tirto.id - Presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, optimistis ekonomi Indonesia mampu mencapai pertumbuhan hingga 8 persen. Pertumbuhan itu, harapannya, bisa diwujudkan dalam dua sampai tiga tahun di era kepemimpinannya bersama dengan wakilnya Gibran Rakabuming Raka.
"Saya sangat yakin, saya sudah berbicara dengan para pakar dan mempelajari angkanya. Saya bertekad melampauinya," kata Prabowo saat menghadiri Qatar Economic Forum 2024 di Doha, Rabu (15/5/2024) lalu.
Sebagai landasan awal, target ekonomi Indonesia pada 2025 atau di tahun pertama kepemimpinannya dipatok mencapai hingga 5,5 persen. Target pertumbuhan itu, dimasukkan ke dalam kerangka kebijakan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) 2025.
KEM PPKF 2025, disusun pada masa transisi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk pemerintahan presiden terpilih Prabowo-Gibran. KEM PPKF ini juga menjadi usulan awal pemerintah kepada DPR, sebelum nantinya akan disepakati dan menjadi Undang-undang APBN 2025.
Prabowo mengatakan, kebijakan hilirisasi akan menjadi kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi ke depan. Salah satu aspek yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di tahun pertama pemerintahannya, ialah dengan hilirisasi pertanian dan pangan (produksi dan distribusi) serta energi.
"Kita ingin go-green dengan cara yang sangat cepat. Kita ingin memproduksi diesel dari minyak kelapa sawit dan ini akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat kuat," ungkap Prabowo.
"Selama ini kita mengimpor 20 miliar dolar AS setiap tahun untuk diesel. Jadi, dapat dibayangkan penghematan yang akan kita dapat jika kita beralih ke biofuel," lanjut Prabowo.
Berkaca pada target Jokowi selama hampir satu dekade, rasanya jauh panggang dari api. Pada 2014, ketika Jokowi maju sebagai calon presiden bersama Jusuf Kalla, Jokowi mengumbar janji bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tumbuh di atas 7 persen.
Tapi faktanya, selama sembilan tahun berada di Istana, janji Jokowi tak kunjung terealisasi. Ekonomi Indonesia stagnan di angka 5 persen selama hampir satu dekade. Mimpi Jokowi agar ekonomi meroket di atas 7 persen berakhir menjadi angan-angan belaka.
Jika dilihat rata-rata pertumbuhannya pada 10 tahun terakhir, pada 2015-2024, di era Presiden Jokowi, hanya di kisaran 4,2 persen. Andai pun dengan mengecualikan periode pandemi 2020-2021 rerata pertumbuhan ekonomi tetap hanya akan di kisaran 5,1 persen. Ini jauh lebih rendah dari periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada 2005-2014, di era Presiden SBY, rerata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,8 persen. Sedangkan jika tidak memperhitungkan periode krisis global 2008 bahkan mampu mencapai 5,9 persen.
"Prabowo yang dengan bangga menyatakan sebagai kelanjutan dari pemerintahan Jokowi juga akan terjebak dengan hal yang sama. Janji pertumbuhan yang manis, tapi faktanya biasa saja," ujar Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, kepada Tirto, Senin (20/5/2024).
Menurutnya, Pemerintahan Prabowo Gibran berpotensi meneruskan tren pertumbuhan di era Jokowi, yakni terperangkap di dalam kisaran 5 persenan. Jika tidak mau terperangkap, maka perlu menghadirkan strategi pembangunan yang revolusioner dan perubahan kebijakan secara signifikan.
Bisa Terwujud tapi Tidak Instan
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, juga mengamini pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen sangat mungkin dicapai. Namun, tentu saja, kata dia, tidak bisa dilakukan secara instan.
"Tidak mungkin dicapai ujug-ujug pada tahun 2025. Hanya bisa dicapai pada tahun 2026 dan seterusnya setelah pada tahun 2025 dilakukan berbagai program yang mendukung," kata Piter kepada Tirto, Senin.
Harus diingat, kata Piter, pertumbuhan ekonomi dua sampai tiga tahun yang akan datang tidak ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi tahun lalu, juga tidak oleh tahun ini. Karena harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini, dan tahun-tahun lalu tidak pernah mencapai 8 persen.
"Tetapi tidak berarti tahun 2026 dan seterusnya kita tidak bisa mencapai pertumbuhan tinggi di atas 8 persen," kata dia
Piter menyebut, pertumbuhan ekonomi di 2026 dan seterusnya sangat ditentukan oleh kebijakan dan program-program yang diambil pemerintah. Seperti misalnya bagaimana mendorong konsumsi, ekspor, impor, serta investasi. Di samping juga tidak kalah penting adalah tingkat efisiensi dari sistem ekonomi itu sendiri.
"Jadi yang juga harus dilakukan adalah menurunkan angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dari sekitar 6 saat ini menjadi lebih kecil daripada 4," ujar dia.
Penting bagi Prabowo, kata Piter, untuk menurunkan ICOR, menjaga daya beli masyarakat agar konsumsi tumbuh, memperbaiki iklim investasi, membangun industri dan lainnya. Hal itu, menurutnya harus sudah dilakukan secara konsisten mulai tahun ini dan 2025 mendatang
"Baru kita bisa berharap pada tahun 2026 dan seterusnya pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi bahkan mencapai 8 persen," jelasnya.
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, melihat target pertumbuhan ekonomi 8 persen Prabowo dalam dua sampai tiga tahun ke depan cukup berat. Terlebih ini dilakukan dengan kebijakan sekedar melanjutkan pemerintahan sebelumnya dan tidak terlihat strategi baru untuk transformasi ekonomi.
"Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, menurutnya target pertumbuhan ekonomi 6 persen saja sudah merupakan target optimistis," ujar Yusuf Wibisono kepada Tirto.
Sedangkan target 7 persen, menurutnya membutuhkan strategi besar baru dan reformasi birokrasi yang signifikan. Sementara itu, target 8 persen harus membutuhkan perubahan luar biasa, yaitu strategi besar baru, reformasi birokrasi plus extra effort reformasi hukum dan politik.
"Jadi jika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen hanya bermodalkan melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya dan tanpa rencana reformasi institusi yang memadai, menurut saya itu target yang sangat tidak realistis," ujar dia.
Sebaliknya, ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, justru melihat Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo punya peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen. Karena, jika berkaca ke belakang Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen atau bahkan 6 persen.
"Sehingga dalam konteks potensi dan prospek perekonomian di jangka menengah hingga panjang sebenarnya Indonesia punya peluang atau modal untuk merealisasikan hal tersebut," ujar Yusuf Rendy kepada Tirto, Senin.
Selama ini, kata dia, pemerintah juga mencoba menyasar target pertumbuhan di atas 5 persen. Hanya saja, sayangnya hal ini belum mampu atau belum dapat direalisasikan dalam satu dekade terakhir di pemerintahan Jokowi.
"Pertanyaannya kemudian, kenapa hal ini menjadi sulit diwujudkan?" ujar dia mempertanyakan.
Pemerintah selanjutnya, lanjut dia, harus mampu mendorong industri manufaktur di dalam negeri terlibat lebih banyak dan lebih besar dalam rantai pasok industri manufaktur global. Harapannya seluruh produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri bisa juga dijual untuk berbagai negara ketika tergabung dalam rantai pasok ini.
"Apakah kemudian ini bisa diwujudkan? peluang tetap ada, hanya dibutuhkan ekstra effort yang tidak sedikit terutama dalam konteks mendorong realisasi investasi industri manufaktur yang lebih besar jika dibandingkan dengan posisi saat ini," jelas dia.
Butuh SDM Berdaya Saing Tinggi
Terlepas dari itu, Ronny P Sasmita mengatakan, untuk mencapai angka pertumbuhan 8 persen pemerintah harus aktif terlibat dalam membangun daya saing sektor manufaktur atau memodernisasi sektor manufaktur nasional secara serius dan signifikan.
"Ini agar menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi di pasar global di satu sisi dan menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja," ujar dia.
Pemerintah, kata Yusuf, juga harus aktif mengembangkan daya saing sektor jasa agar lebih kompetitif dan semakin besar kontribusinya kepada pertumbuhan ekonomi. Lalu melakukan revitalisasi dan modernisasi sektor pertanian, baik untuk ketahanan pangan maupun untuk ekspor.
Selain itu, Prabowo-Gibran juga harus mengakselerasi pembangunan SDM nasional agar menghasilkan angkatan kerja yang produktif dan kreatif. Juga melakukan transfer teknologi serta pengembangan teknologi domestik agar tidak semakin tertinggal dengan negara maju.
"Kemudian, secara fiskal, pemerintah harus mengefektifkan belanja pemerintah dan memastikan bahwa belanja tersebut menghasilkan multiplier effect kepada perekonomian nasional," ujar Yusuf.
Tidak kalah penting, pemerintahan selanjutnya harus memerangi korupsi dan pungli secara serius dan berkelanjutan, sehingga menurunkan tingkat ICOR Indonesia. Hal lain yang tidak kalah penting adalah melakukan intervensi, baik fiskal maupun regulasi kepada sektor-sektor yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, Yusuf Wibisono mengatakan, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintah tidak perlu lagi terobsesi menarik investasi setinggi mungkin atau mendorong ekspor secara berlebihan. Obsesi mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan ekspor selama 10 tahun terakhir terbukti tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi.
Maka, untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif, gagasan besar terbaik adalah secepatnya mengatasi rendahnya kualitas angkatan kerja dan mencegah deindustrialisasi dini. Karena rendahnya kualitas angkatan kerja menyebabkan bonus demografi yang saat ini dinikmati tidak banyak memberi manfaat ke industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Hanya dengan industrialisasi dan bonus demografi yang berkualitas saja perekonomian kita akan terakselerasi menuju negara berpenghasilan tinggi, keluar dari middle income trap," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang