Menuju konten utama

Giant Sea Wall: Digagas Ahok, Ditolak Anies, Dilanjutkan Prabowo

Gagasan giant sea wall Prabowo dinilai tidak efektif jika ternyata proyek yang dimaksud adalah NCICD.

Giant Sea Wall: Digagas Ahok, Ditolak Anies, Dilanjutkan Prabowo
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan sambutan pada Seminar Nasional Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa Melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall) di Jakarta, Rabu (10/1/2024).ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.

tirto.id - Presiden terpilih Prabowo Subianto kembali mendorong rencana pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall di Jakarta. Hal itu kembali ditegaskan Prabowo saat menghadiri Qatar Economic Forum pada Rabu (15/5/2024) waktu setempat. Dalam sesi wawancara tersebut, Prabowo menjawab pertanyaan alasan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Nusantara.

Pertama, pemindahan dilakukan dalam rangka ingin menempatkan ibu kota di titik lebih tengah, apalagi gagasan pemindahan ibu kota sudah dilakukan sejak era Presiden Soekarno.

Kedua, kondisi beban ekologis Jakarta sudah sangat berat, salah satunya adalah masalah kenaikan air laut sekitar 5-10 sentimeter per tahun.

"Kami menghadapi kenaikan air laut. Kenaikan di antara 5 sampai 10 sentimeter per tahun sehingga kami harus membangun sebuah Giant Sea Wall, hal itu menjadi salah satu program saya, tetapi memindahkan ibu kota adalah salah satu upaya untuk membawa pertumbuhan ke luar Jakarta, keluar Jawa dan dalam beberapa tahun ke depan sebelum Giant Sea Wall selesai, mungkin akan selesai sekitar 10-15 tahun, ibukota kami aman dari genangan," kata Prabowo dalam pidato tersebut.

Wakil Ketua Partai Gerindra, Rahayu Saraswati mengakui bahwa mereka masih mendalami tentang rencana pembangunan giant sea wall tersebut. Namun, niat itu memang sejak lama ingin dilakukan Prabowo.

"Beliau dari dulu sudah menyatakan akan melanjutkan, bahkan sangat ambisius untuk mau menyelamatkan pesisir Jawa bagian utara karena dampak krisis iklim akan kena ke semua pesisir Jawa utara," kata Rahayu kepada Tirto, Kamis (16/5/2024).

Gagasan pembangunan giant sea wall ini memang sudah berlangsung sejak lama. Proyek yang dikenal juga dengan nama national capital integrated coastal development (NCICD) master plan itu sebelumnya memang digagas di era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada 2007 lalu. Proyek tersebut lantas mulai berjalan, tetapi mendapat penolakan dari aktivis lingkungan.

Proyek tanggul laut kampung nelayan di Semarang

Warga berjalan di tanggul laut yang masih dalam tahap penyelesaian di kawasan Kampung Bahari Tambaklorok, Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (1/2/2024). ANTARA FOTO/Aji Styawan/foc.

Aktivis lingkungan WALHI sempat menerbitkan catatan berjudul "Java Collapse." Buku ini memuat tentang kehancuran dan kebangkrutan sosial-ekologis Pulau Jawa, salah satunya adalah penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa. Mereka menilai, solusi masalah bukan dengan pembangunan tanggul raksasa, melainkan evaluasi dan pencabutan izin industri besar.

Untuk diketahui, Anies Baswedan sempat menolak pelaksanaan proyek giant sea wall. Anies menilai gagasan itu kurang tepat karena pembangunan justru membawa banyak mudarat daripada manfaat. Ia justru mengatakan bahwa pembangunan sederet pulau reklamasi ditambah tanggul besar perlu dikaji ulang.

Anies pun sempat membentuk tim untuk melakukan kajian ulang pembangunan giant sea wall pada tahun 2018. Mantan Mendikbud itu lantas memilih penguatan tanggul pantai dan sungai sebagai solusi penanganan banjir. Namun, Jokowi memastikan proyek giant sea wall dilanjutkan.

Direktur Eksekutif RUJAK Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja menilai, gagasan giant sea wall Prabowo tidak efektif jika hal itu adalah NCICD. Elisa menilai, NCICD itu dianalogikan seperti penyelesaian obesitas dengan menggunakan pendekatan beli celana dan lingkar pinggang besar daripada diet. Ia mengingatkan NCICD tidak menyelesaikan solusi.

"Jika hanya bikin tembok tanpa menghentikan penurunan tanahnya, maka ya tanahnya akan turun lagi, dan akhirnya bikin tembok lagi dan seterusnya," kata Elisa, Kamis.

Elisa menceritakan, Desember 2019 sempat ada kejadian tembok NCICD yang patah. Selain itu, ada juga tembok NCICD retak. Selain itu, NCICD itu juga tidak menghentikan penyedotan air tanah dalam.

Proyek tanggul laut kampung nelayan di Semarang

Foto udara proyek pembangunan tanggul laut yang masih dalam tahap penyelesaian di kawasan Kampung Bahari Tambaklorok, Tanjung Mas, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (1/2/2024). ANTARA FOTO/Aji Styawan/foc.

Menurut Elisa, strategi mengatasi penurunan tanah bisa dilakukan tanpa harus membangun NCICD. Ia mencontohkan Tokyo menggunakan cara pendekatan setop ekstraksi air tanah dan memindahkan industri-industri tertentu. Pemerintah bisa meniru strategi tersebut, apalagi turun tanah lebih banyak daripada Jakarta.

"Bikin tanggul pantai, memang tetap diperlukan di beberapa titik pantai, tapi yang urgen adalah memperlambat penurunan tanah. Giant Sea Wall dalam pengertian Prabowo sepertinya NCICD tahap C, yang membuat tanggul laut. Tanggul pantai berbeda dengan tanggul laut," kata Elisa.

Sementara itu, ahli kebijakan publik IDPLP, Riko Noviantoro, menilai bahwa pembangunan giant sea wall seharusnya bukan urusannya. Ia menilai, Prabowo lebih baik fokus masalah nasional daripada masalah Jakarta.

"Pemerintahan Prabowo-Gibran lebih tepat fokus pada agenda-agenda besar. Persoalan Jakarta lebih tepat ditangani pemerintahan Jakarta. Karena isu nasional jauh lebih pelik dan butuh konsentrasi Presiden," kata Riko, Kamis (16/5/2024).

Riko mengatakan, permasalahan giant sea wall seharusnya didelegasikan kepada gubernur jakarta. Selain itu, menteri terkait sebaiknya bisa berkomunikasi dengan gubernur jika memang dibutuhkan.

"Selain itu pula program Sea Wall Giant bukan langkah utama, masih ada alternatif tindakan yang diperlukan. Misalkan membatasi kawasan perumahan di pesisir, perbaikan ekosistem laut dan sebagainya," kata Riko.

Baca juga artikel terkait GIANT SEA WALL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Bisnis
Reporter: Andrian Pratama Taher & Irfan Amin
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri