tirto.id - Perjalanan spiritual rombongan biksu Thudong untuk merayakan Waisak di Candi Borobudur menyisakan residu polemik. Berawal dari video viral di media sosial yang memperlihatkan rombongan biksu Thudong singgah di beranda Masjid Baiturrohmah Bengkal, Temanggung.
Para biksu dipersilakan singgah oleh pengurus masjid. Dalam video yang beredar, mereka juga dijamu dengan bermacam makanan ringan dan minuman. Potongan video tersebut viral di dunia maya dan mengundang berbagai respons, terutama dari umat Islam.
Pro-Kontra terjadi, ada yang menilai perlakuan pengurus masjid merupakan bentuk toleransi yang menyejukkan. Di sisi lain, ada pula yang menilai toleransi yang dilakukan pengurus masjid terlalu kebablasan sebab dilakukan di rumah ibadah. Terlebih, muncul pula narasi yang menyoal rombongan biksu Thudong mendoakan warga sebagai bentuk terima kasih.
Salah satu yang berada di barisan kelompok terakhir ini adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis. Lewat unggahannya di akun Instagram pribadi, Cholil tegas menyatakan penerimaan rombongan biksu Thudong di masjid sebagai toleransi yang kebablasan. Cholil berpendapat, tamu non-muslim tidak boleh diterima di rumah ibadah sehingga sebaiknya dilakukan di lokasi lain.
“Masjid itu hanya untuk ibadah umat muslim bukan untuk lainnya,” kata Cholil mempersilakan keterangannya dikutip Tirto, Senin (27/5/2024).
Cholil menjelaskan, bentuk toleransi beragama pada ranah akidah bagi umat Islam, yakni memberikan kebebasan kepada umat agama lain dalam melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaannya. Dalam hal muamalah, dilakukan dengan kerja sama secara harmonis dalam urusan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Batasan toleransi beragama tidak masuk ke dalam ranah akidah dan syariat agama lain, karena berpotensi terjadi penistaan dan penghinaan agama,” jelas Cholil.
Kepada Tirto, dia menambahkan, agar umat Islam menghormati agama lain dan pemeluknya. Jika ada kejadian serupa, Cholil menyarankan untuk menyambut tamu non-muslim di kantor ormas Islam atau Kementerian Agama saja.
“Itu lebih representatif dan menghindari khilafiyah atau kontroversi,” ucap Cholil.
Di sisi lain, pandangan Cholil juga mengundang kritik dari sejumlah pihak. Mereka menilai pernyataan MUI merepresentasikan pemahaman toleransi antarumat beragama yang rendah dan akan menimbulkan kebingungan di masyarakat. Terlebih, situasi kekerasan dan gangguan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan [KBB] di Indonesia masih terus terjadi.
Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania, Ahmad Nurcholish, memandang MUI justru pantas mendapatkan kritik sebab belum siap melihat umat Islam lebih toleran. Dia menilai tak ada yang kebablasan dari sikap pengurus Masjid Baiturrohmah Bengkal yang mempersilakan rombongan biksu thudong istirahat di beranda masjid. Justru hal tersebut dilihat sebagai representasi Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-alamin).
“Justru merupakan bentuk toleransi nyata yang perlu dicontoh oleh masjid-masjid dan rumah-rumah ibadah lainnya di Tanah Air. Dalam Islam itu juga merupakan implementasi nyata ajaran atau misi Islam yang rahmatan lil-alamin,” kata Nurcholish kepada Tirto, Senin.
Pernyataan MUI justru berpotensi memantik hegemoni antara mayoritas terhadap minoritas. Lebih lanjut, Nurcholish, menuturkan kritik MUI akan menimbulkan kebingungan di masyarakat dalam hal bertoleransi antarumat beragama. Masyarakat yang tadinya menilai bahwa yang mereka lakukan sebagai upaya nyata membangun toleransi dan persaudaraan antarumat beragama, juga akan kendur karena dikritik MUI.
“Mestinya MUI memberi contoh bagi umat Islam untuk lebih sering menerapkan toleransi nyata di tengah masyarakat yang majemuk ini. Bukan malah mengkritik, ini menunjukkan bahwa masyarakat umat Islam jauh lebih dewasa dari pihak di MUI itu sendiri,” ujar Nurcholish.
Nurcholish menilai bisa jadi sebagian pengurus MUI masih berpikiran bahwa yang mesti toleran itu adalah kelompok minoritas terhadap yang mayoritas. Sikap tersebut justru dinilai sebagai hegemoni mayoritas terhadap kelompok minoritas, yang dalam ajaran dan praktiknya bahkan sangat ditentang oleh Nabi Muhammad.
“Sebagai mayoritas justru harus melindungi dan memberi contoh toleransi yang baik bagi umat agama lain,” jelas Nurcholish.
Lembaga keagamaan seperti MUI seharusnya memperkuat pemahaman umat agar dapat memiliki sikap toleran, menghormati dan menghargai umat agama lain sebagai sikap teladan. Lembaga keagamaan bukan malah memprovokasi umat lewat pernyataan atau ketetapannya.
“Banyak pernyataan dan penetapan MUI justru tidak hanya merusak iklim toleransi yang ada di masyarakat, tapi seringkali penetapan-penetapan MUI dijadikan alat untuk mempersekusi umat lain atau bahkan kelompok lain dalam Islam yang dinilai sesat,” ungkap Nurcholish.
MUI diminta untuk berbenah dan hati-hati dalam menyatakan pendapatnya. Sebab, eksistensinya pun, sebetulnya sudah diisi juga oleh berbagai organisasi masyarakat Islam yang juga memiliki akademisi dan ulama masing-masing dalam menangani persoalan umat Islam.
Selain itu, pengurus dan anggota dari lembaga-lembaga keagamaan pun bisa memberikan contoh toleransi nyata dengan mengadakan pertemuan dan pemahaman kepada masyarakat. Nurcholish menekankan, umat beragama bisa saling berkawan dan merasa seperti saudara tanpa harus saling menegasikan satu sama lain.
“Saya jamin tidak akan tertukar atau kehilangan keimanan,” sebut dia.
Menjamin Kebebasan Beragama
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menuturkan, organisasi-organisasi keagamaan termasuk MUI seharusnya menjadi tulang punggung kebhinekaan Indonesia. Teks pandangan keagamaan mereka justru harus menjadi penguat bagi konteks keberagaman di negara Pancasila ini.
“Jangan sampai mereka gunakan otoritas keagamaan untuk memperlemah kebhinekaan, misal dengan menilai negatif perjumpaan lintas agama yang terus diupayakan masyarakat untuk dapat hidup damai secara berdampingan dalam perbedaan,” kata Halili kepada Tirto, Senin (27/5/2024).
Perjumpaan lintas agama seharusnya menjadi sikap toleransi yang nyata dan terus dipupuk. Pasalnya, kejadian pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan masih terus ditemui di masyarakat. Misalnya, kasus penyerangan yang dialami mahasiswa Katolik di Tangerang Selatan saat melakukan doa rosario beberapa waktu lalu.
Data SETARA Institute menunjukkan, periode 2007-2022 saja terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia. Sepanjang 2023 saja, terjadi beberapa peristiwa intoleransi dan pelanggaran KBB.
Contohnya, pembubaran ibadah dilakukan kelompok masyarakat terhadap jemaat Gereja Mawar Sharon (GMS) Binjai di Kota Binjai, Sumatera Utara. Selain itu, ada pembubaran ibadah di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gihon di Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau.
Pada Mei 2023, turut terjadi pembubaran aktivitas pendidikan Agama Kristen di Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Di bulan yang sama, terjadi pembakaran Balai pengajian milik Muhammadiyah di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.
Halili berpendapat, pemahaman MUI soal toleransi memang agak rendah. Puncak dari toleransi itu seharusnya inklusi, yaitu ketika individu menganggap dan memperlakukan yang lain sebagai sesama manusia. Maka perbedaan simbol, entitas, dan ritus yang terdapat pada yang lain itu (liyan) justru menjadi penyempurna bagi diri (self) seseorang.
“Dalam konteks itu, istilah kebablasan toleransi yang disematkan oleh Cholil Nafis kepada penerimaan biksu Thudong oleh warga muslim di sebuah masjid merupakan pernyataan yang tidak tepat,” ujar Halili.
Sementara itu, Halili menilai pernyataan MUI tidak akan melunturkan toleransi di masyarakat. Pernyataan MUI tidak terlalu berpengaruh. Alasannya, karena di kalangan umat Islam saja sikap MUI tidak selalu menjadi rujukan. Dia menilai ormas Islam semacam PBNU, Muhammadiyah, Persis dan dinilai masyarakat lebih otoritatif dalam menentukan sikap dan pandangan.
“Organisasi-organisasi keislaman tidak selalu setuju dengan pandangan MUI, apalagi pilihan sikap perorangan Pengurus MUI. Dalam konteks itu, pernyataan soal kebablasan toleransi itu saya yakin tidak terlalu berpengaruh di kalangan kelompok masyarakat yang toleran,” ungkap Halili.
Sementara itu, Penjabat Bupati Temanggung, Hary Agung Prabowo, sudah membuat pernyataan sikap mengenai singgahnya biksu thudong di Masjid Bengkal dalam perjalanan menuju Candi Borobudur pada Minggu (19/5/2024) lalu. Agung mengakui kegiatan tersebut rutin setiap tahun yang diselenggarakan oleh biksu Thudong, yang dilakukan mulai dari perbatasan Kecamatan Kaloran sampai dengan perbatasan Kabupaten Magelang.
“Setiap lima kilometer, mereka berhenti untuk istirahat, karena kondisi setiap biksu bervariasi. Ada yang sudah tua dan ada juga yang masih muda,” kata dia dikutip dari Antaranews.
Sebelumnya, panitia dan kepala desa, serta takmir masjid sudah melakukan kesepakatan agar tempat singgah rombongan biksu dipusatkan di kawasan masjid. Walaupun begitu, rombongan biksu disebut hanya singgah di serambi, bukan di dalam masjid, itu pun untuk beristirahat sejenak.
“Di dalam istirahat bersama itulah, ada saling komunikasi antara takmir masjid dan para biksu untuk mendoakan, agar masyarakat Desa Bengkal ini menjadi masyarakat yang sejahtera, makmur, dihindarkan dari malapetaka dan sebagainya,” kata Agung.
Agung menuturkan kegiatan yang terjadi hanya saling mendoakan karena rombongan biksu Thudong merasa disambut dengan penuh kehangatan oleh takmir masjid dan masyarakat. Begitu pula sebaliknya, takmir masjid pun turut mendoakan rombongan agar dalam perjalanan senantiasa diberi kelancaran, kesehatan dan keselamatan.
“Tidak ada ritual-ritual keagamaan. Setelah selesai semuanya, mereka hanya minum saja, terus mereka berjalan melanjutkan perjalanannya ke Kabupaten Magelang,” ujar Agung.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Intan Umbari Prihatin