Menuju konten utama

Libur Panjang Bak Pisau Bermata Dua bagi Perekonomian Nasional

Banyaknya libur panjang tahun ini harus dilihat dari dua sudut pandang. Ada untung rugi yang perlu dipertimbangkan.

Libur Panjang Bak Pisau Bermata Dua bagi Perekonomian Nasional
Suasana kepadatan kendaraan menuju kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (1/7/2023). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.

tirto.id - Libur nasional dan cuti bersama ibarat pisau bermata dua bagi perekonomian nasional. Satu sisi, harus diakui berdampak kepada perekonomian karena terjadi perputaran uang di sektor ritel, industri makanan minuman, akomodasi hingga transportasi. Di sisi lain, juga menyebabkan gangguan pada perekonomian domestik, terutama pada dunia usaha.

Berdasarkan peraturan yang tertuang dalam Keputusan Bersama Nomor 855 Tahun 2023, Nomor 3 Tahun 2023, dan Nomor 4 Tahun 2023 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2024, pemerintah menetapkan sebanyak 27 tanggal merah. Jumlah tersebut, terdiri atas 17 hari libur nasional dan 10 hari cuti bersama.

Jatah tanggal merah di Indonesia, hampir satu bulan jumlah libur sepanjang 2024. Dibandingkan Malaysia tercatat hanya memiliki jumlah tanggal merah sebanyak 23 hari sepanjang tahun. Namun, catatan ini berbeda-beda tergantung negara bagian di Negeri Jiran tersebut.

“Jadi harapan saya kita harus memikir ulang. Ini usul saya yang lebih besar mungkin ini masing-masing tokoh agama juga memikirkan jangan terlampau banyak juga libur keagamaan ini,” kata Ekonom senior, Raden Pardede, usai acara DBS Asian Insights Conference 2024 di Hotel Mulia Jakarta, Selasa (21/5/2025).

Di negara lain, kata dia, terhitung libur keagamaan lebih sedikit karena hanya beberapa agama saja yang diakomodir, sehingga dunia usaha di negara lain tidak terdistraksi oleh adanya libur panjang. Sementara di Indonesia terdapat enam agama yang masing-masing ditetapkan sebagai hari libur.

“Mereka (tokoh agama) sepakatlah mencari titik temu di sini, jadi saya pikir konsen dari dunia usaha itu sangat masuk akal jangan terlalu terlampau banyak libur,” kata Pardede.

Pardede menjelaskan, dalam perkembangan industri misalnya, volume produksi di dalam suatu perusahaan kemungkinan juga akan menurun seiring makin lebarnya libur di Tanah Air. Hal tersebut berimplikasi juga pada perekonomian nasional.

Banyaknya libur bukan hanya berpengaruh kepada pekerja dan dunia usaha, juga kepada murid-murid yang menempuh pendidikan. Hal ini disinyalir dapat menurunkan jam belajar dibandingkan dengan negara lain.

“Jangan-jangan jam belajar mereka juga berkurang dibandingkan murid-murid negara lain yang liburnya lebih kecil,” kata dia.

Kemacetan kendaraan di jalur wisata Puncak Bogor

Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di jalan raya Puncak, Gadog, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (12/4/2024). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/pras.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, tak menampik bahwa dampak libur nasional dan cuti bersama yang panjang akan mempengaruhi dunia usaha, terutama mengurangi produktivitas. Pada bulan ini saja, memiliki cukup banyak hari libur bahkan jatuh berdekatan dengan akhir pekan.

“Tapi memang kalau dari sisi pengusaha tentu mengurangi sedikit produktivitas,” ujar dia kepada reporter Tirto, Rabu (22/5/2024).

Kendati mengurangi produktivitas, para pengusaha disebut sudah melakukan antisipasi. Mereka, kata Sarman, sudah menyesuaikan dengan target-target produksinya untuk mengantisipasi adanya hari libur panjang tersebut.

“Dengan demikian, mau tidak mau kita dari sisi pengusaha akan membuat suatu jam kerja mungkin bisa mengisi target-target produksi tersebut,” ujar dia.

Sarman mengatakan, pengusaha mengakali dengan memberikan jatah masuk atau lembur kepada karyawan di hari-hari libur tersebut. Namun tetap, konsekuensinya para pengusaha akan mengeluarkan uang sebagai jatah ganti lembur.

“Ketika mereka libur tentu mau tidak mau kalau mereka masuk kerja dihitung lembur. Itu memang dari sisi pengusaha,” kata dia.

Upaya pengembangan industri tekstil

Pedagang melayani pembeli bahan tekstil di kawasan Pusat Tekstil Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Senin (30/10/2023). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/hp.

Beri Dampak Ekonomi Signifikan?

Namun di sisi lain, lanjut Sarman, tentu dengan adanya long weekend ini atau libur panjang memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Karena dengan adanya libur panjang, ada kesempatan masyarakat untuk melakukan perjalanan libur.

"Ini akan mengerek konsumsi rumah tangga kita," ujar Sarman.

Dari sisi sektor pariwisata, tentu hotel, restoran, cafe, transportasi, UMKM, akan berdampak positif dengan libur panjang ini. Selain itu, sektor perdagangan mal juga akan ikut terdampak karena akan dipenuhi oleh masyarakat.

“Artinya bahwa dengan libur panjang masyarakat kita mencari tempat untuk healing bersantai bersama keluarga dan itu akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi kita,” kata dia.

Maka, lanjut Sarman, banyaknya libur panjang pada tahun ini harus dilihat dari dua sudut pandang. Pertama dari sisi industri diakui punya dampak produktivitas. Tapi di sisi lain, ekonomi ini akan memberikan manfaat bagi kontribusi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dari daya beli masyarakat.

“Karena kita tahu bahwa pertumbuhan ekonomi kita masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga, sehingga dengan adanya hari libur tentu menguat produktivitas dan mampu menggerakkan ekonomi di darah terutama tujuan destinasi wisata dalam hal ini,” ujar dia.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengamini bahwa libur panjang pada tahun ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian. Dia bahkan memperkirakan perputaran uang bisa mencapai di atas Rp100 triliun.

“Prediksi perputaran uang selama libur panjang sebesar Rp80-150 triliun,” ujar Bhima.

Menurut Bhima, pada bulan ini masyarakat masih punya waktu untuk berlibur. Tapi yang berbeda, kata Bhima, adalah lokasi liburannya dekat dengan lokasi rumah.

Kemudian juga libur kali ini pengeluaran terbesar ada di segmen menengah ke atas. Sementara masyarakat bawah, uang untuk belanja liburan bisa dikatakan sudah tidak ada. Maka, tidak heran jika perputaran uang lebih kecil dibandingkan saat periode Lebaran.

“Paska lebaran uang THR sudah berkurang bahkan habis, sehingga banyak yang memanfaatkan libur hanya berkunjung ke objek wisata terdekat,” kata dia.

Meskipun lebih kecil, kata Bhima, efek libur panjang tetap akan berdampak positif pada peningkatan sektor ritel, industri makanan minuman, akomodasi hingga transportasi. Sehingga, sedikit banyaknya akan berdampak pada perekonomian nasional.

Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengatakan, liburan seperti long weekend saat ini memang bisa ikut mengakselerasi perputaran ekonomi. Hal ini karena meningkatnya konsumsi masyarakat pada waktu tersebut.

“Nah inilah yang menjadi daya tarik ekonomi Indonesia,” kata Misbakhun dalam pernyataannya.

Politikus Partai Golkar ini optimistis apabila ekonomi terus menggeliat dengan tren pertumbuhan yang positif, maka maka ekonomi Indonesia akan semakin kuat. Hal ini juga memberikan timbal balik bagi pergerakan UMKM di Tanah Air.

“Konsumsi itu sebetulnya menghidupkan UMKM, menghidupkan produk-produk yang selama ini menjadi penopang kebutuhan sehari-hari masyarakat. Konsumsi rumah tangga itu kan ada di sana,” kata dia.

Pengembangan pariwisata di Kepulauan Seribu

Sejumlah kapal tambat di dermaga Pulau Kelapa, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta, Selasa (13/2/2024). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, justru mengatakan jika libur nasional dan cuti bersama terlalu banyak efeknya tidak bagus juga terhadap produktivitas. Karena produktivitas, akan berpengaruh terhadap daya beli.

“Karena kita membutuhkan ekonomi baik juga untuk berwisata. Jadi kita lihat dulu yang mana ada yang cuti bersama dan tidak,” kata Maulana saat dihubungi, Rabu (22/5/2024).

Menurut dia, pemerintah ke depan harus mengevaluasi penetapan libur nasional dan cuti bersama. Sebab, jika terlalu banyak juga percuma akhirnya masyarakat akan kehabisan uang, sehingga daya beli akan menurun.

“Kita ulas dulu, pariwisata itu sebenarnya kan sektor yang membutuhkan daya beli orang. Kalau tidak ada daya beli tidak mungkin berwisata,” ujar dia.

Karena jika bicara libur panjang, kata Maulana, tentu bicaranya adalah wisawatan Nusantara, bukan wisatawan mancanegara. Sehingga dampaknya ke sektor pariwisata pun juga tidak begitu besar. Beda halnya dengan momen-momen besar terjadi pada saat natal, tahun baru, dan Lebaran.

“Maka bagaimana kita harus melihat nih, terukur tren masyarakat berpariwisata itu bagaimana sih?” ujar dia.

Karena itu, ke depan dia mendorong agar pemerintah mengkaji lagi penetapan libur nasional dan cuti bersama. Karena libur panjang tahun ini pun, tidak memberikan efek kejut yang luar biasa juga pada sektor pariwisata.

Baca juga artikel terkait LIBUR PANJANG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz