Menuju konten utama

Belajar dari Kasus Super Air Jet, Keselamatan Penerbangan Mutlak

Soal keselamatan, maskapai tidak bisa sendirian harus dibantu dan bekerja sama dengan stakeholder lain.

Belajar dari Kasus Super Air Jet, Keselamatan Penerbangan Mutlak
Pesawat yang mengalami kecelakaan adalah Super Air Jet registrasi PK-STD tipe Airbus A 320 – 232 dengan nomor penerbangan IU 2180 di Bandara Weda Bay, Halmahera Tengah pada Sabtu, 25 Mei 2024. foto/Dok. bandara weda bay

tirto.id - Maskapai penerbangan, Super Air Jet kembali mencatatkan insiden buruk. Pesawat Airbus 320-200 dengan registrasi PK-STD tergelincir atau melewati batas landas pacu saat mendarat di Bandar Udara Weda Bay, Halmahera Tengah, Maluku Utara (WDB) pada Sabtu (25/5/2024) pukul 14.00 WIT.

Super Air Jet mengoperasikan penerbangan charter nomor IU-2180 dari Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara (MDC) menuju Bandar Udara Weda Bay. Pesawat membawa 172 tamu (penumpang) dalam kondisi cuaca kurang baik (hujan).

“Super Air Jet tidak berspekulasi mengenai kondisi yang terjadi,” ujar Direktur Utama Super Air Jet, Ari Azhari, dalam pernyataan tertulis, dikutip Senin (27/5/2024).

Pelaksanaan penerbangan, diklaim Ari, sudah dijalankan sesuai dengan standar operasional prosedur. Beruntung, seluruh penumpang dan kru pesawat dalam keadaan aman dan tidak ada yang mengalami cidera.

“Super Air Jet menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami oleh para tamu,” ujar dia.

Kepala Bagian Kerja sama Internasional, Humas, dan Umum Ditjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan, Muhammad Khusnu, mengatakan, pihaknya bersama Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tengah melakukan evaluasi atas kecelakaan tersebut. Untuk sementara waktu, Bandara Weda pun ditutup untuk dilakukan investigasi lebih lanjut.

“Kita tunggu dulu hasil investigasi KNKT. Termasuk rekomendasinya,” ujar Khusnu, kepada Tirto, Senin (27/5/2024).

Sementara Super Jet Air sendiri mengaku telah mendukung dan menghormati proses investigasi yang sedang dilakukan oleh KNKT serta pihak berwenang lainnya.

Kecelakaan Pesawat Halmahera Tengah

Pesawat yang mengalami kecelakaan adalah Super Air Jet registrasi PK-STD tipe Airbus A 320 – 232 dengan nomor penerbangan IU 2180 di Bandara Weda Bay, Halmahera Tengah pada Sabtu, 25 Mei 2024. foto/Dok. bandara weda bay

Jika menengok ke belakang, maskapai baru milik Rusdi Kirana yang pertama kali diluncurkan pada Maret 2021 itu, sudah terhitung beberapa kali alami insiden. Pada (21/3/2023), AC pesawat mati pada penerbangan nomor IU-737 rute Bali menuju Jakarta dengan jenis Airbus 320-200 berkode registrasi pesawat PK-SAW.

Pesawat yang membawa 179 penumpang dan 6 kru Super Air Jet ini lepas landas pukul 17.55 WITA dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Di tengah penerbangan terjadi gangguan tekanan udara pada kabin. Gangguan tersebut membuat suhu udara di kabin menjadi lebih tinggi sehingga penumpang Super Air Jet kepanasan.

Selang beberapa bulan berikutnya, pada (14/7/2023), pesawat Super Air Jet dengan nomor penerbangan IU765 kode registrasi PK-STZ tujuan Jakarta yang membawa penumpang sebanyak 177 orang tersebut dilaporkan mengalami kendala teknis (technical reason) pada pukul 16.15 WITA. Selanjutnya pesawat di-towing kembali ke apron menuju parking stand 11 dan digantikan dengan pesawat lainnya.

Super Air Jet, memang bukan satu-satunya maskapai yang perlu disorot. Kasus sebelumnya sempat ramai insiden tertidurnya pilot dan co-pilot (FO) Batik ID 6723 Kendari - Jakarta selama 28 menit di udara. Operator 'sembrono' dan regulator tidak berfungsi dengan baik menjaga keselamatan penerbangan sipil Indonesia. Bagaimana bisa, kejadian 25 Januari 2024 baru terungkap setelah media internasional menaikkan kasus ini pada 9 Maret 2024 berdasarkan respons KNKT.

Berangkat dari kejadian itu, keselamatan penerbangan sipil Indonesia rasanya patut dipertanyakan kembali keamanannya. Pasalnya, ini menyangkut keselamatan diri penumpang. Maka, sudah barang tentu, ini harusnya menjadi tanggung jawab seluruh maskapai untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan penerbangan nasional, tanpa kecuali.

YLKI Minta Seluruh Maskapai Dilakukan Audit

Atas insiden itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mendorong Direktorat Jenderal Perhubungan Udara untuk mendalami kejadian tersebut. Ia bahkan meminta pemerintah melakukan audit dari kasus tersebut dan kasus lainnya.

“Apakah karena faktor teknis, cuaca atau human factor,” ujar Tulus kepada reporter Tirto, Senin (27/5/2024).

Namun apa pun penyebabnya, kata Tulus, itu semua tetap mengancam keamanan dan keselamatan pengguna dan bahkan keselamatan penerbangan secara umum. Maka, sudah sewajarnya seluruh maskapai perlu dilakukan audit secara berkala guna menjamin keselamatan penerbangan.

“Tapi kalau Super Air Jet intensitasnya tinggi. Ini yang harus disorot,” ujar dia.

Sekretaris Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Bayu Sutanto, mengatakan sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil, semua penerbangan maskapai memang harus melakukan prosedur baik saat per-flight, in-flight dan juga post flight-nya. Artinya setiap penerbangan dipastikan memenuhi standar keselamatan yang berlaku termasuk standar ditetapkan oleh pabrikan pesawat.

“Kalau kejadian atas Super Jet Air akhir di mana pesawat tergelincir saat mendarat di Bandara Weda Bay sesuai informasi yang beredar di media terjadi saat runway basah abis hujan,” ujar Bayu kepada Tirto.

Untuk prosedur pendaratan, semestinya memang sudah ada prosedur keselamatannya. Termasuk informasi cuaca dan kondisi runway sebelum pilot memutuskan untuk mendarat ataupun divert (dialihkan) atau pun holding sementara waktu sampai runway dinyatakan aman untuk pendaratan.

“Untuk kepastian penyebabnya, kita tunggu hasil investigasi dari KNKT tentunya,” kata dia.

Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional, Gatot Rahardjo, menambahkan secara umum jika terjadi cuaca kurang baik, maka ada prosedur pengalihan ke bandara lain. Ini mestinya perlu dijalankan sambil menunggu bandara tujuan membaik cuacanya dan bisa untuk mendarat sempurna.

“Saya tidak tahu seberapa kurang baik cuacanya, tapi sebenarnya pihak bandara, Airnav dan pilot bisa saling koordinasi untuk melakukan divert atau tidak,” ujar Gatot kepada Tirto, Senin (27/5/2024).

Prediksi puncak arus mudik Bandara Minangkabau

Petugas memasukkan barang ke bagasi pesawat di terminal keberangkatan Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Indrawansyah di Padang Pariaman, Sumatera Barat, Rabu (3/4/2024).ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/tom.

Keselamatan Penerbangan Pasca Pandemi Buruk?

Di luar itu, Gatot mengatakan masalah keselamatan penerbangan secara umum pasca pandemi memang menjadi sorotan utama karena berbagai hal. Misalnya banyak pesawat yang lama tidak diterbangkan dan tetap perlu mendapatkan perawatan.

Belum lagi soal ketersediaan spareparts yang terbatas karena produsennya juga belum bisa memproduksi maksimal seperti sebelum covid. Lalu, terganggunya rantai pasok karena kondisi geopolitik dan krisis di pabrikan pesawat seperti Boeing. Kondisi bisnis yang belum pulih, akhirnya menyebabkan maskapai keuangannya terganggu.

“Menyikapi masalah ini, maskapai tidak bisa sendirian harus dibantu dan bekerja sama dengan stakeholder lain seperti pemerintah dan juga penumpang,” ujar dia.

Kendati begitu, maskapai tentu saja harus selalu mengutamakan keselamatan. Prosedur dan aturan keselamatan harus tetap dipatuhi. Di samping pemerintah juga harus melakukan pengawasan keselamatan dengan lebih seksama dan intensif mengingat kondisi-kondisi di atas.

“Pesawat yang tidak laik terbang harus dilarang terbang. Pemerintah juga harus selalu mengawasi agar maskapai selalu mengutamakan keselamatan penerbangan,” ujar dia.

Namun di sisi lain, lanjut Gatot, untuk menjaga keselamatan itu juga butuh biaya yang besar. Apalagi untuk kondisi Indonesia, biaya-biaya penerbangan itu sangat tinggi karena hampir semua (70 persen) harus dibayar dengan dolar AS, sedangkan pemasukan maskapai dari rupiah.

“Biaya keselamatan itu misalnya biaya avtur, biaya maintenance, sparepart dan lain-lain," imbuh dia.

Untuk biaya Avtur misalnya, jika prosedur divert ke bandara lain karena cuaca buruk, maskapai harus menyediakan avtur cadangan untuk terbang ke bandara divert tersebut. Jika maskapai tidak bawa avtur cadangan, tentu mau tidak mau dia harus mendarat di bandara yang cuacanya tidak bagus tersebut.

“Dan ini tentu berbahaya,” imbuh dia.

Soal avtur ini memang sudah ada aturannya. Menurut Gatot, pesawat yang terbang itu, selain harus membawa avtur untuk sampai ke tempat tujuan, juga harus membawa avtur untuk divert sampai dengan RTB dan holding. Bahkan kalau di bandara tujuan tidak ada refueling avtur, pesawat harus membawa untuk terbang lagi ke bandara asal.

“Jadi memang harus seimbang, untuk menjaga keselamatan penerbangan itu maskapai-nya juga harus sehat secara finansial. Kalau tidak, bisa-bisa maskapai bangkrut," ujar dia.

Atau bisa juga terjadi seperti di awal tahun 2000-an dulu, di mana maskapai finansial pas-pasan dan harus menanggung biaya keselamatan yang tinggi, akhirnya keselamatan yang dikalahkan sehingga banyak terjadi kecelakaan.

“Hal ini yang harus dihindari. Dan itu tidak bisa dilakukan oleh maskapai sendiri, tapi harus dibantu stakeholder lain,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait KESELAMATAN PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz