024).

Namun Fika menekankan, pengelolaan iuran peserta Tapera wajib dikelola dengan benar. Fika merasa pesimistis terhadap performa lembaga asuransi yang dikelola pemerintah.

Pasalnya, kerap terjadi kasus korupsi yang justru merugikan peserta seperti pada kasus Asabri dan Jiwasraya. Dia berharap pemerintah tidak buru-buru memberlakukan Tapera kepada seluruh pekerja tanpa adanya sosialisasi dan kejelasan pengelolaan dari ketentuan yang baru diterbitkan ini.

“Aturannya belum jelas menurut gue, karena belum dijelaskan secara gamblang saat ini, nanti iurannya dikelola siapa dan skemanya gimana,” terang Fika.

Berdasarkan ketentuan PP Nomor 21/2024, peserta Tapera merupakan pekerja yang menerima upah atau gaji, termasuk pegawai negeri, BUMN, pekerja mandiri dan swasta. Peserta Tapera yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR). Manfaat itu diiringi tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Penolakan Serikat Buruh

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Silaban, menilai iuran Tapera hanya akan menambah masalah dan beban bagi para buruh. Saat ini saja, buruh sudah dipusingkan dengan jaminan berupa iuran wajib dan pajak yang memangkas upah mereka. Dia menilai kebijakan Tapera akan ditolak besar-besaran oleh serikat buruh.

“Ini kan seakan memaksa, kan enggak bisa dipaksakan [ikut tapera]? Gimana yang sudah rumah, masa diwajibkan juga,” kata Elly kepada reporter Tirto, Selasa (28/5/2024).

Elly menilai Tapera bukan hal mendesak yang harus dipukul rata bagi semua pekerja atau buruh. Dia menyangkan pemerintah yang selalu membuat kebijakan dengan tiba-tiba tanpa meminta pandangan dari para buruh sendiri yang terdampak langsung atas kebijakan yang diambil.

“Mereka [pemerintah] selalu menciptakan dan memutuskan sesuatu dahulu, belakangan baru dihadapi. Selaku begini dan berulang-ulang, sehingga serikat buruh semakin dibikin zig-zag,” terang Elly.

Elly mendesak pemerintah tidak sewenang-wenang melanjutkan kebijakan Tapera kepada tanpa adanya dialog dengan buruh. Menurut dua, setelah keluarnya kebijakan Tapera, sudah langsung ada penolakan dari 27 organ KSBSI dari berbagai daerah. Dia mengaku akan melakukan pertemuan dengan serikat buruh lain untuk merespons adanya kebijakan Tapera.

“Bisa melakukan konsolidasi atau aksi. Apakah begini cara pemerintah mengambil dana dari buruh yang sudah mati-matian bekerja? Ini tidak elok,” ujar Elly.

Penolakan serupa disampaikan Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat. Mirah menilai hadirnya PP Nomor 21 Tahun 2024 sebagai beleid yang menzalimi kaum buruh. Di tengah rongrongan kesulitan ekonomi dan upah murah buah UU Ciptaker, pemerintah malah menerbitkan aturan yang memberatkan buruh.

Belum lagi saat ini, pekerja masih harus menghadapi kenaikan harga pangan sampai 20 persen, inflasi tinggi, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga kesulitan mencari pekerjaan.

“Jadi ini luar biasa, makin terpuruk, makin miskin kehidupan para pekerja. Saya kira, saya menolak keras dengan adanya pemotongan gaji 2,5 persen bagi pekerja buruh untuk diberikan kepada Tabungan Perumahan (Rakyat) ini,” kata Mirah kepada Tirto, Selasa (28/5/2024).

Menurut dia, alih-alih membuat aturan tentang pemotongan upah bagi pekerja swasta dan pekerja mandiri, pemerintah seharusnya memberikan subsidi agar pekerja yang termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat mengakses rumah murah. Apalagi, kata dia, pemerintah lah yang seharusnya bertanggung jawab dan berkewajiban untuk menyiapkan serta menyediakan perumahan bagi rakyat.

“Bukan kemudian upah pekerja yang dipotong secara paksa upahnya,” kata dia.

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, menegaskan bahwa unsur serikat buruh dan pekerja tidak pernah diajak dialog untuk membahas soal terbitnya PP Nomor 21/2024 tentang Tapera. Lagi-lagi pemerintah mengabaikan prinsip musyawarah dan berdemokrasi. Sunarno menilai pemerintah terlalu gegabah menerbitkan aturan Tapera tanpa mengetahui masalah yang tengah dihadapi buruh dan pekerja saat ini.

“Potongan gaji buruh sudah sangat besar, tidak sebanding dengan besaran kenaikan upah buruh yang sangat kecil. Potongan BPJS Kesehatan 1 persen, Jaminan Hari Tua (JHT) 2 persen, Jaminan Pensiun 1 persen, PPH 21 (take home pay) 5 persen dari PTKP, serta potongan koperasi,” ujar dia kepada reporter Tirto.

Pemerintah diminta fokus untuk melakukan pengadaan rumah bagi pekerja dari anggaran negara. Bukan malah memotong gaji buruh yang sudah kecil sebagai modal investasi. “Jika upah buruh Rp2 juta sampai Rp5 juta per bulan, maka potongan upah buruh bisa mencapai Rp250 ribu sampai Rp400 ribu per bulan.”

Sementara itu, Sekretaris Umum Federasi Serikat Pekerja Mandiri Tanah Air (FSPMTA), Yulistiar Rangga Wijaya, menyatakan niat pemerintah lewat ketentuan Tapera sekilas cukup bagus karena bakal menyediakan perumahan rakyat. Kendati demikian, ketika kepesertaan Tapera menjadi wajib bagi seluruh pekerja maka hal tersebut menjadi rancu dan tidak efektif.

“Kalau sifatnya wajib artinya semua orang alias setiap pekerja [jadi peserta]. Bagaimana nanti sistem pencairannya apakah kita dicarikan rumah untuk dicicil atau hanya pencairan bentuk uang setelah kurun waktu tertentu?” kata Rangga kepada reporter Tirto.

Di sisi lain, banyaknya uang yang mengendap di Tapera juga rawan penyimpangan. Rangga menilai seharusnya ketentuan Tapera tidak diberlakukan dahulu sebelum ada kajian teknis pelaksanaanya atau sifatnya tidak perlu diwajibkan.

“Bagaimana dengan pekerja yang sudah mempunyai rumah sendiri, karena banyak juga pekerja sudah mempunyai rumah,” ujar Rangga.

Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, pengelolaan Tapera akan diurus Badan Pengelola (BP) Tapera. Adapun dasar perhitungan penentuan iuran Tapera bagi pegawai swasta akan diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, sedangkan pekerja mandiri akan diatur langsung oleh BP Tapera.

Respons Pemerintah

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri, menyampaikan, ketentuan Tapera memang akan berlaku wajib bagi seluruh pegawai. Termasuk pekerja swasta, pegawai BUMN, BUMD, ASN/TNI/Polri dan BUMDes seperti yang tercantum dalam UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.

“Tapera tujuannya menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta,” kata Indah kepada reporter Tirto, Selasa (28/5/2024).

Sementara itu, pekerja yang sudah memiliki rumah, maka Tapera dapat digunakan sebagai dana renovasi. Putri juga menyatakan bagi yang sudah memiliki rumah, maka dana Tapera bisa diambil ketika peserta pensiun atau berakhirnya masa kepesertaan. Untuk pemberi kerja swasta sendiri, diingatkan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta Tapera paling lambat 2027.

“[Nantinya] Aturan teknis untuk pekerja swasta akan diatur dalam Peraturan Menaker,” ujar Indah.

Baca juga artikel terkait TAPERA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Mochammad Fajar Nur & Qonita Azzahra
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz