Menuju konten utama

Thudong, Perjalanan Spiritual Mengikuti Jejak Sang Buddha

Thudong adalah praktik kehidupan yang dilakukan oleh biksu atau biksuni yang bertujuan untuk mencari pemahaman dan pencerahan spiritual.

Thudong, Perjalanan Spiritual Mengikuti Jejak Sang Buddha
Header Mozaik Thudong. tirto.id/Quita

tirto.id - Hingga Senin siang (15/5/2023), para biksu yang menjalankan thudong sudah sampai di kota Indramayu, Jawa Barat. Kehadiran mereka disambut antusias masyarakat yang penasaran dengan praktik yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu.

Seperti banyak diberitakan, 32 biksu melakukan praktik thudong sejak 23 Maret 2023. Mereka berjalan kaki mulai dari Nakhon Si Thamarat, Thailand, lalu melintasi Malaysia, Singapura, dan akan mengakhiri perjalanan di Indonesia, tepatnya di Candi Borobudur, bersamaan dengan perayaan Hari Raya Waisak 2567 BE, 4 Juni mendatang.

Di Indonesia, perjalanan mereka mendapat pengawalan tenaga medis serta organisasi kemasyarakatan seperti Macan Ali dan Banser.

Praktik Biksu Petapa dan Pengembara

Thudong dalam ajaran agama Buddha sebenarnya bukan sebuah ritual, melainkan praktik kehidupan yang dilakukan oleh biksu atau biksuni yang bertujuan untuk mencari pemahaman dan pencerahan spiritual.

Seturut J. L. Taylor dalam Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study in Northeastern Thailand (1993), istilah "thudong" berasal dari bahasa Pali, yaitu "dhutanga", yang berarti "latihan ekstra" atau "latihan tambahan".

Sejarah thudong cukup panjang dan kompleks. Diyakini sudah ada sejak abad ke-6 hingga ke-4 SM di India, tempat Sang Buddha sendiri dikatakan telah menjalankan ritual thudong sebagai bagian dari pertapaan dan pengembaraan.

Setelah wafatnya Sang Buddha, para pengikutnya, termasuk biksu dan biksuni, mulai mengembangkan praktik-praktik pribadi mereka sendiri dalam upaya untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang Dhamma.

Perjalanan 32 biksu menuju Borobudur

Sejumlah biksu saat mengikuti perjalanan ritual keagamaan (thudong) di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (12/5/2023). Kegiatan yang diikuti oleh 32 biksu dari sejumlah negara tersebut dalam rangka menyambut hari raya Waisak pada 4 Juni 2023 dengan tujuan perjalanan yaitu Candi Borobudur. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/foc.

Raja Asoka dari India (sekitar abad ke-3 SM) dikenal sebagai penganut Buddha yang bersungguh-sungguh dan salah satu pemimpin yang paling terkenal dalam sejarah agama Buddha. Ia berperan penting dalam menyebarkan agama Buddha di seluruh India dan wilayah sekitarnya, termasuk Asia Tenggara.

Ia menekankan pentingnya mempraktikkan ajaran moral dan etika Buddha dalam kehidupan sehari-hari, serta menggalakkan kegiatan amal dan kemanusiaan. Raja Asoka membangun banyak biara dan stupa-stupa besar, serta menyebarluaskan ajaran Buddha melalui prasasti-prasasti yang tersebar di berbagai wilayah.

Pada abad ke-5 Masehi, muncul sebuah karya berjudul Visuddhimagga, juga dikenal sebagai The Path of Purification atau Jalur Penyucian yang ditulis oleh seorang sarjana Buddha bernama Buddhaghosa.

Dalam Visuddhimagga, Buddhaghosa menguraikan berbagai tahapan yang harus dilalui oleh seorang biksu yang ingin mencapai pencerahan atau pembebasan (nirwana). Salah satu tahapan tersebut adalah praktik pertapaan, yang sering kali terkait dengan praktik thudong atau pengembaraan dalam tradisi Theravada.

Praktik pertapaan mencakup meninggalkan tempat-tempat yang ramai dan mencari tempat yang sepi dan damai untuk mendalami meditasi dan pengembangan spiritual. Para biksu yang menjalani praktik pertapaan akan mengisolasi diri dari gangguan dan godaan duniawi dengan cara meninggalkan biara dan menghabiskan waktu dalam kesendirian di tempat-tempat seperti hutan, gua, atau tempat terpencil lainnya.

Visuddhimagga memberikan pedoman rinci tentang bagaimana seorang biksu dapat menjalani praktik pertapaan, termasuk metode meditasi, tantangan yang mungkin dihadapi, dan manfaat yang dapat diperoleh dari praktik tersebut.

Namun, Visuddhimagga merupakan karya interpretasi dan penjelasan yang dikembangkan oleh Buddhaghosa berdasarkan tradisi Theravada pada masanya. Praktik pertapaan dalam tradisi Theravada dapat bervariasi di berbagai komunitas dan lokasi.

Istilah "Theravada" berasal dari bahasa Pali yang berarti "Ajaran Para Tetua" atau "Ajaran Para Orang Tua". Tradisi ini memiliki akar yang kuat di wilayah Sri Lanka dan menyebar ke negara-negara seperti Thailand, Myanmar (Burma), Laos, Kamboja, dan beberapa bagian Vietnam.

Theravada mengklaim sebagai penerus langsung dari ajaran Buddha Gautama dan mendasarkan ajarannya pada Tipitaka, koleksi kitab suci yang terdiri dari tiga divisi: Vinaya Pitaka (aturan monastik), Sutta Pitaka (ajaran seremonial), dan Abhidhamma Pitaka (filosofi dan psikologi). Tripitaka dianggap sebagai sumber otoritatif ajaran Buddha dalam tradisi Theravada.

Dalam perjalanannya, thudong merupakan sebuah refleksi akan hubungan manusia dengan alam. Para biksu yang semula melakukan pertapaan di hutan, terpaksa keluar karena kondisi lingkungan yang semakin tergerus oleh pembakaran, penggundulan, dan pengalihfungsian lahan hutan.

Bagi mereka, hutan belantara yang terpencil adalah perlindungan tempat mereka melatih pikiran. Ketika memilih, mereka dapat mundur jauh ke dalam semak-semak hingga tidak ada yang dapat menemukannya. Hutan adalah rumah bagi para biksu pengembara: tempat mereka sekolah, latihan, dan perlindungan yang sangat nyaman.

perjalanan 32 biksu ke Borobudur

Sejumlah biksu berjalan kaki saat melakukan ritual thudong di jalur Pantura, Kandanghaur, Indramayu, Jawa Barat, Senin (15/5/2023). Sebanyak 32 biksu dari dari berbagai negara melakukan perjalanan ritual thudong dari Nakhon Si Thammarat, Thailand menuju Candi Borobudur dalam rangka menyambut hari raya Waisak pada 4 Juni 2023. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/hp..

Perkembangan Thudong di Asia Tenggara

Dalam tradisi Buddhisme Theravada, thudong sering dikaitkan dengan bhikkhu atau biksu. Mereka adalah orang-orang yang ditahbiskan telah meninggalkan dunia material dan mengabdikan diri pada kehidupan yang miskin, suci, dan tanpa kekerasan.

Di Asia Tenggara, thudong menjadi bentuk asketisme (kezuhudan) yang populer di kalangan biksu. Itu dilihat sebagai cara untuk mendisiplinkan tubuh dan pikiran, serta cara berhubungan dengan Buddha dan Dharma. Thudong juga dipandang sebagai cara untuk melayani masyarakat, karena biksu yang berlatih thudong sering berhenti untuk mengunjungi desa dan kota di sepanjang jalan.

Pada abad ke-20, thudong mengalami kebangkitan kembali di Thailand. Hal ini sebagian disebabkan oleh pengaruh Ajaan Mun Bhuridatta, seorang biksu Thailand terkenal yang merupakan penganjur thudong yang gigih.

Ajaan Mun percaya bahwa thudong adalah cara ampuh untuk mencapai pencerahan dan dapat membantu menghidupkan kembali agama Buddha di Thailand, yang saat itu sedang menghadapi sejumlah tantangan.

Di Kamboja, tokoh seperti Sāmaṇera Phra Mahaghosananda juga berperan penting menghidupkan kembali ajaran Buddha dan praktik thudong. Ia melakukan pengembaraan ke berbagai negara Asia Tenggara, termasuk Laos, Vietnam, dan Myanmar. Ia dikenal karena perannya dalam mempromosikan perdamaian, rekonsiliasi, dan pemulihan sosial di wilayah-wilayah yang terkena dampak konflik pasca Khmer Merah tumbang.

Di Indonesia, Mahabiksu Ashin Jinarakkhita berperan penting dalam menghidupkan kembali agama Buddha. Ia dianggap biksu Indonesia pertama setelah runtuhnya kerajaan Majapahit dan mendirikan banyak vihara serta berbagai lembaga untuk persatuan umat Buddha.

Perkembangan thudong di Asia Tenggara terus berlanjut hingga saat ini. Banyak biksu dan praktisi Buddha dari berbagai negara di wilayah ini terlibat dalam praktik thudong, baik dalam bentuk pengembaraan spiritual, meditasi intensif, maupun kehidupan menyepi di tempat-tempat terpencil.

Infografik Mozaik Thudong

Infografik Mozaik Thudong. tirto.id/Quita

Aturan Praktik Thudong

Praktik Thudong melibatkan berjalan kaki ratusan kilometer dengan sedikit harta benda, bermeditasi, dan mencari sedekah di mana pun diperlukan.

Thudong biasanya dilakukan pada musim kemarau, saat cuaca lebih dingin dan hari lebih panjang. Para biksu sering berjalan jauh dengan hanya membawa barang-barang kebutuhan pokok seperti mangkuk, sehelai ikat pinggang untuk mengikat kain pinggangnya, jarum dan benang, pisau cukur, saringan air, dan tongkat jalan.

Selain itu, thudong juga dapat dilakukan secara individu atau berkelompok.

Bhikku Khantipalo dalam Dengan Jubah dan Mangkuk: Kilasan Kehidupan Bikkhus Thudong (2019) menyebutkan setidaknya ada tiga belas praktik yang harus dijalankan para biksu yang ingin melakukan thudong yang mencakup praktik-praktik seperti: memakai pakaian yang terbuat dari serat-serat alam atau kain bekas yang dijahit, mengenakan tiga helai jubah, mengandalkan sedekah makanan dari umat Buddha, makan hanya sekali sehari, dan menolak makanan tambahan.

Kemudian hanya diperbolehkan memiliki tiga benda pribadi saja: jubah, mangkuk untuk makan, dan alat cukur. Mereka juga tidur di udara terbuka atau di tempat penampungan sederhana. Umumnya mereka hanya tidur dengan alas yang tak lebih dari 50 sentimeter, bahkan beberapa biksu sudah terbiasa dengan posisi tidur sambil duduk.

Pada situasi tertentu yang melibatkan banyak biksu dan tempat, beberapa relawan akan menyediakan penginapan di klenteng, wihara, hingga pondok pesantren, seperti yang selama ini dilakukan oleh 32 biksu Thailand selama di Indonesia.

Baca juga artikel terkait BANTE THUDONG atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi